IDEOLOGI FUNDAMENTALISME ISLAM
(Menyembah Teks: Menolak
Konteks)
Oleh: Hayatul Islami
Key Word: Fundamentalisme, Islam, Teks, dan Konteks
A.
Muqaddimah
Proses
ideologisasi agama dalam dunia Muslim telah terjadi dalam konteks yang luas dan
universal. Hal ini tergambar dari proses pergeseran Islam yang semula merupakan
kepercayaan yang open minded, inklusif berubah menjadi keyakinan yang defensive-inklusif,
dari lapangan teologikal-tradisional pada lapangan sosiologis yang
memformulasikan Islam ke dalam norma-norma dan nilai-nilai tatanan
sosio-politik. Karena sifat Islam yang ideologis, akhirnya Islam dipahami
sebagai kepercayaan tentang legitimasi yang terdiri dari
interpretasi-interpretasi teks-teks keagamaan untuk dimanfaatkan dalam ranah
sosial-politik. Prinsipnya hal ini barangkali menjadi sah, sebab agama sendiri
memang memiliki kepentingan moral dan akhak dalam pergulatan politik.
Tanggung
jawab Islam tidak hanya pada ranah sosial-politik, namun sudah masuk pada ranah
ideologi dan aqidah, hal ini menjadikan komposisi umat Islam menjadi beragam.
Kaum Fundamentalis misalnya, menampilkan agama dalam wajah yang menakutkan
khususnya pada ranah hukum dan politik. Islam tidak dihidupkan dalam bentuk
ajaran-ajaran universal yang sangat menghargai akan perbedaan. Islam justru dicerminkan
dalam wajah yang keras dalam pembelaan-pembelaan atas nama kepentingan kelompok
muslim yang sangat parsial, bahkan menganggap kafir bagi mereka yang tidak se-ideologi
dengan mereka.
Sementara
itu, agama sering mereka jadikan legitimasi dalam melakukan kekerasan, yang
lebih ironi adalah bahwa doktrin sentral dalam ideologi Islam menurut mereka
adalah kedaulatan atau supermasi hukum Tuhan. Bagi mereka Islam adalah
satu-satunya jalan hidup dan harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan
pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejahteraan kelompok lain. Kehadiran konsep
“jalan lurus” (al-Shirat al-Mustaqim), bagi mereka telah dipastikan oleh
sistem hukum Tuhan (syari’ah).
Berangkat
dari kenyataan di atas, tulisan sederhana ini akan mencoba menelusuri ideologi
dan pemahaman keagamaan kaum fundamentalis yang menurut penulis sangat menarik
untuk dikaji bukan saja karena masalah pemahaman dan interpretasi terhadap
agama yang kurang ramah, namun lebih dari itu gejala Fundamentalisme ini sudah
menyebar hampir keseluruh pelosok dunia Islam. Disamping itu, tulisan ini juga
akan membahas bagaimana solusi dan pandangan Islam sebagai agama yang rahmatan
lil ‘alamin.
B.
Fundamentalisme Islam dalam Pluralitas-Interpretatif
Fundamentalisme
Islam tidaklah muncul secara tiba-tiba, seperti yang sering diyakini oleh
sementara orang. Istilah fundamentalisme juga bukan fenomena baru, yang
contoh-contohnya dapat dapat ditemukan dalam beberapa periode peradaban manusia.
Istilah ini bukanlah merupakan istilah yang berasal dari perbendaharaan kata
dalam bahasa masyarakat Muslim, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh
kalangan akademisi Barat dalam konteks kesejarahan keagamaan dalam
masyarakatnya sendiri (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 499).
Istilah
fundamentalisme pertama kali muncul di kalangan para penganut Kristen Protestan
di Amerika Serikat sekitar tahun 1910-an. Fundamentalisme dianggap sebagai
aliran yang berpegang teguh pada “fundamen” agama Kristen melalui penafsiran
terhadap kitab suci agama itu sendiri secara rigid dan literalis (The
Oxford English Dictionary, 1988: 129). Ini merupakan bagian dari fenomena responsi
kalangan konservatif terhadap perkembengan teologi liberal-modernisme dan
gejala sekularisme.
