Halaman

Minggu, 29 November 2009

Menafsiri Siklus Waktu

Menafsiri Siklus Waktu
(Sebuah Refleksi Pergantian Tahun)

Dalam teks al-Qur’an, banyak sekali kata-kata yang berhubungan (bermakna) waktu. Bahkan Allah swt. sering bersumpah dengan mengunakan waktu. Seperti; QS. Ad- Dhuha (93), al-Lail (92), al-‘Asr (103), al-Fajr (89). Hal ini mengindikasikan betapa penting dan urgennya waktu dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Orang di Barat mengatakan time is money “waktu adalah uang” sementara orang Timur mengatakan al- Waqt ka al-Saif “waktu itu ibarat sebilah pedang”. Masing-masing peradaban memiliki makna tersendiri dalam mendefinisikan pentingnya waktu dalam kehidupan.
Di satu sisi, waktu selalu dan akan terus berganti seperti aliran air sungai yang selalu mengalir tanpa kompromi. Namun pada sisi lain, waktu yang telah berlalu itu tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu, sebagai manusia idealnya kita harus mampu memanfaatkan waktu agar tidak berlalu begitu saja tanpa ada makna dan arti, manusia tidak akan ada yang mampu merefleksi ulang fenomena yang telah berlalu. Meminjam istilahnya W.S. Renra; “Jangan biarkan helai-helai waktumu pergi meninggalkan mu jika kau mampu raihlah lagi kepergian helaimu”.
Beberapa hari ini kita baru saja meninggalkan tahun lama (2006) dan sekarang berada dalam tahun baru (2007). Tahun, dalam pandangan ilmuan, adalah merupakan salah satu dimensi waktu yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlewatkan begitu saja. Secara normatif, sumpah Allah yang diekspresikan dalam bentuk waktu, mengisaratkan kepada kita bahwa begitu pentingnya mengatur dan memanajemen waktu. Dalam surah al-Hasr (59): (18) Allah mengingatkan kepada manusia agar selalu memperhatikan apa yang akan diperbuatnya untuk hari esok. Ini membuktikan bahwa begitu pentingnya pengaturan waktu, tujuannya tidak lain adalah agar manusia mampu memanfaatkan waktu untuk dapat di isi dengan hal-hal yang bersiafat positif baik secara normatif atau sosial.
Dalam penerapannya, banyak orang yang justru melalaikan dan membuang-buang waktunya hanya untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Oleh karena itu ada dua hal yang perlu diperhatikan terkait dengan masalah waktu ini, sebagai barometer bagi kita untuk menilai apakah waktu kita sudah termanfaatkan secara baik atau malah sebaliknya;

1. Pemanfatan Waktu dalam Perspektif Normatif
Islam mengajarkan agar manusia mampu mengisi waktu-waktunya dengan amal soleh, yaitu perbuatan yang selalu membawa kita dekat kepada sang Khalik. Qur’an surah al-‘Asr memberikan penjelasan yang sangat berharga tentang hal ini. Manusia secara keseluruhan diliputi oleh kerugian yang besar yang beraneka ragam, dan mereka masuk dalam wadah kerugian itu terkecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, nasehat kepada kebenaran, dan nasehat kepada kesabaran. Inilah orang-orang yang dalam agama dikatakan telah mampu memanfaatkan waktu dengan baik dan orang yang seperti inilah termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung.
Logikanya sederhana, jika kita inginkan sesuatu, maka kita harus mempunyai sesuatu yang lain sebagai perantara untuk mendapatkan sesuatu itu. Sebagai contoh, jika kita ingin mendapat makan, maka kita harus punya perantara untuk mendapat makanan itu. Sederhananya, Jika kita hendak makan maka minimal kita memakai tangan sebagai perantara masuknya makanan ke dalam mulut, dan mulut sebagai perantara masuknya makanan kedalam perut, dan begitu seterusnya. Dalam kaitanya dengan ayat ini, jika anda tidak ingin menjadi orang yang merugi maka anda harus mempunyai sesuatu yang membuat anda tidak rugi, yaitu; iman, amal saleh, nasihat kepada kebenaran dan kesabaran. Orang yang mampu memanfaatkan waktunya untuk hal diatas itulah orang yang tidak merugi dalam perspektif agama.

