Halaman

Jumat, 04 September 2009

Studi Ma'anil Hadis

Studi Ma'anil Hadis;
Malaikat Membentangkan Sayapnya Bagi Orang yang Menuntut Ilmu

A. Pendahuluan

Jika kita lihat dalam al-Qur'an, ternyata al-Qur'an secara signifikan tidak mengungkap tentang tujuan pendidikan secara rinci dan tegas. Namun isyarat akan keutamaan dan kemuliaan yang didapat melalui proses pendidikan banyak diungkap di dalamnya. Al-Qur'an menggunakan kata ilmu dengan berbagai derivasinya tidak kurang dari 408 kali, ini menunjukkan bahwa keutamaan ilmu dan orang yang menuntut ilmu sangatlah tinggi, bahkan semangat keilmuan ini disejajarkan dengan ke-tauhidan. Surah al-'Alaq 1-5 sebagai bukti pensejajaran itu.
Demikan pula halnya dengan hadis Rasulullah saw., dalam berbagai kesempatan Rasul saw. sering memberikan semangat dan respon yang sangat simpati terhadap orang yang berilmu dan para penuntut ilmu, bahkan tidak jarang Rasul memberikan motifasi dan keutamaan-keutamaan bagi orang yang menuntut ilmu. Sehingga tidak jarang pula Rasul memanjatkan do'a bersama-sama dengan penyertaan beliau yang mengandung anjuran bahkan perintah menuntut ilmu seperi ungkapan-ungkapan yang sudah masyhur dikalangan masyarakat.
Jika lebih dicermati, bahwa menuntut ilmu itu bukan hanya sekedar kewajiban manusia tetapi merupakan suatu kebutuhan primer bagi manusia, bagi kelangsungan hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak. Sebab, untuk mencapai kebahagian di dunia harus dengan ilmu, begitu juga jika ingin bahagia di akhirat haruslah dengan ilmu. Oleh karena itu, Rasullullah melalui hadisnya sering memberikan motifasi dan semangat bagi orang-orang yang mau dan sedang menuntut ilmu.
Motifasi-motifasi yang dilontarkan oleh Rasul saw. tidak hamya berupa kemulian dan keutamaan yang diberikan bagi orang yang berilmu (baca: Ulama), akan tetapi motifasi-motifasi itu juga dilontarkan Rasul dalam bentuk perlindungan yang dilakukan oleh malaikat bagi orang-orang-orang yang sedang atau akan menuntut ilmu. Hal ini senada dengan yang dilukiskan dalam al-Qur'an. Di dalam al-Qur'an sendiri isarat akan keutamaan dan kemulian bagi orang yang menuntut ilmu yang didapat melalui proses pendidikan sangat banyak disebutkan di dalamnya.
Perlindungan yang dilakukan oleh malaikat bagi orang-orang yang menuntut ilmu adalah merupakan suatu motifasi yang sampaikan oleh Rasul saw. agar orang-orang (baca: Islam) semangat dalam menuntut ilmu. Walaupun sebenarnya perlindungan itu bisa saja dipahami sebagai sebuah kemuliaan atau pengangkatan derajat bagi orang yang menuntut limu, namun yang jelas bahwa memang perlindungan yang dilakukan oleh malaikat bagi orang yang menuntut, ilmu sejak dia keluar dari rumah hingga pulangnya memang ada, walaupun tidak diketahui apa bentuknya. Seperti yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni tentang: "malaikat akan membentangkan sayapnya bagi orang yang menuntut ilmu karana senang dengan apa yang dilakukannya".
Dalam makalah ini akan dibahas sebuah matan hadis yang berkaitan dengan motifasi yang diberikan Rasul kepada orang yang menuntut ilmu. Makalah ini tidak akan membahas tentang kesahihan sanadnya, namun hanya berfokus pada pemahaman terhadap matan dan nantinya akan dilakukan sebuah kritik untuk melihat apakah hadis ini dapat diterapkan pada konteks saat ini.
Sebelumnya, untuk mengantarkan pada kajian kritik praktis maka akan dibabahas lebih dahulu matan hadis dari pemehaman bahasa dan dikonfirmasikan dengan ayat-ayat al-Qur'an sebagai pendukung kehujjahan sebuah matan hadis, serta juga akan dilihat hadis-hadis lain sebagai pendukung. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tinjauan historis. Dari sisni nantinya baru akan muncul tinjauan kritik dan pemahaman sebuah hadis secara komprehensif dan mendalam. Adapun hadis yang akan dibahas dalam makalah ini adalah hadis yang disampaikan oleh Abu Darda yang artinya: " Rasulullah saw. bersabda: "Tiadalah seorang pun yang keluar dari rumahnya dalam mencari ilmu kecuali para Malailat meletakkan sayap-sayap baginya (untuknya) karena senang (ridho) dengan apa yang dilakukannya". (H.R. Ibnu Majah).
Hadis ini tidak terdapat pada kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, namun setelah penulis melakukan penelusuran melalui kitab Mu'jam dan CD Mausu'ah, penulis menemukan hadis ini dibeberapa kitab, walaupun ada beberapa redaksi kata yang berbeda. Namun jika ditinjau dari segi kwalitasnya, setelah penulis lacak dari CD Mausu'ah bahwa hadis ini marfu' yang disandarkan kepada Rasulullah saw.
Pada intinya bahwa hadis ini memberikan gambaran sekaligus sebagai motifasi dan semangat, bahwa bagi setiap orang yang keluar dari rumahnya dengan niat menuntut ilmu, maka akan ada malaikat-malaikat yang akan menempatkan sayapnya untuknya, sebab malaikat senang dan ridha dengan apa yang dilkukannya. Untuk lebih jelasnya tentang masalah ini mari sama-sama kita lihat kajian di bawah ini.


B. Kajian Linguistik
Dalam kajian linguistik ini, penulis tidak mencantumkan seluruh kata dalam matan hadis untuk dirinci gramatikal dan maknanya. Sebab sebagian besar kata dalam matan hadis ini sudah sangat dipahami oleh sebagian besar orang, oleh karena itu, penulis hanya mencantumkan beberapa kata kunci yang menjadi titik fokus dari matan hadis ini, diantaranya kata; kharaja (خرج) , baitihi (بيته), dan ajnih}ataha (أجنحتها) teks hadisnya berbunyi;
222 حدثنا محمد بن يحيى . حدثنا عبد الرزاق . أنبأنا معمر عن عاصم بن أبيالنجودعن زر بن حبيش قال أتيت صفوان بن عسال المرادي فقال ما جاء بك ؟ قلت أنبط العلم. قال فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول (ما من خارج خرج من بيته في طلب العلم إلا وضعت له الملائكة أجنحتها رضا بما يصنع)

Artinya: "Menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, Memberitakan kepada kami Abdul Razzaq, memberitakan kepada kami Ma'mar dari 'Ashim bin Abu Najid, dari Zirrin bin Hubais, dia berkata "Saya mendatangi Shafwan bin 'Asal al-Mawardi>", beliau berkata: "kamu datang dengan niat apa? Saya menjawab; "saya hendak mencari ilmu" beliau berkata:"maka sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:"Tiadalah seorang pun yang keluar dari rumahnya dalam mencari ilmu kecuali para Malailat meletakkan sayap-sayap baginya (untuknya) karena senang (ridho) dengan apa yang dilakukannya". (H.R. Ibnu Majah).
Kata خرج diartikan keluar, dalam tata bahasa (konteks hadis ini) kata ini merupakan fi'il mad\i, yang berarti sedang atau akan keluar. Sementara kata خارج mengandung arti pelaku atau fa'il yakni orang yang keluar. Dalam kamus lisa>n al'Arab kata ini dilawankan maknanya dengan kata dakhala yang artinya masuk. Jadi kata kharaja ini berarti "keluar" yakni orang yang keluar dari tempat tinggalnya untuk suatu keperluan. Sedangkan kata بيته mengandung arti tempat tinggalnya (rumahnya), namun jika dirujuk dari kata aslinya ba>ta maka kata ini tidak hanya berarti tempat tinggal, tetapi bisa berarti "tempat" atau al-maka>n. Oleh karena itu, kata ini tidak hanya diartikan dengan makna tempat tinggal (rumah), namun juga bisa berarti tempat yang lain. Dalam al-Qur'an sebagian besar kata ini diartikan tempat diam atau tempat yang didiami (rumah) , seperti disebutkan dalam surah al-Nisa> ayat 100;

"Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah, dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Dari sini terlihat jelas bahwa bait adalah rumah tinggal atau tempat berdiam, maka jika seseorang beranjak atau meninggalkan tempatnya dengan niat untuk menuntut ilmu maka malaikat akan membentangkan sayapnya untuk orang yang pergi itu hingga dia kembali.
Selanjutnya kata أجنحتها. Kata ini berasal dari kata ج ن ح dalam kamus bahasa arab kata ini merujuk arti, sayap, tertutup, sayap burung, sirip ikan, tameng atau perlindungan. Kata ini juga seakar dengan kata jannah atau surga, sebab surga tertutup atau tidak terlihat oleh mata. Sementara kata yang terdiri dari rangkaian huruf jim ج , nun ن , dan nun ن mengandung makna ketersembunyian atau ketertutupan. Jika kita tarik artinya dari pemahaman hadis di atas, bahwa malaikat itu dengan sayapnya akan menutupi (melindungi) orang yang pergi dengan niat menuntut ilmu sampai ia kembali kerumahnya.
Kata ini terkadang juga diartikan tangan, dikatakan wa jana>hu al-Insa>n sama dengan wayada>hu al-Insan . Selain itu dalam al-Qur'an kata ini juga bisa bermakna sayap yang merujuk pada sayap malaikat seperti disebutkan dalam surah Fa>t\ir ayat pertama;


"Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".

C. Kajian Tematik Komprehensif
Untuk kajian tematik komprehensif ini akan dipaparkan teks-teks hadis lain yang setema dengan hadis di atas, dalam hal ini penulis melacak ada beberapa hadis yang setema dengan hadis di atas diantaranya;
Hadis dari kitab Sunan at-Tirmizi bab al-'ilmu 'an Rasulullah
2646 - حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو أسامة عن الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سلك طريقا يلتمس به علما سهل الله له طريقا إلى الجنة
قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
"Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu (mencari ilmu) maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga".

2648 - حدثنا محمد بن حميد الرازي حدثنا محمد بن المعلى حدثنا زياد بن خيثمة عن أبي داود عن عبد الله بن سخبرة عن سخبرة عن النبي رسول الله صلى الله عليه و سلم قال من طلب العلم كان كفارة لما مضى
قال أبو عيسى هذا حديث ضعيف الإسناد أبو داود يضعف ولا نعرف لعبد الله بن سخبرة كبير شيء ولا لأبيه واسم أبي داود نفيع الأعمى تكلم فيه قتادة وغير واحد من أهل العلم موضوع
"Barang siapa yang mencari ilmu, maka perbuatannya (mencari ilmu) menjadi penebus dosanya yang telah lalu".
Kedua hadis ini merupakan pendukung atau hadis yang se-tema dengan hadis yang diteliti. Di sini dapat dilihat bahwa pada hadis yang pertama bahwa orang yang menuntut ilmu akan dimudahkan baginya jalan menuju surga. Demikian pula dengan hadis yang kedua bahwa bagi orang yang mencari ilmu akan dihapus dosanya yang telah lalu. Namun hadis kedua ini dinilai oleh ulama sebagai hadis da'if.
Pada hadis pendukung yang pertama, disebutkan bahwa orang yang berjalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga, sebagian ulama memahami artinya bahwa orang yang menuntut ilmu sama dengan orang yang mati syahid mereka akandimasukan ke surga oleh Allah swt. Demikian pula hadis yang kedua, hadis ini memberikan motifasi yakni dengan menuntut ilmu, maka Allah akan menghapus dosa orang yang menuntut ilmu itu, atau menuntut ilmu itu akan menjadi penebus dosa seseorang. Ini artinya bahwa dengan motifasi-motifasi itu, diharapkan orang-orang tidak menjadi enggan dalam menuntut ilmu.
Sebenarnya masih ada beberapa hadis yang setema dengan hadis yang diteliti, namun disini tidak penulis cantumkan karena, menurut hemat penulis cukup dengan dua hadis di atas sudah sanggup mewakili hadis yang lain. Namun yang paling signifikan menurt hadis ini adalah bahwa bagi orang menuntut ilmu akan diberikan manfaat dan ganjaran yang setimpal oleh Allah dari mulai keberangkatannya sampai dia pulang.
D. Kajian Komfirmatif
Pada kajian ini akan dilakukan studi konfirmatif hadis tentang menuntut ilmu di atas dengan petunjuk-petunjuk dalam al-Qur'an. Dari sini nantinya akan terlihat singkronisasi al-Qur'an dengan al-Sunnah dimana keduanya merupakan sumber tertinggi ajaran Islam. Dari peneletian penulis dengan menggunakan kitab Mu'jam, setidaknya ada dua ayat al-Qur'an yang secara eksplisit mendukung hadis ini, yakni;

1. Surah at-Taubah (9) ayat 122.


"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya".

Menurut Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan tentang kaum Muslimin yang berduyun-duyun dan bersemangat untuk berjihad/ berperang melawan kaum Kafir, sebab anjuran yang demikian gencar dan pahala yang menanti serta kecaman bagi yang enggan. Sementara ulama menyebutkan bahwa ketika Rasul saw. berada di Madinah, beliau mengutus beberapa orang ke beberapa daerah, banyak sekali yang ingin ikut dalam pasukan kecil itu, sehingga jika diperturutkan maka yang tinggal bersama Rasul di Madinah hanya beberapa orang saja.
Ayat ini menuntun kaum Muslim untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju ke medan perang pergi semua ke medan perang sehingga tidak tersisa lagi kaum Muslimin yang melaksanakan tugas-tugas lainnya. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar diantara mereka untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat bagi diri mereka dan juga orang lain.
Selanjutnya menurut Quraish, kata  terambil dari kata fiqh, yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Kata fiqh di sini bukan hanya terbatas pada apa yang dipahami oleh ilmu agama yakni ilmu fiqh akan tetapi kata itu mencakup segala macam pengetahuan mendalam. Selain itu, ayat ini juga menggaris bahwahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ayat ini menganjurkan orang untuk menuntut ilmu, namun bukan berarti lalu meninggalkan jihad (berperang) di jalan Allah itu lebih jelek dari menuntut ilmu. Akan tetapi seharusnya juga ada orang yang mau tinggal untuk memperdalam ilmunya. Sebab Rasul juga pernah mengemukakan bahwa orang yang menuntut ilmu itu juga sama dengan berjihad.
2. Surah 'Abasa (80) ayat 3-4.

3.Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
4.Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?

Ayat selanjutnya yang berhubungan dengan hadis di atas adalah surah 'Abasa. Ayat ini sebenarnya berkaitan dengan sebuah peristiwa, dimana Rasul pada saat itu sedang sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum Musyrik Mekah, beliau berharap ajarannya dapat menyentuh hati dan fikiran mereka sehingga bersedia memeluk Islam. Pada saat itu datanglah seorang sahabat yang buta, yakni 'Abdulla>h ibn Ummi Maktu>m r.a. yang rupanya tidak mengetahui kesibukan Nabi itu, lalu langsung menyela pembicaraan Nabi saw. memohon agar diajarkan kepadanya apa yang telah diajarkan Allah kepada Nabi saw. ini lakukannya beberapa kali. Sikap 'Abdullah ini tidak berkenan di hati Nabi saw.-namun beliau tidak menegur apalagi menghardik- akan tetapi terlihat dari raut wajah Nabi saw. merasa tidak senang sehingga turunlah ayat ini untuk menegur beliau.
Kemudian teguran ayat 1-2 itu dilanjutkan oleh ayat 3-4 bahwa; apakah yang menjadikan kamu mengetahui yakni engkau tidak dapat mengetahui-walaupun berusaha keras untuk mengetahui hati seseorang- boleh jadi ia ingin membersihkan diri yakni beramal saleh dan mendapatkan pengajaran, sehingga itu lebih bermanfaat baginya. Ayat ini menunjukkan betapa menuntut ilmu sangat diridhoi oleh Allah dan tidak memandang siapa yang ingin dan mau menuntut ilmu, sekalipun ia seorang buta.

E. Analisis Historis (Asbabul Wurud)

Dalam kajian ini penulis tidak menemukan secara rinci dari asba>b wurud\ hadis ini, akan tetapi dari beberapa informasi yang penulis lacak, dapat dikemukakan disini melalui kajian dari awal bunyi hadis ini, bahwa sebab dikeluarkannya lagi hadis ini berkaitan dengan cerita tentang Abu Darda yang menyampaikan hadis ini kepada seseorang.
Pada satu saat ketika Kasir bin Qais sedang duduk-duduk bersama Abu Darda di Masjid Damaskus, kemudian datanglah seorang laki-laki, lalu kemudian berkata kepada Abu Darda" wahai Abu Darda aku datang kepada mu dari kota Madinah, kotanya Rasulullah saw. untuk keperluan hadis yang sampai kepada ku, bahwasanya engkau mewartakannya dari Beliau, lalu Abu Darda berkata "apakah kamu kesini untuk niat berdagang? Dia menjawab "tidak", "apakah kamu datang berniat selain itu? Dia menjawab tidak!. Kemudian Abu Darda berkata "saya mendengar Rasul saw. bersabda "Barang siapa melalaui jalan seraya mencari ilmu, maka Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada orang yang menuntut ilmu".
Analisis historis ini mencerminkan bahwa memang pada saat itu, secara umum masyarakat sangat haus dengan ilmu. Hal ini terbukti dengan kedatangan seseorang dari Madinah ke Damaskus (sekarang siriya), hanya untuk mendapatkan sebuah hadis yang disampaikan Rasul kepada Abu Darda. Jika dikontekskan pada zaman sekarang maka hal ini seharusnya memotifasi umat Islam untuk selalu menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun.

F. Kajian Kritik Praksis

Islam merupakan agama yang sangat memeperhatiakan dan mementingkan ilmu pengetahuan atau pendidikan, dalam berbagai kesempatan agama memberikan respon yang sangat positif terhadap orang yang berilmu dan menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan dengan tidak hanya memberikan penghargaan dan sanjungan bagi orang yang memiliki ilmu yang dalam tetapi juga memberikan ganjaran bagi orang yang sedang atau akan menuntut ilmu.
Selain dalam al-Qur'an anjuran menuntut ilmu juga datang dari Rasul saw. bahkan banyak pernyataan-pernyataan beliau yang mengandung anjuran bahkan perintah menuntut ilmu, seperti yang sudah sering dan masyhur dikalangan umat muslim sendiri. Etos keilmuan yang dilontarkan Rasul telah menumbuhkan proses belajar-mengajar yang pada gilirannya telah menumbulkan perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai cabang dan menjadi pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat semenjak awal perkembangan Islam hingga saat ini.
Hadis yang telah dibahas di atas, mencerminkan salah satu dari penghargaan yang diberikan kepada orang yang menuntut ilmu, yakni dengan adanya perlindungan yang dilakukan oleh malaikat-malaikat dengan sayap-sayap mereka, sebab senang dengan orang yang menuntut ilmu. Sayap-sayap di sini bisa diartikan sebagai perlindungan bagi orang-orang yang menuntut ilmu.
Hadis ini disampaikan Rasul sekitar 14 abad yang lalu, kemudian bagaimana jika dikontekskan untuk zaman sekarang? Secara sederhana dapat kita katakan bahwa hadis ini merupakan sebuah anjuran (sangat penting) bagi orang untuk selalu menuntut ilmu dan jangan khawatir dengan gangguan apapun sebab ada malaikat yang diutus Allah untuk melindungi, hal ini juga sekaligus menyatakan bahwa orang Islam itu harus pintar sebab mereka punya tanggung jawab intektual kepada Allah
Selanjutnya dalam hadis ini, secara kebahasaan orang yang dianjurkan menuntut ilmu dan mendapat perlindungan dari malaikat, tidak hanya orang pergi dari rumahnya untuk menuntut ilmu tapi lebih luas dari itu, yakni setiap orang yang berangkat dari tempat dia berdiam baik dekat maupun jauh. Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa orang yang pergi keluar rumahnya untuk mrnuntut ilmu maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.
Akan tetapi yang lebih penting dari ini semua sebenarnya adalah mentansfer ilmu yang telah dimiliki, seperti yang dilakukan oleh Abu Darda. Dalam konteks hadis ini, Abu Darda menyampaikan apa yang ia dapat dari Rasul kepada orang yang bertanya kepadanya. Pada saat ini, kebiasaan sementara orang yang paham tidak lalu menyampaikan apa yang ia pahami kepada orang lain dengan alasan materil banyak terjadi. Hal ini akan menghambat transfer ilmu. Padahal telah diketahui bahwa tujuan dari menuntut ilmu itu adalah membentuk manusia yang baik, yang memiliki akhlaq dan keterampilan guna melaksanakan tugas pengabdian kepada Allah dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini yang dilaksanakan sebagai relisasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Jika ada ke-enggan-an (atau bahkan tidak mau) mentransfer ilmu dengan alasan materil maka akan ada keterhambatan ilmu, dan hal ini jugalah yang di larang oleh agama.
Disamping itu, orang yang menuntut ilmu akan mendapat perlindungan dari Allah melalui malikat hingga ia kembali menurut hadis ini adalah orang yang memang melakukannya dengan niat murni untuk mendapatkan ridha Allah. Hal inilah yang dicontohkan oleh hadis di atas yakni ketika Abu Darda bertanya kepada seseorang yang meminta hadis kepadanya."apa niat anda kemari untuk berdagang atau yang liannya?" orang yang dalam hadis ini tidak disebutkan siapa orangnya lalu menjawab "tidak", saya hanya ingin mendapatkan ilmu dari Anda. Ini mengindikasikan keikhlasan seseorang dalam mencari ilmu, meskipun tempat yang dia tempuh sangat jauh, hal inilah yang perlu ditiru untuk saat sekarang ini.


G. Penutup dan Kesimpulan

Demikianlah pemahaman terhadap hadis tentang naungan malaikat terhadap orang yang keluar untuk menuntut ilmu. Dari hadis di atas dapat kita simpulkan beberapa hal, pertama, Islam melalui al-Qur'an dan sunnah memberikan penghargaan berupa kemulian dan keutamaan bagi orang-orang yang menuntut ilmu. Kedua, menuntut ilmu wajib dilakukan oleh setiap manusia, dan tidak memandang dari segi umur, kapanpun, siapapun, dan dimanapun berada, maka menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban.
Ketiga, Allah melalui malaikat-Nya, akan memberikan perlindungan bagi orang yang menuntut imu sejak ia meninggalkan rumahnya hingga dia kembali. Keempat, perlindungan Allah melalui malakiat-Nya boleh saja bersifat zohir, dalam arti malaikat akan membentangkan sayapnya bagi orang yang menuntut ilmu, namun yang paling signifikan adalah bahwa Allah dan maliakat akan terus "menjaga" dan memberikan kemuliaan bagi orang yang menuntut ilmu.
Terakhir sebagai sebuah penutup, semoga penelitian yang singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat dijadikan bahan diskusi yang menarik, tentunya dapat juga menambah wawasan terhadap pemahaman hadis Rasul, dalam kehidupan sehari-hari manusia untuk di dunia dan juga akhirat kelak. Amin.




DAFTAR PUSTAKA

al-Tirmiz\i, Muhammad Isa bin Surah. Sunan at-Tirmiz\i terj. Muh. Zuhri dkk. Semarang: CV. Asy-Syafi'i. 1992.
Ba>qi>, Muhammad Fuad 'Abdul. al-Mu'jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-Qur'a>n al-Kari>m. Beirut: Da>r al-Ma'rifah, 2007.
Ibn Manz}hu>r, Jama>l al-Di>n Makram. Lisa>n al-'Arab . Beirut: Da>ru S}a>dir. 1992.
Ibn Majah, Abu Abdullah. Terjemah Sunan Ibnu Majah, terj. Abdullah Sonhaji. Semarang: CV. Asy-Syafi'i. 1992.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif. 2002.
Munir, Ahmad. Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan al-Qur'an tentang Pendidikan. Yogyakarta: Teras. 2008.
Shihab, M. Quraish Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan & Mailaikat dalam al-Qur'an, as-Sunnah, serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini. Jakarta: Lentera Hati. 2006.
,Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati. 2004.
Wahyudi, M. Jindar Nalar Pendidikan Qur'ani. Yogyakarta: Apeiron Philotes. 2006.
Wensinck, A.J. al-Mu'jam al-Mufahras} fi al-Fa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawi>. Istanbul: Da>r al-Dakwah. 1978.
CD Mausu'ah al-H{adi>s\ al-Syari>f.

Epistimologi Keilmuan

Epistimologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah:
Kaitan dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Umum dan Pendidikan Keislaman

A. PENDAHULUAN
Secara historis, warisan peradaban khususnya peradaban Islam mewarisi peradaban yang "kurang menarik". Ke-kurang menarikan ini terlihat dari adanya dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama, hal ini terjadi selama berabad-abad dalam peradaban Islam. Masing-masing berdiri sendiri tanpa adanya tegur sapa. Di Indonesia dikotomi ini lalu berdampak secara struktural-politis dengan berdirinya Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama di awal kemerdekaan Republik ini.
Terpisahnya dua depertemen ini, khusus dalam hal pendidikan menambah sempurnanya dikotomi yang dimaksud. Dari waktu ke waktu, upaya untuk mendekatkan kembali jurang pemisah atau gap antara keduanya, khususnya dalam wilayah pendidikan semakin tampak nyata.
Untuk mengurangi ketegangan yang seringkali sangat kontra-produktif ini, Amin Abdullah dalam hal ini, lalu menawarkan paradigma keilmuan "interkoneksitas" dalam studi keislaman. Paradigma interkoneksitas secara aksiologis, hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan berpandangan kedepan. Secara ontologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair.
Meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks keagamaan (hadlarah al-nash), dan budaya yang mendukung keilmuan faktual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman (hadlarah al-'ilm) serta budaya pendukung keilmuan etis-filosofis (hadlarah al-falsafah) masih tetap ada. Hanya saja, cara berfikir dan sikap keilmuwan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini perlu berubah.
Makalah ini akan membahas seputar, paradigma epistimologi M. Amin Abdullah tentang konsep Integratif-Interkonektif yang diusungnya, disamping itu dalam makalah ini akan disinggung juga tentang implikasi konsep ini terhadap keilmuan umum dan keilmuan agama (Islam), sejauh mana kontribusi yang dihasilkan oleh paradigma Integratif-Interkonektif untuk kemajuan kedua keilmuan tersebut, apakah mampu memberikan kontribusi positif atau sebaliknya.

B. BIOGRAFI DAN KARYA M. AMIN ABDULLAH

1. Masa Kecil dan Pendidikan
Sebelum masuk kepada pemikiran Amin Abdullah di sini akan dibahas terlebih dahulu tentang biografi Amin Abdullah. Namun di sini penulis tidak mencatumkan biografi M. Amin Abdullah secara menyeluruh, agar makalah ini lebih singkat.
Nama aslinya adalah Muhammad Amin Abdullah, lahir di desa Margomulyo, Tayu, kabupaten Pati, Jawa Tengah pada tanggal 28 Juli 1953, atau 55 tahun yang lalu. Terlahir dari keluarga yang sederhana tapi bersahaja, Amin kecil telah memperlihatkan kecerdasannya, oleh orang tuanya kemudian beliau dikrim ke Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa timur. Di sana beliau menimba ilmu dengan tekun hingga kemudian sampai menamatkan Kulliyat Al-Mua'allimin Al-Islamiayah (KMI), Pesantren Gontor pada tahun 1972 dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) pada 1977 di Pesantren yang sama, kemudian beliau melanjutkan kuliahnya pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama pada tahun 1982.
Keinginanya untuk kuliah atau sekolah ke luar negeri sedari kecil akhirnya tercapai, sebab pada tahun 1985 atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, Amin Abdullah mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Turki dengan mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Departement of Philosophy, Faculty of Art And Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Beliau kemudian menulis disertasi dengan judul The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, Disertasi ini kemudian diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Selain itu juga beliau juga pernah mengikuti program Post-Doctoral di McGill University Kanada pada tahun 1997-1998.
Selama masih menjadi mahasiswa, Amin Abdullah sangat aktif diberbagai organisasi, diantaranya beliau pernah menjabat ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987, sambil memanfaatkan masa libur musim panas, pernah bekerja part-time, pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia, kemudian pernah juga menjabat sebagai Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah (1988), dan Madinah (1989) Arab Saudi. Sekarang masih menjabat sebagai dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin dan juga pengajar pada Program Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, beliau juga menjabat sebagai tenaga pengajar di berbagai Universitas di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Pada tahun 1998-2001 menjabat sebagai Purek I (bidang Akademik) pada IAIN Sunan Kalijaga. Pada januari 1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam ilmu Filsafat, selanjutnya dari tahun 2002-sekarang (dua periode) menjabat sebagai Rektor IAIN/ UIN Sunan Kalijaga.
Dalam organisasi kemasyarakatan, dia pernah menjabat Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1991-1995. setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah yakni wakil ketua (2000-2005).

2. Karya-Karya Ilmiah
Sebagai seorang akademisi, disamping kesibukannya mengajar di berbagai Universitas, Amin Abdullah juga aktif menulis, hal ini dapat dilihat dari beberapa buku yang pernah dia tulis, antara lain: Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 1995). Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), selain itu karya terjemahan nyang juga diterbitkan antara lain Agama dan Akal Fikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985), Pengantar Filsafat lslam Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).
Dalam berbagai kesempatan dia juga menulis pada berbagai Jurnal seperti; Jurnal Ulumul Qur'an (Jakarta), Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa Jurnal keilmuan Islam yang lain. Disamping itu, dia juga aktif mengikuti seminar baik yang di dalam negeri maupun yang di luar negeri. Seminar internasional yang pernah diikutinya antara lain; "Kependudukan dalam Islam", Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992, "Lokarya Program Majelis Agama ASEAN" (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; "Islam and Civil Soceity: Messages from Southeast Asia", di Tokyo, Jepang; "al-Tarikh al-Islamy wa Azamah al-Huwiyyah", Tripoli, Libiya, 2000, "Gender Issues in Islam'' Kuala Lumpur, Malaysia 2003. Selanjutnya; "From Terrorism to Global Ethic: Religion and Peace"' Moscow, 5-10 Juni2005, serta berbagai seminar yang lainnya.
Demikianlah sekilas tentang biografi M. Amin Abdullah yang dapat dijelaskan dalam makalah ini, walaupun tidak secara gamlang namun menurut penulis hal ini sudah dapat mewakili perkenalan kita dengan bapak Amin Abdullah yang saat ini masih menjabat sebagai rektor di UIN Sunan Kalijaga yang tercinta ini.

C. PENDEKATAN INTEGRATIF-INTERKONEKTIF

1. Dikotomi Keilmuan Umum dan Agama
Hingga kini, masih kuat anggapan pada masyarakat luas bahwa antara "agama" dan "ilmu" adalah dua kekuatan yang tidak dapat disatukan. Kedua entitas ini bagi mereka memiliki wilayah sendiri yang terpisah satu dengan yang lainnya, hal ini juga terlihat dari berbagai aspek, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing, bahkan pada institusi penyelenggaranya. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa, ilmu tidak mempedulikan agama, begitu juga sebaliknya bahwa agama tidak mempedulikan ilmu.
Jika kita kembali pada sejarah masa lalu, dalam sejarah kependidikan Islam disatu sisi, telah berkembang pola keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik yang dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun. Namun pada sisi lain, hal ini lalu berhadapan dengan pola keilmuan agama yang spesifik-parsialistik yang dikembangkan oleh para ahli hadis dan ahli fikih. Keterpisahan secara diametral antara keduanya inilah yang berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya.
Jika kita perhatikan saat ini, kemajuan dan perkembangan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi Umum, secara tidak langsung telah terlepas dari ikatan nilai-nilai moral dan etika kehidupan manusia pada satu pihak, sementara pada pihak lain, penekanan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan terjadi pada Perguruan Tinggi Agama (baca; Islam). Imbasnya kemudian adalah keduanya lalu mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-keagamaan.
Tercermin di sini bahwa ilmu-ilmu sekular yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang nota bene dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, tidak mampu memecahkan banyak persoalan, serta mengalami kemandekan dan kebuntuan, tidak mampu memberikan alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan masyarakat, selain itu bias-bias kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban), sangat jelas terlihat. Dari latar belakang inilah maka diperlukan sebuah gerakan rapprochement (yakni kesedian untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan menjadi sebuah keniscayaan.
Gerakan rapprochement secara sederhana dapat disebut sebuah gerakan penyatuan atau reintegrasi epistimologi keilmuan, adalah sebuah keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga pada milenium ketiga, serta tanggungjawab kemanusian bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagai khalifah Allah fi al-ardh.

Jaring Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik
Untuk menjembatani dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, Amin Abdullah membuat sebuah ilustrasi yang biasa dikatakan dengan jaring laba-laba keilmuan. Baginya, agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik sosial maupun budaya secara global. Melalui al-Qur'an, agama memberikan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan serta dapat dijadikan sebagai teologi ilmu serta grand theory ilmu.
Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan, namun agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, sumber pengetahuan itu ada dua macam, yakni pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia, sehingga penggabungan antara keduanya disebut teoantroposentris.
Bagi Amin Abdullah, modernisme dan sekularisme sebagai hasil dari turunanannya, yang meniscayakan difernsiasi yang ketat diberbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, artinya bahwa dengan spesialisasi dan penjurusan yang sangat sempit dan dangkalakan memeprsempit jarak pandang atau horizon berfikir. Dalam konteks ini pada peradaban pasca modern perlu adanya perubahan, perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan puncaknya adalah dediferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali). Jika defirinsiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor diluar agama, termasuk di dalamnya adalah antara agama dan ilmu.
Dalam pemahaman jaring laba-laba keilmuan yang ditawarkan oleh Amin Abdullah, akan dihasilkan paradigma keilmuan baru yang menyatukan dan menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan fikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik). Hal ini tidak lalu mengakibatkan pengecilan peran Tuhan atau mengucilkan manusia sehingga teralieniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar atau lingkungan hidup sekitarnya. Namun konsep ini akan dapat menyelesaikan konflik antara sekularisme-ekstrim dan fundamentalisme-negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.
Kita akan melihat satu contoh ilmu yang bercorak integralistik dalam ilmu ekonomi syariah misalnya, yang sudah nyata adanya praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan fikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha agrobisinis dan lain-lain. Agama dalam hal ini menyediakan etika dalam perilaku ekonomi diantaranya ada bagi hasil (al-Mudharabah), dan kerja sama (al-musyarakah). Di sini terlihat adanya proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi semua orang, bahkan yang non agama dan anti agama sekalipun. Dari orang yang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan li al-'amin).
Jadi, menurut Amin Abdullah bahwa jaring laba-laba keilmuan teoantroposentris-integralistik, akan memperlihatkan bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisionalmaupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Disamping itu, akan terlihat sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dan cekatan dalam menangani dan menganalisa isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam(natural science), ilmu-ilmu sosial (social science), dan humaniora (humanities) kontemporer.
Di atas segala-galanya, bahwa dalam setiap langkah yang akan ditempuh, selalu dibarengi landasan etika moral keagamaan objektif dan kokoh, sebab keberadaan al-Qur'an dan as-Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschaung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraaan manusia secara bersama-sama tanpa memandang latar belakang entitas, agama, ras maupun golongan.
Harapan kedepan bahwa pola kerja keilmuan yang integralistik akan memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti sosiologi, psikologi, antropologi, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum, dan peradilan serta lainnya.

2. Dari Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkonektif
Perubahan IAIN menjadi UIN disatu sisi masih banyak menyisakan kekhawatiran sementara orang. Mulai dari kecemasan akan nasib fakultas keagaman seperti Adab, Dakwah, Syari'ah, Tarbiah, dan Ushuluddin sampai kepada kehawatiran tentang kurikulum, akankah struktur keilmuan, kurikulum dan silabi sama dan sebangun dengan sebelum dan sesuadah menjadi UIN? Namun pada sisi lain, yang paling penting (menurut penulis) adalah bahwa dengan berubah menjadi UIN maka problem dikotomi keilmuan yang selama ini terjadi pada IAIN akan dapat teratasi secara maksimal.
Pernyataan terakhir ini akan penulis respon dalam tulisan berikut ini, seperti juga yang menjadi bahasan dalam pemikiran Amin Abdullah. Menurut Amin, pada dasarnya keilmuan manusia secara umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok yakni; natural sciences, social, dan humanities. Oleh karena itu syarat yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk mendirikan sebuah universitas, setidaknya harus terpenuhinya 6 program studi umum dan 4 program studi sosial, akan tetapi para ilmuwan sekarang mengeluh tentang output yang dihasilkan universitas yang berpola demikian. Hal ini sama dengan keluhan terhadap alumni perguruan tinggi agama yang hanya mengetahui soal-soal "normativitas" agama, tetapi kesulitan memahami historisitas agama, belum lagi masuk pada persoalan pokok yakni tentang perpaduan antara "ilmu" dan "agama".
Dalam pengertian lain apakah keilmuan agama akan berdiri sendiri (single entity) tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum yang lain dan begitu pula sebaliknya ataukah mengikuti model isolated intities dalam arti masing-masing ilmu berdiri sendiri, tahu keberadaan rumpun ilmu yang lain tapi tidak melakukan persentuhan dan tegur sapa secara metodologis, atau model interconnected entties, dalam arti masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalau menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuhpersoalan pendekatan (approach) dan metode berfikir dan penelitian (process and procedure).
Pada tataran praksis, keluhan bukan keluhan bukan pada pembagian ilmu yang sudah mapan, tetapi lebih pada mengapa masiswa dan dosen pada bidang natural science tidak mengenal isu-isu social-science, dan humanites dan lebih-lebi religious studies dan begitu sebaliknya. Keterpisahan dan keterfregmentasian ini berakibat luar bisasa pada dunia birokrasi, dunia pemerintahan, dunia BUMN, dunia bisnis, dunia usaha, lingkungan hidup dan duna pekerjaan pada umumnya. Keterpisahan ini hanya akan mencetak dan menelurkan ilmuan dan praktisi yang tidak memiliki karakter. Indonesia dan dunia ketiga pada umumnya yang mengikuti begitu saja pola keilmuan tersebut tanpa memodifikasi dan penyesuaian disana-sini menggiring ke arah krisis multi dimensional sejak dari lingkungan hidup, ekonomi, politik sosial, agama, moral yang berkepanjangan.
Memang semua kerusakan ini tidak dapat dibebankan atau dikembalikan pada dunia pendidikan. Namun, upaya-upaya dan ijtihad-ijtihad baru untuk mengurangi anomaly-anomali yang dialami oleh masyarakat perlu dilakukan karena jangan-jangan sistem pendidikan yang berjalan selama ini memang punya andil secara tidak langsung terbentuknya split of personality.
Menurut Amin dalam tradisi keilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN, besar kemungkinan juga pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum baik negeri maupun swasta, dan lebih-lebih dipesantren-pesantren, corak pemikiran keislaman bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistimologi 'irfani dan burhani. Oleh karenanya di sini akan terjadi model pemikiran yang dikotomis-atomistik, sebab corak pemikiran 'ifani (tasawuf/intuitif) adalah kurang disukai oleh tradisi pemikiran keilmuan bayani (fikih dan kalam) yang murni, begitu pula halnya dengan epistimologi burhani yang notabene sangat mengedepankan logika-kognitif.
Pada prinsipnya ketiga kluser sistem epistimologi ulumuddin (bayani, 'irfani dan burhani) ini masih berada dalam satu rumpun. Namun dalam prakteknya hampir-hampir tidak mau akur. Bahkan tidak jarang saling mendiskreditkan satu dengan yang lainya, sekuler-mensekulerkan, bahkan saling mengkafirkan antar masing-masing penganut tradisi epistimologi ini. Namun, pola fikir bayani lebih dominan secara politis dan membentuk main-stream pemikiran keislaman secara hegemonik. Akibatnya, otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fikih klasik lebih diunggulkan dari pada sumber otoritas keilmuan yang lain, seperti alam (kauniyah), akal (aqliyah), dan intuisi (wijdaniyah).
Selanjutnya menurut Amin, pengembangan pola fikir bayani hanya dapat diterapkan jika ia mampu memahami, berdialog, dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola fikir 'irfani maupun pola fikir burhani dan begitu pula sebaliknya. Jika saja masing-masing sistem kefilsafatan ilmu keagamaan dalam Islamic Studies ini berdiri sendiri, tidak bersentuhan satu dengan yang lainnya, maka agak sulit membayangkan ilmu-ilmu keislaman dapat mengatasi problem-problem kontemporer saat ini.
Jika sumber pokok dalam tradisi bayani adalah teks (wahyu), maka sumber terpokok dari ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir 'irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sungguh merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya. Disamping itu hal yang juga sangat signifikan dalam nalar epistimologi 'irfani adalah mengetepikan sekat-sekat formalitas lahiriah yang diciptakan oleh epistimologi bayani dan burhani.
Dari sini nantinya akan tercipta hubungan "subjek" dan "objek" yang bersifat itersubjektif. Bukannya bersifat subjektif (seperti yang terjadi dalam tradisi bayani) dan bukan pula bersifat objektif (seperti yang biasa ditanamkan dalam tradisi burhani), sebab kebenaran apapun, khususnya dalam kehidupan sosial-keagamaan adalah bersifat intersubjektif.
Belum terasa lengkap jika epistimologi pemikiran keislaman tidak dilengkapi dengan epistimologi burhani. Jika sumber origin dari corak epistimologi bayani adalah teks, sedang 'irfani adalah direct experience (pengalaman langsung), maka epistimologi burhani bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Sementara itu ilmu-ilmu yang dilahirkan oleh tradis burhani disebut sebagai al-'ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, bukan melalui otoritas teks dan bukan pula lewan otoritas intuisi. Oleh karenanya, tolok ukur validitas keilmuannya pun ditekankan pada korespondensi yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum alam. Selain itu juga ditekankan pada aspek korehensi yakni keruntutan dan keteraturan berfikir logis.
Pada intinya, menurut Amin jika saja tiga pendekatan keilmuan Islam ini terkait dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh maka corak dan model keberagamaan Islam akan lebih komprehensif, dan bukannya bercorak dikotomis-atomistik seperti yang dijumpai sekarang ini.
Selanjutnya pertanyaan yang muncul dari penyataan-pernyataan di atas adalah bagaimana dengan pendekatan integrativ-interkonektif yang di usung oleh M. Amin Abdullah me-reintegrasikan epistimologi ilmu umum dan ilmu agama?. Dalam pemahamannya, beliau membagi tiga prinsip dasar yang perlu dilakukan khususnya dalam menyusun kurikulum sebagai ruh dari re-integrasi epistimologi keilmua era UIN.
Pertama, hadarah al-nash (penyangga budaya teks bayani) , memang tidak bisa terlepas dari hadarah al-'ilm (tehnik komunikasi) dan juga hadarah al-falsafah (etik) dan begitu juga sebaliknya. Hadarah al-'ilm (budaya ilmu), yakni ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi akan tidak punya "karakter" yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh hadarah al-falsafah (budaya etik emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu hadarah al-nash (budaya agama yang semata-mata hanya mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadarah al-'ilm (sains dan teknologi), tampa mengenal humanities-kontemporer sedikit pun, juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah terbawa arus kearah gerakan radikalisme-fundamentalis.
Untuk itu maka diperlukan hadarah al-falsafah (etik yang bersifat transformatif-liberatif ). Begitu juga sebaliknya hadarah al-falsafah akan terasa kering, jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-promlem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-'ilm (budaya ilmu-ilmu empiris-teknis). Yang perlu dipertimbangkan kedepan untuk mendesain mata kuliah, kurikulum dan silabi UIN adalah dengan cara menghindari jebakan-jebakan "keangkuhan" disiplin ilmu yang enggan menerima masukan dari disiplin ilmu di luar dirinya. Secara sederhana dapat kita lihat gambar berikut;