Dalam
istilah yang berbeda, fundamentalisme dapat juga dipadankan dengan
istilah-istilah revivalism, militancy, reassertion, resurgence, activism, dan
reconstructrionism, sekalipun istilah-istilah ini masih dianggap suatu
yang debatable, namun kesemuanya sering kali diidentifikasi sebagai
pengertian yang menunjuk pada komunitas keagamaan yang melakukan gerakan secara
keras (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 499).
Kaum
fundamentalisme yang berbahasa Arab sering menggunakan beberapa istilah untuk menyebut
kelompok mereka, antara lain: us}u>liyah
al-Isla>miyah (dasar-dasar
Islam), al-Syahwah
al-Isla>miyah (kebangunan
Islam), atau juga sering disebut al-Ba’as\
al-Isla>mi> (kebangkitan
Islam). Selain ketiga istilah ini ada istilah lain, mereka menyebutnya dengan
istilah al-Muta’as}ibu>n
(orang-orang fanatik), atau juga mutat}arrifu>n (orang-orang radikal), dua istilah terakhir lebih bermakna radikal
dibanding tiga istilah sebelumnya (Muhammad Abid Al-Jabiri dan Hasan Hanafi,
1990: 23-28).
Munculnya
istilah-istilah seperti di atas sudah barang tentu memiliki latar
sosio-historis yang satu sama lain menyimpan makna yang berbeda. Sebagian
sarjana Muslim bersikap enggan untuk menggunakan istilah fundamentalisme sebab
istilah ini sangat berimplikasi negatif terhadap Islam itu sendiri, secara umum
ia sering dimaknai sebagai kelompok Islam yang berjuang untuk mencapai tujuan dengan
menggunakan cara-cara kekerasan atau secara ekstrim dapat dikatakan
“menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan”.
Terlepas
dari begitu luasnya makna terminologi dari istilah fundamentalisme, menurut Bassam
Tibi seperti yang dilansir oleh Agus Maftuh Abegebriel bahwa fundamentalisme
adalah aliran keagamaan yang menolak segala hal yang baru selain dari pada apa
yang telah ada dalam doktrin atau kelompok yang melakukan pendekatan
konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan
pada pemurnian doktrin (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 502).
Dari
beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, tulisan ini ingin membatasi
pengertian fundamentalisme Islam pada dua kategori pertama: activist
political fundamentalism dan kedua: rationalist spiritualist
fundamentalism. Istilah yang pertama merujuk pada sekelompok muslim yang
memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik. Sementara istilah yang kedua
lebih menekankan pada sekelompok muslim yang mengingikan kembali kepada ajaran
al-Qur’an dan tradisi sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh generasi Muslim
awal (Muhammad Sa’id al-Asnawi, 1994: 78).
C.
Doktrin Ideologi dan Tafsir Tekstualis
1. Konsep Islam Kaffah
Seperti
yang disebutkan sebelumnya, fundamentalisme dalam pengertian lain dapat
dipahami sebagai suatu tradisi interpretasi sosio-religius yang menjadikan
Islam sebagai agama dan ideologi. Hal ini tak pelak menjadikan interpretasi
yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin-doktrin teologis, tapi juga
merangsek pada mainstream ideologi.
Doktrin
sentral yang dibangun oleh fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam
doktrin ini, Islam diyakini tidak semata hanya sebagai sistem agama, namun
sebagai sistem yang secara total mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik
dalam lingkup personal maupun komunal. Dalam konteks dunia modern saat ini,
Islam diterjemahkan pada pola integralisme, yakni relasi agama dan negara
bersifat integral atau saling mengisi yang pada perkembangannya kemudian Islam
dibentuk sebagai sebuah ideologi negara (Hamim Ilyas, 2004: 128).
Kalangan
fundamentalisme menjadikan Q.S al-Baqarah (2): 208 sebagai landasan asasi dalam
memahami “Islam Kaffah”:
يَآيُّهَاالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ادْخُلُوْا فِى
السِّلْمِ كَآفَّةً. وَلَاتَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِيْنٌ (البقرة: ٢٠٨)
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam
seluruhnya dan janganlah mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya
syetan itu musuh yang nyata bagimu”.
