Halaman

Selasa, 09 April 2013

FUNDAMENTALISME ISLAM


IDEOLOGI FUNDAMENTALISME ISLAM
(Menyembah  Teks: Menolak Konteks)
Oleh: Hayatul Islami

Key Word: Fundamentalisme, Islam, Teks, dan Konteks
A.    Muqaddimah

Proses ideologisasi agama dalam dunia Muslim telah terjadi dalam konteks yang luas dan universal. Hal ini tergambar dari proses pergeseran Islam yang semula merupakan kepercayaan yang open minded, inklusif berubah menjadi keyakinan yang defensive-inklusif, dari lapangan teologikal-tradisional pada lapangan sosiologis yang memformulasikan Islam ke dalam norma-norma dan nilai-nilai tatanan sosio-politik. Karena sifat Islam yang ideologis, akhirnya Islam dipahami sebagai kepercayaan tentang legitimasi yang terdiri dari interpretasi-interpretasi teks-teks keagamaan untuk dimanfaatkan dalam ranah sosial-politik. Prinsipnya hal ini barangkali menjadi sah, sebab agama sendiri memang memiliki kepentingan moral dan akhak dalam pergulatan politik.
Tanggung jawab Islam tidak hanya pada ranah sosial-politik, namun sudah masuk pada ranah ideologi dan aqidah, hal ini menjadikan komposisi umat Islam menjadi beragam. Kaum Fundamentalis misalnya, menampilkan agama dalam wajah yang menakutkan khususnya pada ranah hukum dan politik. Islam tidak dihidupkan dalam bentuk ajaran-ajaran universal yang sangat menghargai akan perbedaan. Islam justru dicerminkan dalam wajah yang keras dalam pembelaan-pembelaan atas nama kepentingan kelompok muslim yang sangat parsial, bahkan menganggap kafir bagi mereka yang tidak se-ideologi dengan mereka.
Sementara itu, agama sering mereka jadikan legitimasi dalam melakukan kekerasan, yang lebih ironi adalah bahwa doktrin sentral dalam ideologi Islam menurut mereka adalah kedaulatan atau supermasi hukum Tuhan. Bagi mereka Islam adalah satu-satunya jalan hidup dan harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejahteraan kelompok lain. Kehadiran konsep “jalan lurus” (al-Shirat al-Mustaqim), bagi mereka telah dipastikan oleh sistem hukum Tuhan (syari’ah).
Berangkat dari kenyataan di atas, tulisan sederhana ini akan mencoba menelusuri ideologi dan pemahaman keagamaan kaum fundamentalis yang menurut penulis sangat menarik untuk dikaji bukan saja karena masalah pemahaman dan interpretasi terhadap agama yang kurang ramah, namun lebih dari itu gejala Fundamentalisme ini sudah menyebar hampir keseluruh pelosok dunia Islam. Disamping itu, tulisan ini juga akan membahas bagaimana solusi dan pandangan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.