2. Pemanfaatan Waktu dalam Perspektif Sosial
Dalam sebuah hadis dijelaskan “manusia yang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Dari hadis ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, harus mampu mengekspresikan dirinya agar dapat bermanfaat bagi orang lain. Ada sebuah peribahasa yang mengatakan bahwa hidup itu diumpakan sebagai sebuah kran air. Kran itukan menyimpan air bukan untuk dirinya tetapi untuk orang lain yang memerlukannya. Logikanya, hendaklah manusia itu mampu menjadikan dirinya seperti sebuah kran yang menyimpan air, tapi bukan buat dirinya buat orang lain yang membutuhkan. Jadi orang yang secara sosial dapat dikatakan memanfaatkan waktu adalah ketika ia mampu menjadikan waktu-waktunya selalu bermanfat bagi dirinya, keluarga, tetangga, serta orang lain.
Bukankah agama juga menggambarkan bahwa manusia itu ibarat sebuah bangunan; ada yang menjadi pondasi, ada yang menjadi tiang, jendela, pintu yang fungsinya satu sama lain adalah untuk saling memperkuat. Jadi sukses dalam agama secara sosial adalah orang yang hidupnya setiap waktunya selalu bermanfaat bagi kehidupan orang lain.
Secara sederhana dapat kita katakan bahwa agama Islam sangat menganjurkan umatnya untuk saling membantu dengan tidak memandang perbedaan apapun. jadi keseuksesan itu bukan dilihat dari banyak hartanya atau tinggi jabatannya, tetapi bagaiman setiap waktu dalam hidupnya selalu berpengaruh dalam kemaslahatan orang lain.
Tahun baru, apa yang harus dilakukan?

Islam mengajarkan agar waktu selalu di isi dengan amal saleh, yaitu suatu perbuatan yang apabila dilakukan tidak mengakibatkan kerusakan-kerusakan, atau perbuatan yang bermanfaat dan tepat atau sesuai dengan sasaran. Lebih jauh Islam mengajarkan agar kita lebih produktif dalam memanfaatkan waktu. Hal ini seperti yang disinyalir oleh Nabi dalam sebuah hadis, yang menyatakan siapa yang hari ini sama atau lebih jelek dari hari yang kemarin maka dia termasuk kedalam golongan orang yang merugi. Dalam hadis lain Nabi menyatakan bahwa kita harus mampu menjaga lima perkara sebelum datamg lima perkara, yakni; sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, senggang sebelum sempit, muda sebelum tua, dan hidup sebelum mati. Karenanya, dalam surat al-‘Asr dinyatakan bahwa orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan amal saleh adalah orang yang paling merugi.
Lalu apa yang harus kita lakukan dalam menyikapi pergantian waktu? Agama melalui al-Qur’an dan sunnah Rasul menganjurkan agar ketika kita melewati perjalanan waktu, baik ulang tahun maupun tahun baru adalah dengan melakukan refleksi; menengok masa lalu untuk mengambil pelajaran, manfaat, dan perhitungan serta memandang kedepan untuk mempersiapkan bekal bagi persiapan hari esok. (Q.s. 59 ayat 18). Dalam sabdanya Rasul mengatakan “orang mukmin itu tidak terikat kecuali dengan tiga masa: membekali diri untuk kembali keakhirat, berjuang untuk keidupan dunia, dan menikmati apa yang tidak diharamkan”.
Itulah prinsip yang diajarkan oleh Islam, mengisi dengan hal-hal baik dan melakukan refleksi, tidak akan melakukan sesautu hal yang bersifat negatif yang pernah dilkukannya pada masa lalu. Hal ini terkait erat dengan beberapa hal lainnya yang pasti dialami oleh manusia sebagai konsekwensi dalam kehidupan dan pemanfaatan waktu; kenikmatan, kesengsaraan, ketaatan, dan kemaksiatan. Bagi yang berada dalam kenikmatan, kewajibannya adalah bersyukur kepada Allah dengan hati yang bersih dan lapang. Yang berada dalam keadaan sengsara keharusannya adalah bersabar terhadap ujian Allah dan harus istiqomah dalam keimanan. Mengapa demikian sebab bisa jadi kesengsaraan yang ditimpakan kepada kita adalah ujian yang debikan kepada kita atau bahkan mungkin azab yang diakibatkan oleh perbuatan kita selama ini. Oleh karena itu, bagi yang sedang atau pernah melakukan kemaksiatan itu haruslah segera bertobat dan memohon ampunan Allah serta bertekat tidak akan mengulangi perbuatan maksiat itu lagi.
Sebagai kata akhir dari tulisan ini, mari sama-sama kita renungkan dan kita hayati perkataaan Saiyidina Ali bin Abi Thalib berikut ini; rizki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak akan mungkin kembali esok.” Karena itu, waktu sebenarnya tidak bisa ditunda. Lebih lanjut menunda perbuatan atau pekerjaan bukanlah ajaran Islam. Selamat tahun baru 2010Masehi. Wallahu a’lam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar