Halaman

Senin, 07 Oktober 2013

Dari al-Qur'an Menuju Bangsa yang Berkarakter

FORMULASI PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA
(Belajar Pada al-Qur’an)
Oleh: Hayatul Islami

Key Word: al-Qur’an, Formulasi, dan Karakter bangsa
A.    Penduhuluan
Manusia merupakan makhluk bidimensional (dua dimensi). Ia diciptakan Tuhan dari debu tanah dan ruh Illahi. Debu tanah membentuk jasmaninya, sedangkan ruh Illahi yang dihembuskan-Nya itu melahirkan daya nalar, daya kalbu, dan daya hidup. Dengan membina jasmani, lahirlah keterampilan; dengan mengasah daya nalar, maka muncul kemampuan ilmiah; sementara dengan mengasah daya kalbu, akan melahirkan antara lain iman dan moral yang terpuji. Sementara dengan menempa daya hidup , terciptalah semangat menanggulangi setiap tantangan yang di hadapi (Quraish Shihab, 2011: 713). Jati diri manusia akan terlihat sempurna jika manusia mampu melakukan penembangan daya-daya yang telah dianugerahkan Tuhan itu.
Sejarah sebelum lahirnya Islam telah menuturkan masa silam yang begitu muram. Yakni masa Jahiliyyah: the time arrogant ignorance before Islam (Ibnu Arabi, 1980: 206). Perkosaan, perjudian, mabuk-mabukan, perampokan, pembunuhan bayi perempuan merupakan realitas yang sudah mengakar dan menjadi tradisi yang sudah begitu lekat hingga sulit dilepaskan. Manusia pada saat itu tidak lagi menggunakan daya pikir, alih-alih menggunakan daya kalbu sebagai titipan Tuhan. Hal ini mungkin terlihat wajar sebab memang belum muncul petunjuk bagi mereka untuk menggunakan dua dimensi (ruhani dan jasmani) yang dititipkan Tuhan itu.
Hingga pada akhirnya al-Qur’an turun sebagai sebuah solusi transenden-humanis dalam merubah dan memperbaiki tradisi masyarakat yang begitu kering dimensi spiritual dan gersang kesadaran sosial-kultural. Wahyu akhirnya turun sebagai suatu problem-solver, setelah Muhammad melakukan perenungan sosial dan pergulatan batin mencapai klimaks dengan turunnya wahyu yang menggetarkan: Iqra! (Q.S. al-‘Alaq:1-5).
Disatu sisi, kata Iqra’ merupakan sebuah solusi sosial. Dalam konteks bahasa Arab kata ini mencakup segala sesuatu yang bisa dijangkaunya (Quraish Shihab, 1996: 434). Disamping itu, kata iqra’ juga mengandung makna yang luas dan multi tafsir (pluralitas-interpretatif). Hal ini mengindikasikan bahwa kata Iqra’ tidak melulu diartikan sebagai “perintah membaca” seperti makna tekstualnya. Iqra’ dapat direduksi dalam bentuk interpretasi lain seperti: Telaahlah, analisislah, kajilah, pelajarilah, telitilah, pandanglah, dan seterusnya. Sementara tidak disebutnya objek yang dibaca dalam ayat ini menjadikan jangkauan “bacaan” begitu luas selama bacaan itu bermanfaat bagi manusia (Quraish Shihab, 1996: 433)
Pada sisi yang berbeda, kalimat bi ismi rabbik menunjukkan sejauh manapun  manusia menelaah, tetap harus kembali kepada Tuhan. Ini artinya bahwa di dalam membaca atau menelaah apapun, manusia harus selalu mengikut-sertakan Tuhan sebagai kontrol bathin dan pembentuk akhlak (moral). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang mampu mengasah intelektualnya (akal) dengan belajar (pendidikan) dan juga mengisi moralnya (hati) dengan selalu mengingat dan merasakan kehadiran Tuhan. Dalam bahasa lain, inilah yang dinamakan pendidikan karakter yakni proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual, emosional, dan spiritual (Khurshid Ahmad, 1958: 9).
 Jika kita bercermin pada kondisi bangsa kita saat ini, kita akan menemukan suatu bangsa yang sangat kering akan nilai-nilai akhlak. Sehingga banyak kita temui orang-orang pintar tapi sayang tidak benar. Banyak sekali orang yang “berpendidikan” dengan karakter dan watak sosial yang tidak “berpendidikan”. Jika demikian kenyataannya, apa yang salah dengan pendidikan di negeri ini?
Oleh karena itu, tulisan singkat ini akan mencoba untuk menawarkan beberapa solusi mengenai sistem pendidikan yang berlandaskan pada penanaman karakter bagi peserta didik sehingga mampu menciptakan karakter bangsa yang lebih “ber-akhlak”, tentunya dengan melandaskannya kepada solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an.
B.     Pendidikan Karakter: Sebuah Landasan Ontologis
Pada prinsipnya pendidikan karakter memiliki makna yang lebih tinggi dan luas dari pendidikan moral, sebab pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah belaka, tapi lebih luas bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik (shalih) dalam kehidupan, sehingga muncul kesadaran dan pemahaman yang tinggi serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Wynne (1991) seperti yang dilansir oleh E. Mulyasa mengemukakan bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu orang yang berperilaku tidak jujur, curang, kejam, dan rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya yang berkelakuan baik, jujur, dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter baik/mulia (E. Mulyasa, 2011: 3).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang terwujud dalam tindakan nyata melalui perilaku jujur, baikk, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya. Dalam konteks pemikiran Islam, karakter berkait erat dengan iman dan ikhsan. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Aristoteles, bahwa karakter erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasan yang terus-menerus dipraktikkan dan diamalkan (E. Mulyasa, 2011: 3).
Dirjen Pendidikan Agama Islam, Kementerian Agama Islam R.I (2010) mengungkapkan bahwa karakter dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi  pada perilaku individu yang bersifat unik, dalam pengertian  secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu individu dengan individu lainnya. Meskipun unik dan bersifat personal, karakteristik umum yang menjadi stereotip dari sekelompok masyarakat dan bangsa dapat diidentifikasi sebagai karakter suatu komunitas tertentu atau bahkan dapat pula dipandang sebagai karakter suatu bangsa.
Pada satu sisi, istilah karakter berkaitan erat dengan personality (kepribadian) sesorang. Namun pada sisi yang berbeda, kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin seseorang yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai-nilai karakter. Hal ini dimungkinkan karena boleh jadi perbuatan tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai-nilai karakter. Seperti seseorang yang berbuat jujur karena takut dinilai oleh orang lain atau lingkungannya. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan aspek perasaan (emosi), inilah yang dalam bahasa agama disebut Ikhlash, yang oleh Likona (1992) disebut “desiring the god” keinginan untuk melakukan kebajikan (E. Mulyasa, 2011: 4).
Dalam mewujudkan nilai-nilai karakter dalam kepribadian perlu menekankan tiga komponen (components of good character) penting yakni; moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau tindakan moral. Menurut Ratna Megawangi (2004) seorang pencetus pendidikan karakter di Indonesia, paling tidak ada sembilan pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, baik di sekolah maupun di luar sekolah;
1.      Cinta Allah dan kebenaran
2.      Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri
3.      Amanah
4.      Hormat dan santun
5.      Kasih sayang, peduli, dan kerja sama
6.      Percaya diri, kretif, dan pantang menyerah
7.      Adil dan berjiwa kepemimpinan
8.      Baik dan rendah hati
9.      Toleran dan cinta damai
Secara teoritik pada prinsipnya dalam perspektif Islam, pendidikan karakter sebenarnya telah ada sejak Islam hadir di dunia sekitar 14 abad silam. Hal ini muncul seiring di utusnya Rasul SAW untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak (karakter) manusia:  إنمابعثت لأتمم مكارم الأخلاق  “sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak”. Bahkan Rasul itu sendiri adalah manusia yang paling agung akhlaknya sehingga beliau dijadikan sebagai contoh (uswatun hasanah) untuk semua manusia.
Ajaran Islam sendiri mengandung sistematika ajaran yang tidak hanya menekankan pada aspek keimanan, ibadah, dan mu’amalah belaka, namun juga berdasar pada akhlak mulia. Pengamalan ajaran Islam secara utuh (kaffah) merupakan model karakter seorang muslim. Bahkan hal ini dipersonifikasikan dengan model karakter Nabi Muhammad SAW, yang memiliki sifat Shidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah (STAF).
C.    Al-Qur’an dan Pembentukan Karakter
Pendidikan Islam, bagi sementara orang belum menemukan konsep yang jelas. Hal ini tercermin dari rujukan yang dipakai masih terjadi tarik-ulur anatara konsep Barat di satu sisi dan konsep al-Qur’an pada sisi yang berbeda, yang lebih ironis adalah tidak jarang terjadi pemaksaan “islamisasi” pendidikan Barat dengan konsep al-Qur’an. Secara signifikan pendidikan Islam seharusnya mencakup nilai al-Qur’an dalam teori dan aplikasinya. Yusuf Qaradhawi menjelaskan bahwa: “pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya baik akal maupun hati; rohani dan jasmani; akhlak dan keterampilan. Sebab pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup , baik dalam perang dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dsn kesejahteraannya, manis dan pahitnya (Yusuf Qaradhawi, 1980: 39).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam seharusnya merupakan pendidikan yang bergerak “dari dalam ke luar” yakni pendidikan yang bertumpu pada pembentukan karakter (character building) pada setiap individu yang akan secara dinamis bergerak membentuk karakter kelompok, jama’ah, dan umat. Pendidikan ini dalam Islam disebut sebagai pendidikan akhlak.
Melalui al-Qur’an, Allah selalu menargetkan kondisi makarim al-akhlaq (akhlak terpuji) dalam pencapian target pendidikan. Ada banyak ayat al-Qur’an yang membahas konsep pencapaian akhlak terpuji ini, diantaranya; Q.S. al-Baqarah: 282, Q.S. an-Nisa: 19, Q.S. al-A’raf: 31, Q.S. Yunus: 101, Q.S. al-Ahqaf: 15, Q.S. an-Nahl: 90, Q.S. al-Isra: 26, Q.S. an-Nur: 27, Q.S. al-Muthaffifin: 1-3 dan seterusnya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa konsep al-Qur’an tentang pendidikan lebih mengedepankan pendidikan akhlak (karakter). Selain itu, al-Qur’an melalui konsep ini menedaskan bahwa the first foundation of education adalah konsep penyempurnaan spiritualitas (spiritual quotient). Setelah fondasi ini menghujam kuat, maka konsep kematangan emosi menjadi tahapan selanjutnya, hal ini akan berlanjut sampai tahapan pencapaian kecerdasan emosi maksimal (Emotional Quotient). Pada tahapan terakhir adalah pengasahan kecerdasan intelektual (Intelektual Quotient).
    Oleh sebab itu, sebenarnya sejak awal al-Qur’an dengan universialitas dan kompleksitasnya sudah membawa-memuat-menawarkan konsep pendidikan karakter yang sangat rasional dan mudah dipahami. Namun kita sering terjebak pada supremasi teks belaka, sementara nilai-nilai yang terkandung di dalam teks tersebut jarang sekali teraktualisasikan (Emha Ainun Nadjib, 1992: 108).
Selama ini kita sering “terbuai” oleh konsep pendidikan Barat yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual belaka (intellectual minded) dan kering akan nilai-nilai kecerdasan spiritual. Bersamaan dengan itu ditemukannya faktaneka keilmuan yang berhasil mereka maklumatkan dalam basis keilmuan. Disamping itu bentuk konkrit dari konsep ini telah memunculkan kemajuan teknologi yang menyebabkan manusia lebih mudah dalam “menguasai” atau bahkan mengeksploitasi dunia, yang pada kelanjutannya akan membuat hancurnya peradaban manusia.
 Pendidikan yang intellectual minded sudah sangat pasti melahirkan generasi yang berorientasi pada duniawi. Maka tidak heran jika masih banyak koruptor yang berkeliaran di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Bangsa kita ini sudah mengalami sindrom kegamangan karakter. Hal ini tidak lain karena adanya disconnecting idea antara agama dan realitas.
Oleh karena itu, pendidikan karakter yang ditawarkan al-Qur’an perlu direalisasikan dengan segera, sebelum persoalan-persoalan sosiologis lainnya bergerak ke arah kerumitan teoritis yang lebih kompleks. Pendidikan karakter atau dalam istilah lain dikenal sebagai pengembangan karakter (character building), sebagaimana dalam konsep al-Qur’an, dititik beratkan pada internalisasi ranah spiritual (Spiritual Internalization), penguatan nilai emosional (emotional values empowering), penalaran intelektual (intellectual empowering) dan penjabaran sosial (socialization).
Ketiga hal ini tentu saja berangkat dari konsep yang sudah diajarkan oleh al-Qur’an 14 abad silam. Spiritual Internalization atau tauhid (Q.S. al-Ikhlash: 1-4), emotional values empowering atau tadzhibu al-akhlaqi (seperti dalam Q.S. al-Hujurat: 2), penalaran intelektual atau intellectual empowering (Q.S. al-‘Alaq: 1-5), dan penjabaran sosial atau socialization (Q.S. Fushilat: 33). Ini semua berangkat dari al-Qur’an.
Dengan kenyataan seperti ini, sudah barang tentu kita harus kembali merujuk kepada al-Qur’an untuk membentuk pendidikan karakter yang memang sudah sangat kering terasa di negeri ini. Al-Qur’an dengan sangat tegas memberikan solusi yang nyata kepada kita untuk mengembangkan kesadaran spiritual, emosional, dan intelektual yang tidak hanya sekedar bergerak pada tataran teori namun “menguap” pada kenyataan sosial dalam lingkungan masyarakat bahkan juga dapat dirasakan oleh makhluk Allah yang lain. Inilah yang sering disebut sebagai Islam yang rahmatan lil ‘Alamin.
D.    Dari al-Qur’an Menuju Bangsa yang Berkarakter
1.      Konsep Bangsa dalam al-Qur’an
Berbicara mengenai bangsa yang berkarakter dalam perspektif al-Qur’an, menurut penulis, ada baiknya terlebih dahulu kita menggaris bawahi dua hal yang sangat urgen dalam kaitannya dengan bangsa yang berkarakter.
Pertama, di dalam al-Qur’an tidak ditemukan uraian, bahkan kata yang menyangkut “bangsa”, sebab, kata bangasa dalam pengertian modern, belum dikenal pada masa turunnya al-Qur’an. Paham kebangsaan baru popular di Eropa pada abad ke-18 dan baru dikenal dan popular di kalangan umat Islam setelah kehadiran Napoleon di Mesir sekitar tahun 1798 M (Quraish Shihab, 2011: 691).
Sejarah menuturkan bahwa saat itu, Napoleon Bonaparte bermaksud menyingkirkan kekuasaan mamalik atau disebut juga Dinasti Mamluk (Samsul Munir Amin, 2009: 279), untuk itu ia menonjolkan bahwa Mamalik adalah orang-orang Turki, yang berbeda asal keturunannya dengan orang-orang Mesir. Pada saat itulah muncul dan dipopulerkannya istilah al-Ummah al-Mashriah dalam pengertian “Bangsa Mesir”.
 Kedua, kendatipun uraian mengenai kebangsaan tidak dijumpai dalam al-Qur’an, namun ini bukan berarti al-Qur’an menentang paham kebangsaan, sebab betapapun terjadi perdebatan (debatable) pendapat yang berbeda-beda di kalangan para pakar tentang unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk lahirnya satu bangsa, namun tidak satu unsur pun yang disebut-sebut sebagai unsur kebangsaan, yang dimungkiri atau bertentangan dengan tuntunan al-Qur’an.
Pilihan kata   أمّة Ummat (umat dalam bahasa Indonesia) untuk menunjuk “bangsa”, seperti yang telah disebutkan di atas, tidaklah meleset, sebab kata itu merujuk kepada: semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu atau tempat yang sama , baik penghimpunnya secara terpaksa, maupun atas kehendak bersama (al-Ishfahani, 1998: 33). Dan seperti yang diketahui untuk lahirnya suatu bangsa dioerlukan adanya sekian banyak kesamaan kesamaan yang terhimpun pada satu kelompok manusia, misalnya kesamaan cita-cita, sejarah, wilayah, dan boleh jadi juga bahasa, asal-usul dan lain sebagainya.
Dalam al-Qur’an kata ummat ditemukan terulang dalam bentuk tunggal sebanyak lima puluh dua kali dan dalam bentuk jamak sebanyak dua belas kali. Menurut ad-Damigany seperti yang dilansir oleh M. Quraish Shihab ada Sembilan arti yang menyangkut kata ini yakni; kelompok, cara dan gaya hidup, tahun-tahun yang panjang atau waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Muhammad (umat Islam), orang-orang kafir secara khusus, dan makhluk yang dihimpun atas dasar adanya persamaan (Quraish Shihab, 2011: 694, lihat juga, ad-Damigany, 1985, cet. 5: 42-43).
Meskipun terjadi banyak perbedaan mengenai makna kata ummat, namun dapat ditarik benang merah untuk menghimpun makna-makna yang berbeda tersebut yakni “himpunan”. Sementara itu menurut penulis yang paling wajar dinamai ummat dari seluruh umat kelompok/himpunan apa pun dari umat manusia adalah umat Nabi Muhammad SAW, yang memang telah disiapkan Allah untuk menjadi khaira Ummat (lihat, Q.S. Ali-Imran [3]: 110).
Atas dasar inilah penulis berupaya menggali pandangan al-Qur’an tentang karakter bangsa yang unggul atau bangsa yang berkarakter yakni yang bertitik tolak pada kata ummah. Dari sini jugalah tentunya kita secara tamatik dapat meraba persolan tersebut melalui ayat yang berbicara dalam konteks tuntunan Allah kepada kaum Mukmin bahkan sampai pada keluarga dan individu-individu Muslim, sebab benih lahirnya suatu bangsa muncul dari individu dan keluarga.
2.      Wawasan al-Qur’an Tentang Bangsa yang Berkarakter
Karakter sangat berbeda dengan tempramen. Tempramen merupakan corak reaksi terhadap berbagai rangsangan dari luar maupun dari dalam dirinya. Ia sangat erat kaitannya dengan kondisi bio-psikologiss eseorang sehingga sangat sulit untuk diubah, sebab ia dipengaruhi oleh unsur hormonyang sifatnya biologis. Sementara karakter terbentuk dari perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun melalui pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Dalam kajian agama inilah yang dinamai rusyd. Ia bukan hanya sekedar nalar, namun gabungan antara nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa (Quraish Shihab, 2011: 714).
Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku yang positif. Jika hal ini dikaitkan dengan sebuah negara, maka dapat dikatakan bahwa negara yang berkarakter adalah sebuah negara dimana tingkat kesadaran spiritual (agama), kesadaran moral, dan sikap humanis penduduknya terlihat jelas dalam perjalanan kehidupannya, hal ini ditandai dengan tingkat pelanggaran-pelanggaran dan penyimpangan-penyimpangan baik terkait agama, sosial dan budaya termasuk perilaku pribadi menunjukkan grafik menurun pada setiap tahunnya, bahkan tidak menutup kemungkinan grafik itu akan menghilang sehingga muncul bangsa (ummat) dan negara yang dalam al-Qur’an diidentifikasi sebagai balddatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Sejurunya kita tidak bisa mengidentifikasi secara pasti dan objektif ciri dari karakter terpuji atau bangsa yang berkarakter, karena memang karakter terpuji itu sulit untuk dibatasi. Oleh sebab itu, dalam uraian berikut ini penulis akan mencoba mengelaborasi sebagian dari ciri-ciri bangsa yang berkarakter yang penulis lansir dari pendapat Prof. Quraish Shihab. Menurutnya, diantara ciri bangsa yang berkarakter itu adalah (M.Quraish Shihab, 2011: 696-711);
Pertama, Kemantapan Persatuan. Al-qur’an dengan tegas mengingatkan perlunya persatuan dan kesatuan, seperti yang disebutkan dalam Surah al-Anfal [8]: 46. “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang yang sabar”.
Persatuan dan kesatuan ini tidak harus melebur perbedaan agama atau suku yang hidup di tengah bangsa. Hal ini dapat kita perhatikan dalam perjanjian Nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi ketika beliau baru saja sampai di Madinah. Salah satu butir perjanjian itu menyebutkan; “Dan sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Bani ‘Auf merupakan satu umat bersama orang-orang Mukmin, bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Muslim agama mereka juga. (Abdul Malik Ibn Hisyam, t.th: 34).
Kedua, Adanya nilai-nilai luhur yang disepakati. Untuk memantapkan dan mewujudkan persatuan dan kesatuan diperlukan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup bangsa dan menjadi pegangan bersama. Dalam kaitan ini al-Qur’an menegaskan dalam surah al-An’am [6]: 108.
Artinya: dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan, demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kemudian kepada tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Ayat ini memberikan kesan bahwa setiap umat mempunyai nilai-nilai yang mereka anggap indah dan baik. Atas dasar nilai-nilai itulah mereka bersatu, mengarah, dan melakukan aktivitas, dan atas dasar ini jugalah mereka menilai pandangan pihak lain, apakah dapat mereka terima atau mereka tolak. Dari sini dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang memiliki pandangan hidup berdasar nilai-nilai luhur yang langgeng.
Ketiga, kerja keras, disiplin, dan penghargaan kepada waktu. Perintah al-Qur’an kepada umat manusia agar beramal saleh serta pujian terhadap mereka yang aktif melakukannya, demikian juga penghargaan kepada waktu bukanlah satu hal yang perlu dibuktikan (Quraish Shihab, 2011:700). Dalam al-Qur’an surah al-Isra’ [17]: 19 Allah menjelaskan; “Dan banrang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usaha mereka disyukuri”.
Menurut Quraish Shihab, kata “yang usaha mereka disyukuri’’ yakni yang terpuji adalah yang visinya jauh ke depan mencapai akhirat, percaya kepada Allah, dan keniscayaan akhirat serta berusaha secara sungguh-sungguh.
Keempat, Kepedulian yang tinggi. Sebab keunggulan umat Muhammad di jelaskan oleh Allah salah satunya dalam al-Qur’an Surah Ali Imran [3]: 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah diri dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.
Ayat ini ingin menyampaikan bahwa keunggulan umat Islam disebabkan oleh kepedulian mereka terhadap masyarakat secara umum, sehingga mereka tampil melakukan kontrol sosial, menganjurkan melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran disertai keimanan kepada Allah.
Kelima, Moderasi dan keterbukaan. Ciri berikutnya dari bangsa yang berkarakter menurut al-Qur’an adalah moderat dan terbuka. Al-Qur’an mengidentifikasi umat Islam sebagai ummatan washatan, seperti yang dijelaskan oleh Surah al-Baqarah [2]: 143: “Demikian itu, kami jadikan kamu ummatan washata agar kamu menjadi saksi/disaksikan oleh manusia dan Rasul menjadi sakasi atasmu/disaksiakan olehmu”.
Kata washata dapat diartikan moderat/ posisi tengah (la syarqiyah wa la gharbiyah). Hal ini mengundang umat Islam berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, peradaban) karena bagaimana mereka dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
Keenam, Kesediaan berkorban. Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 213 lalah menegaskan: “Manusia adalah umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemeberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”.
Menurut Shihab, ayat ini antara lain berbicara tentang kesatuan umat (Quraish Shihab, 2011: 707). Manusia masih menurutnya, disamping memiliki banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi tanpa kerja sama, juga memiliki ego yang selalu menuntut agar kebutuhannya selalu bahkan keinginannya terpenuhi. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan, untuk menghindari itu maka setiap orang harus mengorbankan tuntutan egonya guna kepentingan pihak lain. Pengorbanna inilah yang akan memunculkan benih akhlak mulia.
Ketujuh, Ketegaran serta keteguhan menghadapi aneka rayuan dan tantangan. Terkait masalah ini Allah dalam al-Qur’an Surah an-Nahl [16]: 92 dengan tegas menegaskan ketegaran ini.
“Artinya: Dan janganlah kamu menjadi seperti wanita yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai; kamu menjadikan sumpah kamu sebagai penyebab kerusakan di antara kamu, disebabkan adanya satu umat yang lebih banyak dari umat yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengannya. Dan pastilah di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan”.
Dalam konteks ajaran Islam ayat ini mengingatkan kaum Muslim agar jangan memihak kepada kelompok musyrik atau musuh Islam, sebab mereka lebih banyak dan lebih kaya dari pada kelompok muslim. Tuntunan ini menekankan bahwa kaum muslim harus tegar, tidak mengorbankan harga dirinya tau nilai-nilai yang dianutnya untuk meraih kemuliaan duniawi. Dalam arti lain bahwa bangsa yang berkarakter tidak akan bertekuk lutut menghadapi tantangan apapun kendati mereka secara fisik sudah terkalahkan (Quraish Shihab, 2011: 710).
E.     Kesimpulan
Tawaran dari wahyu untuk membentuk karakter pribadi dan bangsa harus menjadi pilihan awal bagi umat manusia khususnya Islam, utamanya pada masa sekarang ini. Ide-ide transenden wahyu perlu diterjemahkan pada sektor yang lebih humanis, sehingga wahyu tidak hanya menjadi alat untuk panduan ibadah formal. Termasuk dalam kaitan ini adalah ide dasar (konsep) pendidikan karakter. Menurut penulis kita masih sering terbuai pada konsep pendidikan ala Barat yang kering akan tuntunan spiritual dan moral.
Melalui al-Qur’an, Allah selalu menargetkan kondisi makarim al-akhlaq (akhlak terpuji) dalam pencapian target pendidikan. Pendidikan akhlak/karakter yang diajarkan oleh al-Qur’an 14 abad silam meliputi empat ranah yakni: Spiritual Internalization atau tauhid (Q.S. al-Ikhlash: 1-4), emotional values empowering atau tadzhibu al-akhlaqi (seperti dalam Q.S. al-Hujurat: 2), penalaran intelektual atau intellectual empowering (Q.S. al-‘Alaq: 1-5), dan penjabaran sosial atau socialization (Q.S. Fushilat: 33). Ini semua berangkat dari al-Qur’an.
Untuk itu, kita perlu menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman konsep pendidikan karakter untuk keindahan akhlak individu maupun karakter bangsa. Disamping itu pendidikan karakter perlu digagas sebagai arah baru paradigma pendidikan kita. Pendidikan karakter yang dalam al-Qur’an secara tersirat dikatakan sebagai sebuah tuntutan perennial  perlu segera di aktualkan. “Dari al-Qur’an Menuju Bangsa yang Berkarakter”. Wallahu A’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul malik Ibn Hisyam, t.th, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Dar al-Jil.
Al-Isfahani, 1998, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’rifat.
Dede Rosyada, 2007, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana,
E. Mulyasa, 2011, Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi Aksara.
Emha Ainun Nadjib, 1994, Indonesia Bagian dari Desa Saya, Yogyakarta: SIPRES.
Hasbullah. 2007, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Khurshid Ahmad, 1958, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam. terj. M. Hasheem, Bandung: Mizan.
M. Quraish Shihab, 2003, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
               , 2011, Membumikan al-Qur’an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan, Jakarta: Lentera Hati.
Ratna Megawangi, 2004, Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, Jakarta: BP Migas dan Star Energy.