Dalam gambar di atas terlihat jelas bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya, bersedia untuk berdialog, bekerja sama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu yang lain, untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat, jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri atau terpisah antara satu dengan yang lainnya. Selain itu hal ini juga meniscayakan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dengan bersedia mengorbankan kepentingan egoisme-sektoral keilmuan yang dimiliki.

D. IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN
Pada hakikatnya, implikasi epistimologi keilmuan integratif-interkonektif bagi ilmu pendidikan baik umum maupun keilmuan agama, secara umum telah dapat kita lihat pada penjelasan di atas. Akan tetapi di sini penulis akan sedikit mengulang agar penjelasannya terlihat lebih jelas dan gamlang. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa epistimologi keilmuan integratif-interkonektif ini akan "menyatukan" ilmu agama (Islam) dengan ilmu umum (seperti ilmu-ilmu sasial, humaniora dan kelaman). Sebab paradigma ini meniscayakan perlunya dialog dan kerjasama antara ilmu umum dan agama yang dilkukan secara terus-menerus.
Semua ini mengidikasikan bahwa pendekatan interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu mendapatkan prioritas, artinya, bahwa bukan eranya sekarang disiplin ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervesi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ilmu kealaman. Begitu juga sebaliknya bukan saatnya lagi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ilmu kealaman menyendiri, perlu adanya integrasi keilmuan.
Dari sini dapat kita katakan bahwa, sejak dahulu telah terjadi dis-integrasi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, khususnya antar ilmu umum dan ilmu agama. Melalui paradigma epistimologi keilmuan integratif-interkonektif Amin Abdullah ingin menghapus dis-integrasi itu, seperti yang dapat kita lihat pada penjelasan tentang jaring laba-laba keilmuan di atas. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa paradigma integratif-interkonektif ini sangat bermanfaat dan sangat baik untuk diterapkan pada dunia pendidikan, khususnya di Indonesia pada saat ini.
Disamping itu, proyek besar reintegrasi epistimologi keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerjasama antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat di masa yang akan datang. Pendekatan interdisiplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan secara terus-menerus.

E. PENUTUP
Demikianlah sekilas tentang penjelasan konsep integratif-interkonektif yang diusung oleh Amin Abdullah serta implikasi dan dampaknya bagi keilmuan umum dan keilmuan agama. Dari pemahaman di atas dapat kita ambil kesimpulan, diantaranya pertama bahwa apa yang diusung oleh Amin Abdullah dengan konsep integratif-interkonektif keilmuan merupakan sebuah keniscayaan yang patut kiranya didukung, walaupun sebenarnya masih kelihatan sangat "ideal" untuk diterapkan. Kedua, dalam wilayah pendidikan, reintegrasi epistimologi keilmuan agama dan keilmuan umum yang selama ini kelihatan kontra-produktif hanya akan dapat dilakukan dengan membuka ruang bagi dialog antara berbagai disiplin keilmuan yang terus dilakukan secara kontinyu. Wlalahu a'lam bissawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
,Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Abdullah, M. Amin. (dkk). Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman. Yogyakarta: SUKA-Press. 2003.
,Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan Epistimologi Islam dan Umum. Yogyakarta: SUKA-Press. 2003.
,Islamic Studies: Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi).Yogyakarta: SUKA-Press. 2007.
,Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural. Yogyakarta: Panitia DIES IAIN Su-Ka dan Kalam Semesta. 2002.
M. Amin Abdullah, dkk. Re-strukturisasi Metodologi Islamik Studies Mazhab Yogyakarta. SUKA-Press. 2007.
al-Jabiri, Mohammed 'Abed. Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam. alih bahasa. Moch. Nur Ichwan.Yogyakarta: Islamika. 2003.
.
MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM AL-QUR'AN
(Melacak Metode al-Qur'an Mendidik Manusia)


A. PENDAHULUAN

Agama Isalm melalui al-Qur'an memiliki perhatian khusus terhadap ilmu, oleh karena itu sikap Islam terhadap ilmu sangat apresiatif. Dalam banyak ayat al-Qur'an dan hadis Rasul saw. sangat mencerminkan sikap apresiatif itu. Untuk itu, sebelum penulis menjelaskan tentang manajemen pendidikan dalam al-Qur'an, dalam pendahuluan ini penulis akan penjelaskan terlebih dahulu sikap Islam terhadap ilmu, dari sini nantinya akan mudah untuk melacak manajemen pendidikan dalam al-Qur'an.
Untuk tujuan di atas, terlebih dahulu akan penulis kemukakan beberapa ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan sikap al-Qur'an terhadap ilmu.
Pertama, "Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya". (QS. Al-Baqarah (2): 31) hal ini berarti; 1) Sumber imu adalah Allah, karena itu segala yang bersumber dari-Nya adalah benar, karena ilmu adalah kebenaran. 2) Ilmu adalah anugerah, ia bukan sesuatu yang dirampas oleh manusia seperti yang terdapat dalam mitologi Yunani kuno, ini artinya bahwa semakin dekat seseorang dengan-Nya maka semakin besar pula potensi untuk memperoleh limpahan ilmu dengan berbagai cara yang telah ditetapkan oleh Allah.
Kedua, "Bacalah dengan nam Tuhanmu atau demi nama Tuhanmu". (QS. al-'Alaq ayat 1). Ayat ini menerangka bahwa, objek bacaan dan penelitian terbuka lebar sepanjang pembacaan dan penelitian dapat dilakukan. Satu-satunya syarat adalah bahwa ia harus dilakukan karena Allah, dimana Dia adalah rabb atau pendidik.
Ketiga, "Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah".(QS. Luqman (31): 27). Ini berarti, ilmu adalah samudera yang tidak bertepi, karena itu Nabi Muhammad saw. tetap dituntut untuk berdo'a dan berusaha mendapatkan ilmu sebanyak mungkin. Dari sini lahir ungkapan yang populer "tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat". Artinya belajarlah seumur hidup.
Keempat, surah al-'Ashr, antara lain menggarisbawahi bahwa manusia yang tidak merugi adalah: yang saling mengingatkan tentang kebenaran dan kesabaran. Ilmu adalah kebenaran. Wasiat-mewasiati berarti saling mengajari tentang kebenaran itu, ini artinya bahwa seorang Muslim di samping belajar juga wajib mengajar.
Dari hal ini dapat dikatakan, bahwa al-Qur'an sangat apresiatif (sangat mengutamakan) sekali terhadap ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip ini diletakkan agar para penuntut ilmu meningkatkan kwalitas kemanusiaannya serta kwalitas hidupnya tampa kehilangan identitas seorang Muslim yang berserah diri kepada Allah.