Sayyid
Qutb memahami kata as-Silm adalah umat beriman yang diperintahkan unuk
memasukinya dengan al-Manhaj ar-Rabbani, yakni sistem kehidupan yang diajarkan Tuhan
dengan mendasarkan pada akidah, sehingga membuat damai dan satu-satunya sistem
sosial yang mampu menyatukan masyarakat tanpa memandang ikatan artifisial yang
tidak berhubungan dengan substansi manusia. Sistem ini dilawankan dengan al-Manhaj
al-Jahili, yakni sistem kehidupan sekuler yang diciptakan manusia, baik
masa lalu maupun masa sekarang (Sayyid Qutb, t.th. I: 130).
Masih
menurut Qutb, bahwa munasabah (hubungan/pertautan) antara frasa as-Silm
dengan larangan mengikuti langkah syetan adalah hubungan yang berlawanan (ta’adul/ta’arudh),
hal ini dipahami secara dikhotomis yang memiliki arti masuk Islam secara total
atau mengikuti langkah syetan. Dengan tegas Qutb menyatakan bahwa tidak ada
lain kecuali dua arah, petunjuk atau kesesatan, Islam atau Jahiliyah, jalan
Allah atau jalan syetan.
Dengan
kata lain Qutb ingin menegaskan bahwa orang Islam wajib mengikuti al-Manhaj
al-Rabbani secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam kehidupan
pribadi mereka harus menganut sistem kepercayaan dan peribadatan Islam.
Demikian halnya dalam kehidupan sosial mereka harus mengikuti sistem-sistem
Islam dalam pergaulan, ekonomi, politik, dan lain-lain. Hal ini mengindikasikan
bahwa orang yang tidak masuk Islam secara total tidak menyerahkan dirinya murni
tunduk kepada Allah dan Syari’at-Nya, serta tidak menghindari konsep, sistem
dan atauran lain, maka dia berada di jalan syetan dan berjalan mengikuti
langkah-langkah syetan (Sayyid Qutb, t.th. I: 133).
Pemahaman
yang disampaikan oleh Sayyid Qutb di atas merupakan landasan asasi bagi
fundamentalisme sebagai doktrin teologis yang mutlak harus diterapkan tanpa
kompromi, hal ini menurut penulis pada akhirnya akan menjadikan wajah Islam
tidak fleksibel dan cenderung menakutkan. Padahal menurut penulis ada sedikit
kejanggalan dalam pemahaman Sayyid Qutb terhadap kata silm pada ayat di
atas. Diantaranya bahwa kata silm dalam ayat tersebut tidak melulu harus
ditafsirkan dengan Islam dan segala sistem serta bentuk kelembagaannya, namun
dapat juga dipahami dalam arti berserah diri dan taat (istislam dan tha’ah).
Seperti yang dikemukakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya (az-Zamakhsyari, t.th.
I: 353).
Dengan
demikian pemahaman terhadap “Islam Kaffah” bisa kita pahami dalam pengertian
bersrah diri kepada Allah serta patuh dan taat dalam menjalankan segala
perintahnya. Hal ini mengindikasikan umat Islam dalam interaksinya dengan
sesama manusia dapat saja menggunakan cara-cara dan mekanisme dari luar Islam
selama tidak merubah dan bertentangan dengan kaidah-kaidah normatif agama.
2.
Tafsir Tekstualis
Disamping
itu, karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan
harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa
kesalahan (Richard T. Antoun, 2003: 41). Bagi kaum fundamentalisme teks harus
dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, nalar dipandang tidak mampu
memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.
Pemahaman
semacam ini yakni parsial dan terpotong-potong terhadap teks (al-Qur’an dan
Hadist) menyebabkan mereka terperangkap ke dalam wawasan yang sempit dan tidak
mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dalam kehidupan konkret. Seperti kata “jihad”
dalam al-Qur’an dipahami secara harfiah belaka tanpa mencoba mengkolaborasinya
lebih jauh melalui cara pemahaman terhadap sebab historis yang terkait dengan
konsep itu. Hal ini semakin mengeras ketika faktor-faktor lain semisal ekonomi,
politik, dan budaya tidak disertakan di dalamnya (Abd A’la, 2002: 17).