Yusuf Qaradhawi, 1980, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami A. Ghani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang.

Selasa, 09 April 2013

FUNDAMENTALISME ISLAM


IDEOLOGI FUNDAMENTALISME ISLAM
(Menyembah  Teks: Menolak Konteks)
Oleh: Hayatul Islami

Key Word: Fundamentalisme, Islam, Teks, dan Konteks
A.    Muqaddimah

Proses ideologisasi agama dalam dunia Muslim telah terjadi dalam konteks yang luas dan universal. Hal ini tergambar dari proses pergeseran Islam yang semula merupakan kepercayaan yang open minded, inklusif berubah menjadi keyakinan yang defensive-inklusif, dari lapangan teologikal-tradisional pada lapangan sosiologis yang memformulasikan Islam ke dalam norma-norma dan nilai-nilai tatanan sosio-politik. Karena sifat Islam yang ideologis, akhirnya Islam dipahami sebagai kepercayaan tentang legitimasi yang terdiri dari interpretasi-interpretasi teks-teks keagamaan untuk dimanfaatkan dalam ranah sosial-politik. Prinsipnya hal ini barangkali menjadi sah, sebab agama sendiri memang memiliki kepentingan moral dan akhak dalam pergulatan politik.
Tanggung jawab Islam tidak hanya pada ranah sosial-politik, namun sudah masuk pada ranah ideologi dan aqidah, hal ini menjadikan komposisi umat Islam menjadi beragam. Kaum Fundamentalis misalnya, menampilkan agama dalam wajah yang menakutkan khususnya pada ranah hukum dan politik. Islam tidak dihidupkan dalam bentuk ajaran-ajaran universal yang sangat menghargai akan perbedaan. Islam justru dicerminkan dalam wajah yang keras dalam pembelaan-pembelaan atas nama kepentingan kelompok muslim yang sangat parsial, bahkan menganggap kafir bagi mereka yang tidak se-ideologi dengan mereka.
Sementara itu, agama sering mereka jadikan legitimasi dalam melakukan kekerasan, yang lebih ironi adalah bahwa doktrin sentral dalam ideologi Islam menurut mereka adalah kedaulatan atau supermasi hukum Tuhan. Bagi mereka Islam adalah satu-satunya jalan hidup dan harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejahteraan kelompok lain. Kehadiran konsep “jalan lurus” (al-Shirat al-Mustaqim), bagi mereka telah dipastikan oleh sistem hukum Tuhan (syari’ah).
Berangkat dari kenyataan di atas, tulisan sederhana ini akan mencoba menelusuri ideologi dan pemahaman keagamaan kaum fundamentalis yang menurut penulis sangat menarik untuk dikaji bukan saja karena masalah pemahaman dan interpretasi terhadap agama yang kurang ramah, namun lebih dari itu gejala Fundamentalisme ini sudah menyebar hampir keseluruh pelosok dunia Islam. Disamping itu, tulisan ini juga akan membahas bagaimana solusi dan pandangan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.

B.     Fundamentalisme Islam dalam Pluralitas-Interpretatif

Fundamentalisme Islam tidaklah muncul secara tiba-tiba, seperti yang sering diyakini oleh sementara orang. Istilah fundamentalisme juga bukan fenomena baru, yang contoh-contohnya dapat dapat ditemukan dalam beberapa periode peradaban manusia. Istilah ini bukanlah merupakan istilah yang berasal dari perbendaharaan kata dalam bahasa masyarakat Muslim, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh kalangan akademisi Barat dalam konteks kesejarahan keagamaan dalam masyarakatnya sendiri (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 499).
Istilah fundamentalisme pertama kali muncul di kalangan para penganut Kristen Protestan di Amerika Serikat sekitar tahun 1910-an. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada “fundamen” agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu sendiri secara rigid dan literalis (The Oxford English Dictionary, 1988: 129). Ini merupakan bagian dari fenomena responsi kalangan konservatif terhadap perkembengan teologi liberal-modernisme dan gejala sekularisme.
Dalam istilah yang berbeda, fundamentalisme dapat juga dipadankan dengan istilah-istilah revivalism, militancy, reassertion, resurgence, activism, dan reconstructrionism, sekalipun istilah-istilah ini masih dianggap suatu yang debatable, namun kesemuanya sering kali diidentifikasi sebagai pengertian yang menunjuk pada komunitas keagamaan yang melakukan gerakan secara keras (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 499).
Kaum fundamentalisme yang berbahasa Arab sering menggunakan beberapa istilah untuk menyebut kelompok mereka, antara lain: us}u>liyah al-Isla>miyah (dasar-dasar Islam), al-Syahwah al-Isla>miyah (kebangunan Islam), atau juga sering disebut al-Ba’as\ al-Isla>mi> (kebangkitan Islam). Selain ketiga istilah ini ada istilah lain, mereka menyebutnya dengan istilah al-Muta’as}ibu>n (orang-orang fanatik), atau juga mutat}arrifu>n (orang-orang radikal), dua istilah terakhir lebih bermakna radikal dibanding tiga istilah sebelumnya (Muhammad Abid Al-Jabiri dan Hasan Hanafi, 1990: 23-28).
Munculnya istilah-istilah seperti di atas sudah barang tentu memiliki latar sosio-historis yang satu sama lain menyimpan makna yang berbeda. Sebagian sarjana Muslim bersikap enggan untuk menggunakan istilah fundamentalisme sebab istilah ini sangat berimplikasi negatif terhadap Islam itu sendiri, secara umum ia sering dimaknai sebagai kelompok Islam yang berjuang untuk mencapai tujuan dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau secara ekstrim dapat dikatakan “menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan”.
Terlepas dari begitu luasnya makna terminologi dari istilah fundamentalisme, menurut Bassam Tibi seperti yang dilansir oleh Agus Maftuh Abegebriel bahwa fundamentalisme adalah aliran keagamaan yang menolak segala hal yang baru selain dari pada apa yang telah ada dalam doktrin atau kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin (A. Maftuh Abegebriel, 2004: 502).
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, tulisan ini ingin membatasi pengertian fundamentalisme Islam pada dua kategori pertama: activist political fundamentalism dan kedua: rationalist spiritualist fundamentalism. Istilah yang pertama merujuk pada sekelompok muslim yang memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik. Sementara istilah yang kedua lebih menekankan pada sekelompok muslim yang mengingikan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan tradisi sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh generasi Muslim awal (Muhammad Sa’id al-Asnawi, 1994: 78).

C.    Doktrin Ideologi dan Tafsir Tekstualis

1.      Konsep Islam Kaffah
Seperti yang disebutkan sebelumnya, fundamentalisme dalam pengertian lain dapat dipahami sebagai suatu tradisi interpretasi sosio-religius yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi. Hal ini tak pelak menjadikan interpretasi yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin-doktrin teologis, tapi juga merangsek pada mainstream ideologi.
Doktrin sentral yang dibangun oleh fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini, Islam diyakini tidak semata hanya sebagai sistem agama, namun sebagai sistem yang secara total mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam lingkup personal maupun komunal. Dalam konteks dunia modern saat ini, Islam diterjemahkan pada pola integralisme, yakni relasi agama dan negara bersifat integral atau saling mengisi yang pada perkembangannya kemudian Islam dibentuk sebagai sebuah ideologi negara (Hamim Ilyas, 2004: 128).
Kalangan fundamentalisme menjadikan Q.S al-Baqarah (2): 208 sebagai landasan asasi dalam memahami “Islam Kaffah”:

يَآيُّهَاالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَآفَّةً. وَلَاتَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ (البقرة: ٢٠٨)

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam seluruhnya dan janganlah mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu”.

Sayyid Qutb memahami kata as-Silm adalah umat beriman yang diperintahkan unuk memasukinya dengan al-Manhaj ar-Rabbani,  yakni sistem kehidupan yang diajarkan Tuhan dengan mendasarkan pada akidah, sehingga membuat damai dan satu-satunya sistem sosial yang mampu menyatukan masyarakat tanpa memandang ikatan artifisial yang tidak berhubungan dengan substansi manusia. Sistem ini dilawankan dengan al-Manhaj al-Jahili, yakni sistem kehidupan sekuler yang diciptakan manusia, baik masa lalu maupun masa sekarang (Sayyid Qutb, t.th. I: 130).
Masih menurut Qutb, bahwa munasabah (hubungan/pertautan) antara frasa as-Silm dengan larangan mengikuti langkah syetan adalah hubungan yang berlawanan (ta’adul/ta’arudh), hal ini dipahami secara dikhotomis yang memiliki arti masuk Islam secara total atau mengikuti langkah syetan. Dengan tegas Qutb menyatakan bahwa tidak ada lain kecuali dua arah, petunjuk atau kesesatan, Islam atau Jahiliyah, jalan Allah atau jalan syetan.
Dengan kata lain Qutb ingin menegaskan bahwa orang Islam wajib mengikuti al-Manhaj al-Rabbani secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam kehidupan pribadi mereka harus menganut sistem kepercayaan dan peribadatan Islam. Demikian halnya dalam kehidupan sosial mereka harus mengikuti sistem-sistem Islam dalam pergaulan, ekonomi, politik, dan lain-lain. Hal ini mengindikasikan bahwa orang yang tidak masuk Islam secara total tidak menyerahkan dirinya murni tunduk kepada Allah dan Syari’at-Nya, serta tidak menghindari konsep, sistem dan atauran lain, maka dia berada di jalan syetan dan berjalan mengikuti langkah-langkah syetan (Sayyid Qutb, t.th. I: 133).
Pemahaman yang disampaikan oleh Sayyid Qutb di atas merupakan landasan asasi bagi fundamentalisme sebagai doktrin teologis yang mutlak harus diterapkan tanpa kompromi, hal ini menurut penulis pada akhirnya akan menjadikan wajah Islam tidak fleksibel dan cenderung menakutkan. Padahal menurut penulis ada sedikit kejanggalan dalam pemahaman Sayyid Qutb terhadap kata silm pada ayat di atas. Diantaranya bahwa kata silm dalam ayat tersebut tidak melulu harus ditafsirkan dengan Islam dan segala sistem serta bentuk kelembagaannya, namun dapat juga dipahami dalam arti berserah diri dan taat (istislam dan tha’ah). Seperti yang dikemukakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya (az-Zamakhsyari, t.th. I: 353).
Dengan demikian pemahaman terhadap “Islam Kaffah” bisa kita pahami dalam pengertian bersrah diri kepada Allah serta patuh dan taat dalam menjalankan segala perintahnya. Hal ini mengindikasikan umat Islam dalam interaksinya dengan sesama manusia dapat saja menggunakan cara-cara dan mekanisme dari luar Islam selama tidak merubah dan bertentangan dengan kaidah-kaidah normatif agama.

2.      Tafsir Tekstualis
Disamping itu, karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan (Richard T. Antoun, 2003: 41). Bagi kaum fundamentalisme teks harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.
Pemahaman semacam ini yakni parsial dan terpotong-potong terhadap teks (al-Qur’an dan Hadist) menyebabkan mereka terperangkap ke dalam wawasan yang sempit dan tidak mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dalam kehidupan konkret. Seperti kata “jihad” dalam al-Qur’an dipahami secara harfiah belaka tanpa mencoba mengkolaborasinya lebih jauh melalui cara pemahaman terhadap sebab historis yang terkait dengan konsep itu. Hal ini semakin mengeras ketika faktor-faktor lain semisal ekonomi, politik, dan budaya tidak disertakan di dalamnya (Abd A’la, 2002: 17).
Bahkan lebih lanjut M. Amin Abdullah menjelaskan bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an yang bersifat lexiografis kata perkata, kalimat perkalimat, ayat dengan ayat, tanpa mempedulikan konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya ketika sebuah ayat turun dan bagaimana konteks sosial, ekonomi, politik, budaya pada era sekarang sebagaimana yang terjadi selama ini, adalah pola dan metode penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang dianggap sebagai korpus “tertutup”, ahistoris. Untuk itu, perlu adanya penafsiran yang lebih bersifat “produktif” yang lebih menonjolkan perlunya menggali atau menemukan makna-makna baru yang sesuai dengan tingkat tantangan perubahan dan perkembangan konteks sosial-ekonomi, politik dan budaya yang melingkupi kehidupan umat Islam kontemporer tanpa meninggalkan misi utama makna moral dan pandangan hidup al-Qur’an (M. Amin Abdullah, 2006: 139).
Gagasan dasar fundamentalisme di atas dibingkai dalam kerangka metodologi yang sekaligus dapat mengidentifikasi fundamentalisme Islam dari sisi pemahaman terhadap teks. Kerangka metodologi tersebut diantaranya;
Pertama, oposisionalisme. Prinsipnya bahwa fundamentalisme dalam agama apapun (termasuk Islam) mengambil bentuk perlawanan bahkan dalam bentuk radikal terhadap ancaman yang dipandang dapat membahayakan eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan dan tolok ukur untuk menilai ancaman tersebut adalah al-Qur’an dan pada batas-batas tertentu juga hadis Nabi.
Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalisme menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Alasannya adalah bahwa nalar tidak memiliki “wewenang” untuk menginterpretasi teks sebab nalar tidak memiliki kemampuan akan hal itu. Kendati bagian-bagian tertentu dari teks terlihat bertentangan, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.
Ketiga, penolakan terhadap pluraisme dan relativisme. Bagi mereka pluralism merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan mereka merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, terutama yang muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi lebih karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Perkembangan historis dan sosiologis bagi mereka telah membawa manusia jauh dari doktrin literal kitab suci. Dalam kerangka ini masyarakat secara doktrinal harus menyesuaikan perkembangannya dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembanagan masyarakat, sebab inilah kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis (M. Dede Ridwan, 2002: 138-139).
Dengan keyakinan seperti ini, maka pada prinsipnya menurut penulis di satu sisi, kaum fundamentalis ingin mengembangkan gagasan dasar yang menyatakan bahwa suatu agama tertentu (dalam kajian ini: Islam) harus dipegang dan dipahami secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan. Namun pada sisi yang berbeda, Islam dan segala perangkatnya tidak bisa dilepaskan dengan kenyataan sosial, politik, budaya dan sejarah yang wajib dilibatkan dalam setiap pemaknaan dan interpretasi teks. Dari kenyataan inilah kita tidak dapat melepaskan komunikasi antara teks dan konteks.