B.     Fundamentalisme Islam dalam Pluralitas-Interpretatif

Fundamentalisme Islam tidaklah muncul secara tiba-tiba, seperti yang sering diyakini oleh sementara orang. Istilah fundamentalisme juga bukan fenomena baru, yang contoh-contohnya dapat dapat ditemukan dalam beberapa periode peradaban manusia. Istilah ini bukanlah merupakan istilah yang berasal dari perbendaharaan kata dalam bahasa masyarakat Muslim, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh kalangan akademisi Barat dalam konteks kesejarahan keagamaan dalam masyarakatnya sendiri (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 499).
Istilah fundamentalisme pertama kali muncul di kalangan para penganut Kristen Protestan di Amerika Serikat sekitar tahun 1910-an. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada “fundamen” agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu sendiri secara rigid dan literalis (The Oxford English Dictionary, 1988: 129). Ini merupakan bagian dari fenomena responsi kalangan konservatif terhadap perkembengan teologi liberal-modernisme dan gejala sekularisme.
Dalam istilah yang berbeda, fundamentalisme dapat juga dipadankan dengan istilah-istilah revivalism, militancy, reassertion, resurgence, activism, dan reconstructrionism, sekalipun istilah-istilah ini masih dianggap suatu yang debatable, namun kesemuanya sering kali diidentifikasi sebagai pengertian yang menunjuk pada komunitas keagamaan yang melakukan gerakan secara keras (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 499).
Kaum fundamentalisme yang berbahasa Arab sering menggunakan beberapa istilah untuk menyebut kelompok mereka, antara lain: us}u>liyah al-Isla>miyah (dasar-dasar Islam), al-Syahwah al-Isla>miyah (kebangunan Islam), atau juga sering disebut al-Ba’as\ al-Isla>mi> (kebangkitan Islam). Selain ketiga istilah ini ada istilah lain, mereka menyebutnya dengan istilah al-Muta’as}ibu>n (orang-orang fanatik), atau juga mutat}arrifu>n (orang-orang radikal), dua istilah terakhir lebih bermakna radikal dibanding tiga istilah sebelumnya (Muhammad Abid Al-Jabiri dan Hasan Hanafi, 1990: 23-28).
Munculnya istilah-istilah seperti di atas sudah barang tentu memiliki latar sosio-historis yang satu sama lain menyimpan makna yang berbeda. Sebagian sarjana Muslim bersikap enggan untuk menggunakan istilah fundamentalisme sebab istilah ini sangat berimplikasi negatif terhadap Islam itu sendiri, secara umum ia sering dimaknai sebagai kelompok Islam yang berjuang untuk mencapai tujuan dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau secara ekstrim dapat dikatakan “menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan”.
Terlepas dari begitu luasnya makna terminologi dari istilah fundamentalisme, menurut Bassam Tibi seperti yang dilansir oleh Agus Maftuh Abegebriel bahwa fundamentalisme adalah aliran keagamaan yang menolak segala hal yang baru selain dari pada apa yang telah ada dalam doktrin atau kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 502).
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, tulisan ini ingin membatasi pengertian fundamentalisme Islam pada dua kategori pertama: activist political fundamentalism dan kedua: rationalist spiritualist fundamentalism. Istilah yang pertama merujuk pada sekelompok muslim yang memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik. Sementara istilah yang kedua lebih menekankan pada sekelompok muslim yang mengingikan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan tradisi sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh generasi Muslim awal (Muhammad Sa’id al-Asnawi, 1994: 78).

C.    Doktrin Ideologi dan Tafsir Tekstualis

1.      Konsep Islam Kaffah
Seperti yang disebutkan sebelumnya, fundamentalisme dalam pengertian lain dapat dipahami sebagai suatu tradisi interpretasi sosio-religius yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi. Hal ini tak pelak menjadikan interpretasi yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin-doktrin teologis, tapi juga merangsek pada mainstream ideologi.
Doktrin sentral yang dibangun oleh fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini, Islam diyakini tidak semata hanya sebagai sistem agama, namun sebagai sistem yang secara total mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam lingkup personal maupun komunal. Dalam konteks dunia modern saat ini, Islam diterjemahkan pada pola integralisme, yakni relasi agama dan negara bersifat integral atau saling mengisi yang pada perkembangannya kemudian Islam dibentuk sebagai sebuah ideologi negara (Hamim Ilyas, 2004: 128).
Kalangan fundamentalisme menjadikan Q.S al-Baqarah (2): 208 sebagai landasan asasi dalam memahami “Islam Kaffah”:

يَآيُّهَاالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَآفَّةً. وَلَاتَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ (البقرة: ٢٠٨)

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam seluruhnya dan janganlah mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu”.

Sayyid Qutb memahami kata as-Silm adalah umat beriman yang diperintahkan unuk memasukinya dengan al-Manhaj ar-Rabbani,  yakni sistem kehidupan yang diajarkan Tuhan dengan mendasarkan pada akidah, sehingga membuat damai dan satu-satunya sistem sosial yang mampu menyatukan masyarakat tanpa memandang ikatan artifisial yang tidak berhubungan dengan substansi manusia. Sistem ini dilawankan dengan al-Manhaj al-Jahili, yakni sistem kehidupan sekuler yang diciptakan manusia, baik masa lalu maupun masa sekarang (Sayyid Qutb, t.th. I: 130).
Masih menurut Qutb, bahwa munasabah (hubungan/pertautan) antara frasa as-Silm dengan larangan mengikuti langkah syetan adalah hubungan yang berlawanan (ta’adul/ta’arudh), hal ini dipahami secara dikhotomis yang memiliki arti masuk Islam secara total atau mengikuti langkah syetan. Dengan tegas Qutb menyatakan bahwa tidak ada lain kecuali dua arah, petunjuk atau kesesatan, Islam atau Jahiliyah, jalan Allah atau jalan syetan.
Dengan kata lain Qutb ingin menegaskan bahwa orang Islam wajib mengikuti al-Manhaj al-Rabbani secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam kehidupan pribadi mereka harus menganut sistem kepercayaan dan peribadatan Islam. Demikian halnya dalam kehidupan sosial mereka harus mengikuti sistem-sistem Islam dalam pergaulan, ekonomi, politik, dan lain-lain. Hal ini mengindikasikan bahwa orang yang tidak masuk Islam secara total tidak menyerahkan dirinya murni tunduk kepada Allah dan Syari’at-Nya, serta tidak menghindari konsep, sistem dan atauran lain, maka dia berada di jalan syetan dan berjalan mengikuti langkah-langkah syetan (Sayyid Qutb, t.th. I: 133).
Pemahaman yang disampaikan oleh Sayyid Qutb di atas merupakan landasan asasi bagi fundamentalisme sebagai doktrin teologis yang mutlak harus diterapkan tanpa kompromi, hal ini menurut penulis pada akhirnya akan menjadikan wajah Islam tidak fleksibel dan cenderung menakutkan. Padahal menurut penulis ada sedikit kejanggalan dalam pemahaman Sayyid Qutb terhadap kata silm pada ayat di atas. Diantaranya bahwa kata silm dalam ayat tersebut tidak melulu harus ditafsirkan dengan Islam dan segala sistem serta bentuk kelembagaannya, namun dapat juga dipahami dalam arti berserah diri dan taat (istislam dan tha’ah). Seperti yang dikemukakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya (az-Zamakhsyari, t.th. I: 353).
Dengan demikian pemahaman terhadap “Islam Kaffah” bisa kita pahami dalam pengertian bersrah diri kepada Allah serta patuh dan taat dalam menjalankan segala perintahnya. Hal ini mengindikasikan umat Islam dalam interaksinya dengan sesama manusia dapat saja menggunakan cara-cara dan mekanisme dari luar Islam selama tidak merubah dan bertentangan dengan kaidah-kaidah normatif agama.

2.      Tafsir Tekstualis
Disamping itu, karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan (Richard T. Antoun, 2003: 41). Bagi kaum fundamentalisme teks harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.
Pemahaman semacam ini yakni parsial dan terpotong-potong terhadap teks (al-Qur’an dan Hadist) menyebabkan mereka terperangkap ke dalam wawasan yang sempit dan tidak mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dalam kehidupan konkret. Seperti kata “jihad” dalam al-Qur’an dipahami secara harfiah belaka tanpa mencoba mengkolaborasinya lebih jauh melalui cara pemahaman terhadap sebab historis yang terkait dengan konsep itu. Hal ini semakin mengeras ketika faktor-faktor lain semisal ekonomi, politik, dan budaya tidak disertakan di dalamnya (Abd A’la, 2002: 17).
Bahkan lebih lanjut M. Amin Abdullah menjelaskan bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an yang bersifat lexiografis kata perkata, kalimat perkalimat, ayat dengan ayat, tanpa mempedulikan konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya ketika sebuah ayat turun dan bagaimana konteks sosial, ekonomi, politik, budaya pada era sekarang sebagaimana yang terjadi selama ini, adalah pola dan metode penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang dianggap sebagai korpus “tertutup”, ahistoris. Untuk itu, perlu adanya penafsiran yang lebih bersifat “produktif” yang lebih menonjolkan perlunya menggali atau menemukan makna-makna baru yang sesuai dengan tingkat tantangan perubahan dan perkembangan konteks sosial-ekonomi, politik dan budaya yang melingkupi kehidupan umat Islam kontemporer tanpa meninggalkan misi utama makna moral dan pandangan hidup al-Qur’an (M. Amin Abdullah, 2006: 139).
Gagasan dasar fundamentalisme di atas dibingkai dalam kerangka metodologi yang sekaligus dapat mengidentifikasi fundamentalisme Islam dari sisi pemahaman terhadap teks. Kerangka metodologi tersebut diantaranya;
Pertama, oposisionalisme. Prinsipnya bahwa fundamentalisme dalam agama apapun (termasuk Islam) mengambil bentuk perlawanan bahkan dalam bentuk radikal terhadap ancaman yang dipandang dapat membahayakan eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan dan tolok ukur untuk menilai ancaman tersebut adalah al-Qur’an dan pada batas-batas tertentu juga hadis Nabi.
Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalisme menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Alasannya adalah bahwa nalar tidak memiliki “wewenang” untuk menginterpretasi teks sebab nalar tidak memiliki kemampuan akan hal itu. Kendati bagian-bagian tertentu dari teks terlihat bertentangan, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.
Ketiga, penolakan terhadap pluraisme dan relativisme. Bagi mereka pluralism merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan mereka merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, terutama yang muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi lebih karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Perkembangan historis dan sosiologis bagi mereka telah membawa manusia jauh dari doktrin literal kitab suci. Dalam kerangka ini masyarakat secara doktrinal harus menyesuaikan perkembangannya dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembanagan masyarakat, sebab inilah kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis (M. Dede Ridwan, 2002: 138-139).
Dengan keyakinan seperti ini, maka pada prinsipnya menurut penulis di satu sisi, kaum fundamentalis ingin mengembangkan gagasan dasar yang menyatakan bahwa suatu agama tertentu (dalam kajian ini: Islam) harus dipegang dan dipahami secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan. Namun pada sisi yang berbeda, Islam dan segala perangkatnya tidak bisa dilepaskan dengan kenyataan sosial, politik, budaya dan sejarah yang wajib dilibatkan dalam setiap pemaknaan dan interpretasi teks. Dari kenyataan inilah kita tidak dapat melepaskan komunikasi antara teks dan konteks.