Bahkan
lebih lanjut M. Amin Abdullah menjelaskan bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an
yang bersifat lexiografis kata perkata, kalimat perkalimat, ayat dengan
ayat, tanpa mempedulikan konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya ketika
sebuah ayat turun dan bagaimana konteks sosial, ekonomi, politik, budaya pada
era sekarang sebagaimana yang terjadi selama ini, adalah pola dan metode
penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang dianggap sebagai korpus “tertutup”,
ahistoris. Untuk itu, perlu adanya penafsiran yang lebih bersifat
“produktif” yang lebih menonjolkan perlunya menggali atau menemukan makna-makna
baru yang sesuai dengan tingkat tantangan perubahan dan perkembangan konteks
sosial-ekonomi, politik dan budaya yang melingkupi kehidupan umat Islam
kontemporer tanpa meninggalkan misi utama makna moral dan pandangan hidup
al-Qur’an (M. Amin Abdullah, 2006: 139).
Gagasan
dasar fundamentalisme di atas dibingkai dalam kerangka metodologi yang
sekaligus dapat mengidentifikasi fundamentalisme Islam dari sisi pemahaman
terhadap teks. Kerangka metodologi tersebut diantaranya;
Pertama,
oposisionalisme. Prinsipnya bahwa fundamentalisme dalam agama apapun (termasuk
Islam) mengambil bentuk perlawanan bahkan dalam bentuk radikal terhadap ancaman
yang dipandang dapat membahayakan eksistensi agama, baik yang berbentuk
modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan dan tolok ukur untuk
menilai ancaman tersebut adalah al-Qur’an dan pada batas-batas tertentu juga
hadis Nabi.
Kedua, penolakan
terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalisme menolak sikap kritis terhadap teks
dan interpretasinya. Alasannya adalah bahwa nalar tidak memiliki “wewenang”
untuk menginterpretasi teks sebab nalar tidak memiliki kemampuan akan hal itu. Kendati
bagian-bagian tertentu dari teks terlihat bertentangan, nalar tidak dibenarkan
melakukan semacam “kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.
Ketiga, penolakan
terhadap pluraisme dan relativisme. Bagi mereka pluralism merupakan hasil dari
pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan dan sikap keagamaan
yang tidak selaras dengan pandangan mereka merupakan bentuk dari relativisme
keagamaan, terutama yang muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks
kitab suci, tetapi lebih karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah
lepas dari kendali agama.
Keempat, penolakan
terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Perkembangan historis dan
sosiologis bagi mereka telah membawa manusia jauh dari doktrin literal kitab
suci. Dalam kerangka ini masyarakat secara doktrinal harus menyesuaikan
perkembangannya dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau
penafsirannya yang mengikuti perkembanagan masyarakat, sebab inilah kaum
fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis (M. Dede Ridwan, 2002:
138-139).
Dengan
keyakinan seperti ini, maka pada prinsipnya menurut penulis di satu sisi, kaum
fundamentalis ingin mengembangkan gagasan dasar yang menyatakan bahwa suatu
agama tertentu (dalam kajian ini: Islam) harus dipegang dan dipahami secara
kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi
dan pengurangan. Namun pada sisi yang berbeda, Islam dan segala perangkatnya
tidak bisa dilepaskan dengan kenyataan sosial, politik, budaya dan sejarah yang
wajib dilibatkan dalam setiap pemaknaan dan interpretasi teks. Dari kenyataan
inilah kita tidak dapat melepaskan komunikasi antara teks dan konteks.
D.
Dari Teks Menuju Konteks: Sebuah Solusi
Menurut hemat penulis persoalan yang
dapat menyebabkan seseorang memiliki sikap ekstrim, elastis, atau fundament terhadap
agama adalah masalah pemahaman terhadap teks sebagai landasan asasi dalam
beragama. Jika pemahaman hanya terfokus pada teks (al-Qur’an dan Hadits) belaka, maka sikap ekstrim, eksklusif, serta fanatis
terhadap bunyi teks tidak dapat dielakkan. Sebaliknya jika pemahaman terhadap
teks dikaitkan dengan kondisi, seting sosial, sejarah dan hal yang mengitari
hadirnya teks, maka sikap elastis dan toleran akan dapat dimunculkan.