B. MANAJEMEN PENDIDIKAN dalam Al-QUR'AN (Sebuah Metode)

Tujuan pendidikan al-Qur'an adalah "membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan Allah". Atau dengan kata yang lebih sederhana dan singkat dan sering digunakan oleh al-Qur'an "Untuk bertaqwa kepada-Nya". Dalam konteks ini, berarti manusia harus mampu mengekspresikan pembinaan al-Qur'an itu dalam kehidupannya di dunia ini sebagai bekal untuk kehidupannya di akhirat kelak. Artinya, bahwa manusia harus mampu menjalankan tugas yang di embankan kepadanya yakni sebagai khalifah di bumi ini untuk memmakmurkan bumi dan menjaga kelestariannya, dengan tidak lupa bersyukur kepada Allah.
Al-Qur'an, dalam mengarahkan pendidikannya kepada manusia, yakni dengan memandang, menghadapi, dan memperlakukan makhluk tersebut sejalan dengan unsur penciptaannya: jasmani, akal dan jiwa, atau dengan kata lain mengarahkannya menjadi manusia seutuhnya. Oleh karena itu materi-materi pendidikan yang disajikan oleh al-Qur'an hampir selalu mengarah pada jiwa, akal dan raga manusia. Sampai-sampai ada ayat yang mengaitkan keterampilan dengan kekuasaan Allah swt., yakni;
"Dan bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar." (QS 8 : 17).

Dalam penyajian materi pendidikanya, al-Qur'an membuktikan materi-materi yang disampaikan dengan dua hal; pertama, dengan dikemukakan langsung dalam ayat al-Qur'an itu sendiri ataupun kedua, melelui pembuktian sendiri oleh manusia (peserta didik) melalui penalaran akalnya. Ini dianjurkan oleh al-Qur'an untuk dilakukan pada saat mengemukakan materi tersebut, agar akal manusia merasa bahwa ia berperan dalam menemukan hakikat materi yang disajikan itu sehingga merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk membelanya. Hal ini ditemui pada setiap permasalahan; akidah atau kepercayaan, hukum, sejarah, dan sebagainya.
Dari kenyataan di atas, dalam mendidik manusia ada beberapa metode yang digunakan al-Qur'an untuk mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya, yakni;
1. Menggunakan Kisah
Setiap kisah yang dikemukakan oleh al-Qur'an adalah untuk menunjang materi yang disajikan, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik. Dalam mengemukakan kisah-kisah al-Qur'an tidak segan-segan untuk menceritakan kelemahan manusiawi. Akan tetapi ahal tersebut digambarkan al-Qur'an sebagaimana adanya, tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengundang tepuk tangan ataupun rangsangan. Kisah itu bisasanya diakhiri dengan menggarisbawahi akibat kelemahan itu dan melukiskan kesadaran manusia yang disebut dalam cerita itu.
Perhatikan misalnya pada kisah Karun (QS. Al-Qashash ayat 76-81), dalam kisah ini digambarkan setelah Karun menyombongkan diri dengan berkata bahwa harta yang didapatnya adalah merupakan hasil jerih payah dan keringatnya sendiri, sehingga membuat kagum orang yang ada disekitarnya terhadap kekayaan yang dimilikinya, tiba-tiba gempa menelan Karun dan kekeyaannya. Orang-orang yang tadinya kagum menyadari bahwa orang yang durhaka tidak akan menerima dan memperoleh keberuntungan yang langgeng.
Demikianlah al-Qur'an dengan metode kisah ingin mengajarkan dan mengarahkan manusia agar mengikuti apa yang dikehendaki oleh al-Qur'an itu sendiri.
2. Menggunakan Kalimat-kalimat yang Menyentuh Hati
Disamping kisah, al-Qur'an juga menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Akan tetapi, nasihat yang disampaikan oleh al-Qur'an selalu disertai dengan panutan oleh sipemberi atau penyampai nasihat tersebut, dalam hal ini adalah Rasulullah saw. karena itu terhimpun dalam diri Rasulullah berbagai keistimewaan yang memungkinkan orang-orang yang mendengarkan tertarik dan membuat orang yang mendengar melihat jelmaan langsung dari nasihat-nasihat yang disampaikan oleh al-Qur'an pada diri Rasulullah. Hal ini akan mendorong mereka untuk meyakini keistimewaan dan mencontoh pelaksanaannya.
Dengan demikian, melalui kalimat yang menyentuh hati serta contoh kongkrit yang ada dalam diri Rasulullah ini, akan menjadikan efektif ajakan al-Qur'an atau pendidikan yang disampaikan al-Qur'an kepada manusia. Secara signifikan metode ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kejiwaan manusia dan arahan al-Qur'an akan terlihat sangat menyenangkan.
3. Perumpamaan
Metode yang selanjutnya adalah masal atau perumpamaan. Proses penyampaian suatu informasi dalam kegiatan belajar-mengajar, akan lebih menarik dan efisien jika dituangkan dalam bentuk sebuah cerita dan ungkapan yang indah, salah satu bentuknya adalah menggunakan tamsil. Dalam konteks sastra, kata ini biasanya disebut sebagai ungkapan yang disampaikan dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam suatu ucapan dengan keadaan yang karenanya perkataan itu di ungkapkan. Oleh karena itu, kata ini sering digunakan untuk menunjuk kwalitas hasil, yang diharapkan dapat diambil pelajaran bagi pendengarnya.
Secara sederhana, dari pengungkapan masal atau tamsil tersebut, diharapkan dapat menampilkan makna dalam bentuk yang hidup dan dapat diyakini dalam pikiran sipendengarnya, dengan cara mengedepankan yang ghaib dengan yang hadir, yang absatrak dengan yang kongkrit, sehingga jiwa pendengar dapat menangkap makna-makna tersebut secara proporsional. Dengan demikian, al-Qur'an dapat memberikan pelajaran yang mampu mengubah sikap hidup dan pola hidup peserta didik (manusia) ke arah yang diingini olehnya.

C. PENUTUP
Demikianlah ungkapan-unkapan al-Qur'an yang terkait dengan manajemen pendidikan al-Qur'an khususnya terhadap metode pengajaran al-Qur'an bagi manusia sebagai peserta didik. Jika kita cermati lebih mendalam lagi, kemungkinan kita akan dapat menjumpai lebih banyak lagi metode-metode yang disampaikan al-Qur'an untuk mendidik manusia. Namun demikan, apa yang telah penulis sampaikan melalui makalah ini setidaknya dapat menggambarkan metode al-Qur'an dalam memberikan pendidikan terhadap manusia.
Terakhir sebagai sebuah penutup, ada baiknya kita sebagai manusia yang percaya terhadap al-Qur'an untuk menjadikan kitab suci ini sebagai panutan dalam memberikan pengajaran terhadap anak-anak dan para penerus kita, sebab selama ini sementara orang telah banyak meninggalkan al-Qur'an sebagai pegangan dan pedoman hidup baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a'lam.