D.    Dari Teks Menuju Konteks: Sebuah Solusi
Menurut hemat penulis persoalan yang dapat menyebabkan seseorang memiliki sikap ekstrim, elastis, atau fundament terhadap agama adalah masalah pemahaman terhadap teks sebagai landasan asasi dalam beragama. Jika pemahaman hanya terfokus pada teks (al-Qur’an dan Hadits)  belaka, maka sikap ekstrim, eksklusif, serta fanatis terhadap bunyi teks tidak dapat dielakkan. Sebaliknya jika pemahaman terhadap teks dikaitkan dengan kondisi, seting sosial, sejarah dan hal yang mengitari hadirnya teks, maka sikap elastis dan toleran akan dapat dimunculkan.
Bagi kaum fundamentalisme kitab suci sepenuhnya bersifat ilahiyah tidak memuat pengaruh-pengaruh yang sifatnya historis, karenanya jika manusia tidak mengikuti hukum yang telah di “ramu’’ Tuhan dalam al-Qur’an. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri, maka orang tersebut sudah melawan hukum Tuhan yang konsekwensinya adalah dianggap kafir. Disamping itu, asumsi bahwa agama bisa mengatur seluruh hal dalam kehidupan manusia, sebab agama dianggap sebagai aturan Tuhan yang sudah semestinya mengatur secara rinci segala hal dalam hidup manusia, dengan keyakinan inilah muncul pandangan agama yang totalitarianistik (Moh. Shofan, 2006: 98).
Pandangan semacam ini sangatlah beralasan jika kita memahami teks sebagai “korpus tertutup” yang tidak dapat menerima “bantuan” dari kenyataan adanya konteks sebagai realitas lain yang hadir di luar teks. Dengan demikian, wajar kiranya jika al-Qur’an seolah sebagai sebuah “kapsul” yang berisi berbagai ramuan siap ditelan tanpa memperhatikan adanya seperangkat “air sejarah”, “sendok sosial”, dan “gelas politik” yang harus selalu diikut-sertakan dalam mengkonsumsinya, tegasnya bahwa pemahaman terhadap teks dan Islam sudah final dan serba mencakup (all-inclusive) tanpa harus mengandalkan kenyataan lain (Sumanto Al Qurtuby, 2005: 122).
Pemahaman terhadap al-Qur’an jelas tidak dapat dipisahkan dengan adanya historisitas dan kontekstualitas. Bahkan menurut Nasr Hamid Abu Zaid peradaban Islam adalah peradaban teks, sebab dengan berporos pada teks (al-Qur’an)-lah dinamika peradaban Islam bergulir. Hal ini membuktikan bahwa dalam peradaban Islam pada umumnya, al-Qur'an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak keilmuan yang berkembang di dalamnya (Nasr Hamid Abu Zaid, 2003: 1-17).
Sementara orang (fundamentalis) terlalu berlebihan dalam menyikapi teks, sehingga secara tidak sadar memunculkan pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas. Teks sebagai pedoman yang sakral di satu sisi dengan realitas kehidupan sebagai objek dari pedoman tersebut di sisi yang berbeda. Implikasi yang ditimbulkan dari pemahaman ini tidaklah ringan, sebab ada kalanya dalam kondisi tertentu ketika ada kepentingan-kepentingan tertentu dalam diri seseorang atau sekelompok orang, maka untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan tersebut teks dijadikan sarana untuk memberikan legitimasi dan justifikasinya (Fahruddin Faiz, 2005: 99). Lebih jauh lagi, jika terjadi “sengketa” antara teks dan realitas, maka realitas harus ditaklukkan ke dalam bunyi tekstual teks, hal inilah yang akan memunculkan kelompok “penyembah” teks (‘Ubbadu an-Nushush).
 Perlu kita cermati bersama bahwa kata-kata literal (mant}u>q) teks al-Qur’an bersifat ilhiah dan sakral, namun ia menjadi sebuah “konsep” (mafhu>m) relatif dan bisa berubah ketika ia dipandang dari perspektif manusia; ia menjadi sebuah teks “manusiawi” (Moch. Nur Ichwan, 2002: 158). Namun demikian transendensi dan kesakralan teks al-Qur’an tidak akan hilang dan luntur meskipun telah memasuki ranah manusiawi dan dilihat dari perspektif manusia, ia akan tetap pada kesakralan dan kesuciannya.
Oleh sebab itu, menurut penulis kita harus meyakini bahwa konteks merupakan bagian yang integral dari teks dalam pengertian jika kita ingin mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan inklusif terhadap makna teks maka dialegtika antara teks dan konteks tidak bisa diabaikan. Adalah sangat tidak bijaksana kiranya pemahaman yang menolak segala hal yang baru selain dari pada apa yang telah ada dalam doktrin, seperti yang dipahami kaum fundamentalisme selama ini.
Kembali kepada al-Qur’an dan sunnah tidak harus dipahami sebagai penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis, tidak pula harus dipahami dengan mengembalikan al-Qur’an sebagai teks normatif pada pengertian yang literal serta manusia tidak diberi ruang ekspresi dan kewenangan dalam menginterpretasi al-Qur’an yang nota bene di wahyukan untuk manusia sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat.
Menurut penulis solusi utama dalam membendung arus fundamentalisme Islam adalah dengan bermula dari teks menuju konteks yang ada di sekitarnya. Dalam pengertian bahwa teks harus dipahami secara luas dengan mengikut-sertakan konteks sejarah, sosial, politik, dan budaya. Sebab teks (al-Qur’an dan Hadist) merupakan “korpus terbuka” yang meniscayakan manusia (mufassir) untuk memahaminya dengan bantuan berbagai realitas di luar teks. Tidak perlu ada kekhawatiran akan hilangnya kesakralan dan transendensi teks, sebab kesakralan dan transendensi itu tidak ada kaitannya dengan pemahaman manusia terhadap al-Qur’an.