Bagi kaum fundamentalisme kitab suci
sepenuhnya bersifat ilahiyah tidak memuat pengaruh-pengaruh yang sifatnya
historis, karenanya jika manusia tidak mengikuti hukum yang telah di “ramu’’
Tuhan dalam al-Qur’an. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri, maka orang
tersebut sudah melawan hukum Tuhan yang konsekwensinya adalah dianggap kafir.
Disamping itu, asumsi bahwa agama bisa mengatur seluruh hal dalam kehidupan
manusia, sebab agama dianggap sebagai aturan Tuhan yang sudah semestinya
mengatur secara rinci segala hal dalam hidup manusia, dengan keyakinan inilah
muncul pandangan agama yang totalitarianistik (Moh. Shofan, 2006: 98).
Pandangan semacam ini sangatlah
beralasan jika kita memahami teks sebagai “korpus tertutup” yang tidak dapat
menerima “bantuan” dari kenyataan adanya konteks sebagai realitas lain yang hadir
di luar teks. Dengan demikian, wajar kiranya jika al-Qur’an seolah sebagai
sebuah “kapsul” yang berisi berbagai ramuan siap ditelan tanpa memperhatikan
adanya seperangkat “air sejarah”, “sendok sosial”, dan “gelas politik” yang
harus selalu diikut-sertakan dalam mengkonsumsinya, tegasnya bahwa pemahaman
terhadap teks dan Islam sudah final dan serba mencakup (all-inclusive)
tanpa harus mengandalkan kenyataan lain (Sumanto Al Qurtuby, 2005: 122).
Pemahaman terhadap al-Qur’an jelas
tidak dapat dipisahkan dengan adanya historisitas dan kontekstualitas. Bahkan
menurut Nasr Hamid Abu Zaid peradaban Islam adalah peradaban teks, sebab dengan
berporos pada teks (al-Qur’an)-lah dinamika peradaban Islam bergulir. Hal ini
membuktikan bahwa dalam peradaban Islam pada umumnya, al-Qur'an memiliki peran
budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam
menentukan sifat dan watak keilmuan yang berkembang di dalamnya (Nasr Hamid Abu
Zaid, 2003: 1-17).
Sementara orang (fundamentalis)
terlalu berlebihan dalam menyikapi teks, sehingga secara tidak sadar
memunculkan pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas. Teks sebagai
pedoman yang sakral di satu sisi dengan realitas kehidupan sebagai objek dari
pedoman tersebut di sisi yang berbeda. Implikasi yang ditimbulkan dari pemahaman
ini tidaklah ringan, sebab ada kalanya dalam kondisi tertentu ketika ada
kepentingan-kepentingan tertentu dalam diri seseorang atau sekelompok orang,
maka untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan tersebut teks dijadikan sarana
untuk memberikan legitimasi dan justifikasinya (Fahruddin Faiz, 2005: 99).
Lebih jauh lagi, jika terjadi “sengketa” antara teks dan realitas, maka
realitas harus ditaklukkan ke dalam bunyi tekstual teks, hal inilah yang akan
memunculkan kelompok “penyembah” teks (‘Ubbadu an-Nushush).
Perlu kita cermati bersama bahwa kata-kata
literal (mant}u>q) teks
al-Qur’an bersifat ilhiah dan sakral, namun ia menjadi sebuah “konsep” (mafhu>m) relatif dan bisa berubah ketika ia dipandang dari perspektif
manusia; ia menjadi sebuah teks “manusiawi” (Moch. Nur Ichwan, 2002: 158). Namun
demikian transendensi dan kesakralan teks al-Qur’an tidak akan hilang dan
luntur meskipun telah memasuki ranah manusiawi dan dilihat dari perspektif
manusia, ia akan tetap pada kesakralan dan kesuciannya.
Oleh sebab itu, menurut penulis kita
harus meyakini bahwa konteks merupakan bagian yang integral dari teks dalam
pengertian jika kita ingin mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan inklusif
terhadap makna teks maka dialegtika antara teks dan konteks tidak bisa
diabaikan. Adalah sangat tidak bijaksana kiranya pemahaman yang menolak segala
hal yang baru selain dari pada apa yang telah ada dalam doktrin, seperti yang
dipahami kaum fundamentalisme selama ini.
Kembali kepada al-Qur’an dan sunnah
tidak harus dipahami sebagai penolakan terhadap perkembangan historis dan
sosiologis, tidak pula harus dipahami dengan mengembalikan al-Qur’an sebagai
teks normatif pada pengertian yang literal serta manusia tidak diberi ruang
ekspresi dan kewenangan dalam menginterpretasi al-Qur’an yang nota bene di
wahyukan untuk manusia sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat.
Menurut penulis solusi utama dalam membendung
arus fundamentalisme Islam adalah dengan bermula dari teks menuju konteks yang
ada di sekitarnya. Dalam pengertian bahwa teks harus dipahami secara luas dengan
mengikut-sertakan konteks sejarah, sosial, politik, dan budaya. Sebab teks
(al-Qur’an dan Hadist) merupakan “korpus terbuka” yang meniscayakan manusia
(mufassir) untuk memahaminya dengan bantuan berbagai realitas di luar teks. Tidak
perlu ada kekhawatiran akan hilangnya kesakralan dan transendensi teks, sebab kesakralan
dan transendensi itu tidak ada kaitannya dengan pemahaman manusia terhadap
al-Qur’an.
E.
Ikhtitam
Demikianlah
sekelumit penjelasan dan pemahaman penulis terhadap fundamentalisme Islam yang
dewasa ini menjadi fenomena keagamaan dan tidak jarang kekerasan terjadi atas
doktrin agama yang dikaitkan dengan kaum fundamentalisme. Bagi penulis bahwa
fenomena fundamentalisme Islam pada prinsipnya merupakan bagian dari keberagaman
pemahaman terhadap agama utamanya nash baik al-Qur’an maupun hadist.
Sikap kritis dan reinterpretasi terhdap nash perlu diperdalam sebagai
suatu landasan untuk mematahkan landasan epistemologi (Nadhoriyat
al-Ma’rifah) mereka.
Semoga
tulisan yang jauh dari kata sempurna ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah
keilmuan kita semua. Wallahu A’lam.
Daftar Pustaka
Abd A’la, 2002, Melampaui Dialog Agama, Jakarta Kompas.
Agus Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abeveiro, 2004, Negara Tuhan:
The Thematic Encyclopaedia, Jakarta: SR-Ins Publishing.
Az-Zamakhsyari, t.th, al-Kasya>f ‘an
Haqa>iq al-Tanzi>l,
Juz: I,
ttp.
Fahruddin Faiz, 2005, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial,
Yogyakarta: eLSAQ Press.
Hamim Ilyas, 2004, “Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir
al-Qur’an”, dalam Tuhan: The Thematic Encyclopaedia, Agus Maftuh
Abegebriel dan A. Yani Abeveiro (ed), Jakarta: SR-Ins Publishing.
M. Amin Abdullah, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif-Interkonektif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Dede Ridwan, 2002, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme
Islam dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan, Yogyakarta: Belukar Budaya.
Moch. Nur Ichwan, 2002, “al-Qur’an Sebagai Teks: Teori Teks dalam
Hermeneutik Qur’an nasr Hamid Abu Zayd”, dalam: Studi al-Qur’an Kontemporer:
Wacana Baru Metodologi Tafsir, Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed),
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Moh. Shofan, 2006, Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi
Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme, Yogyakarta: IRCiSoD.
Muhammad Abid al-Jabiri dan Hasan Hanafi, 1990, H{iwa>r
al-Masriq wa al-Maghrib, Beirut:
al-Muassasah al-‘Arabiyyah.
Nasr Haid Abu Zaid, 2003, Tekstualitas al-Qur'an: Kritik
Terhadap Ulumul Qur'an, terj.
Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS
Sayyid Qutb, t.th. Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, Juz: I, Beirut: Dar al-‘Arabiyah.
Sumanto Al Qurtuby, 2005, Lubang Hitam Agama: Mengkritik
Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal, Yogyakarta: RumahKata.