E.     Ikhtitam
Demikianlah sekelumit penjelasan dan pemahaman penulis terhadap fundamentalisme Islam yang dewasa ini menjadi fenomena keagamaan dan tidak jarang kekerasan terjadi atas doktrin agama yang dikaitkan dengan kaum fundamentalisme. Bagi penulis bahwa fenomena fundamentalisme Islam pada prinsipnya merupakan bagian dari keberagaman pemahaman terhadap agama utamanya nash baik al-Qur’an maupun hadist. Sikap kritis dan reinterpretasi terhdap nash perlu diperdalam sebagai suatu landasan untuk mematahkan landasan epistemologi (Nadhoriyat al-Ma’rifah) mereka.
Semoga tulisan yang jauh dari kata sempurna ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan kita semua. Wallahu A’lam.

























Daftar Pustaka

Abd A’la, 2002, Melampaui Dialog Agama, Jakarta Kompas.
Agus Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abeveiro, 2004, Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia, Jakarta: SR-Ins Publishing.
Az-Zamakhsyari, t.th, al-Kasya>f  ‘an Haqa>iq al-Tanzi>l, Juz: I, ttp.
Fahruddin Faiz, 2005, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press.
Hamim Ilyas, 2004, “Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir al-Qur’an”, dalam Tuhan: The Thematic Encyclopaedia, Agus Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abeveiro (ed), Jakarta: SR-Ins Publishing.
M. Amin Abdullah, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Dede Ridwan, 2002, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan, Yogyakarta: Belukar Budaya.
Moch. Nur Ichwan, 2002, “al-Qur’an Sebagai Teks: Teori Teks dalam Hermeneutik Qur’an nasr Hamid Abu Zayd”, dalam: Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Metodologi Tafsir, Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed), Yogyakarta: Tiara Wacana.
Moh. Shofan, 2006, Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme, Yogyakarta: IRCiSoD.
Muhammad Abid al-Jabiri dan Hasan Hanafi, 1990, H{iwa>r al-Masriq wa al-Maghrib, Beirut: al-Muassasah al-‘Arabiyyah.
Nasr Haid Abu Zaid, 2003, Tekstualitas al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS
Sayyid Qutb, t.th. Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, Juz: I, Beirut: Dar al-‘Arabiyah.
Sumanto Al Qurtuby, 2005, Lubang Hitam Agama: Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal,  Yogyakarta: RumahKata.