D.    Dari Teks Menuju Konteks: Sebuah Solusi
Menurut hemat penulis persoalan yang dapat menyebabkan seseorang memiliki sikap ekstrim, elastis, atau fundament terhadap agama adalah masalah pemahaman terhadap teks sebagai landasan asasi dalam beragama. Jika pemahaman hanya terfokus pada teks (al-Qur’an dan Hadits)  belaka, maka sikap ekstrim, eksklusif, serta fanatis terhadap bunyi teks tidak dapat dielakkan. Sebaliknya jika pemahaman terhadap teks dikaitkan dengan kondisi, seting sosial, sejarah dan hal yang mengitari hadirnya teks, maka sikap elastis dan toleran akan dapat dimunculkan.
Bagi kaum fundamentalisme kitab suci sepenuhnya bersifat ilahiyah tidak memuat pengaruh-pengaruh yang sifatnya historis, karenanya jika manusia tidak mengikuti hukum yang telah di “ramu’’ Tuhan dalam al-Qur’an. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri, maka orang tersebut sudah melawan hukum Tuhan yang konsekwensinya adalah dianggap kafir. Disamping itu, asumsi bahwa agama bisa mengatur seluruh hal dalam kehidupan manusia, sebab agama dianggap sebagai aturan Tuhan yang sudah semestinya mengatur secara rinci segala hal dalam hidup manusia, dengan keyakinan inilah muncul pandangan agama yang totalitarianistik (Moh. Shofan, 2006: 98).
Pandangan semacam ini sangatlah beralasan jika kita memahami teks sebagai “korpus tertutup” yang tidak dapat menerima “bantuan” dari kenyataan adanya konteks sebagai realitas lain yang hadir di luar teks. Dengan demikian, wajar kiranya jika al-Qur’an seolah sebagai sebuah “kapsul” yang berisi berbagai ramuan siap ditelan tanpa memperhatikan adanya seperangkat “air sejarah”, “sendok sosial”, dan “gelas politik” yang harus selalu diikut-sertakan dalam mengkonsumsinya, tegasnya bahwa pemahaman terhadap teks dan Islam sudah final dan serba mencakup (all-inclusive) tanpa harus mengandalkan kenyataan lain (Sumanto Al Qurtuby, 2005: 122).
Pemahaman terhadap al-Qur’an jelas tidak dapat dipisahkan dengan adanya historisitas dan kontekstualitas. Bahkan menurut Nasr Hamid Abu Zaid peradaban Islam adalah peradaban teks, sebab dengan berporos pada teks (al-Qur’an)-lah dinamika peradaban Islam bergulir. Hal ini membuktikan bahwa dalam peradaban Islam pada umumnya, al-Qur'an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak keilmuan yang berkembang di dalamnya (Nasr Hamid Abu Zaid, 2003: 1-17).
Sementara orang (fundamentalis) terlalu berlebihan dalam menyikapi teks, sehingga secara tidak sadar memunculkan pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas. Teks sebagai pedoman yang sakral di satu sisi dengan realitas kehidupan sebagai objek dari pedoman tersebut di sisi yang berbeda. Implikasi yang ditimbulkan dari pemahaman ini tidaklah ringan, sebab ada kalanya dalam kondisi tertentu ketika ada kepentingan-kepentingan tertentu dalam diri seseorang atau sekelompok orang, maka untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan tersebut teks dijadikan sarana untuk memberikan legitimasi dan justifikasinya (Fahruddin Faiz, 2005: 99). Lebih jauh lagi, jika terjadi “sengketa” antara teks dan realitas, maka realitas harus ditaklukkan ke dalam bunyi tekstual teks, hal inilah yang akan memunculkan kelompok “penyembah” teks (‘Ubbadu an-Nushush).
 Perlu kita cermati bersama bahwa kata-kata literal (mant}u>q) teks al-Qur’an bersifat ilhiah dan sakral, namun ia menjadi sebuah “konsep” (mafhu>m) relatif dan bisa berubah ketika ia dipandang dari perspektif manusia; ia menjadi sebuah teks “manusiawi” (Moch. Nur Ichwan, 2002: 158). Namun demikian transendensi dan kesakralan teks al-Qur’an tidak akan hilang dan luntur meskipun telah memasuki ranah manusiawi dan dilihat dari perspektif manusia, ia akan tetap pada kesakralan dan kesuciannya.
Oleh sebab itu, menurut penulis kita harus meyakini bahwa konteks merupakan bagian yang integral dari teks dalam pengertian jika kita ingin mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan inklusif terhadap makna teks maka dialegtika antara teks dan konteks tidak bisa diabaikan. Adalah sangat tidak bijaksana kiranya pemahaman yang menolak segala hal yang baru selain dari pada apa yang telah ada dalam doktrin, seperti yang dipahami kaum fundamentalisme selama ini.
Kembali kepada al-Qur’an dan sunnah tidak harus dipahami sebagai penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis, tidak pula harus dipahami dengan mengembalikan al-Qur’an sebagai teks normatif pada pengertian yang literal serta manusia tidak diberi ruang ekspresi dan kewenangan dalam menginterpretasi al-Qur’an yang nota bene di wahyukan untuk manusia sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat.
Menurut penulis solusi utama dalam membendung arus fundamentalisme Islam adalah dengan bermula dari teks menuju konteks yang ada di sekitarnya. Dalam pengertian bahwa teks harus dipahami secara luas dengan mengikut-sertakan konteks sejarah, sosial, politik, dan budaya. Sebab teks (al-Qur’an dan Hadist) merupakan “korpus terbuka” yang meniscayakan manusia (mufassir) untuk memahaminya dengan bantuan berbagai realitas di luar teks. Tidak perlu ada kekhawatiran akan hilangnya kesakralan dan transendensi teks, sebab kesakralan dan transendensi itu tidak ada kaitannya dengan pemahaman manusia terhadap al-Qur’an.

E.     Ikhtitam
Demikianlah sekelumit penjelasan dan pemahaman penulis terhadap fundamentalisme Islam yang dewasa ini menjadi fenomena keagamaan dan tidak jarang kekerasan terjadi atas doktrin agama yang dikaitkan dengan kaum fundamentalisme. Bagi penulis bahwa fenomena fundamentalisme Islam pada prinsipnya merupakan bagian dari keberagaman pemahaman terhadap agama utamanya nash baik al-Qur’an maupun hadist. Sikap kritis dan reinterpretasi terhdap nash perlu diperdalam sebagai suatu landasan untuk mematahkan landasan epistemologi (Nadhoriyat al-Ma’rifah) mereka.
Semoga tulisan yang jauh dari kata sempurna ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan kita semua. Wallahu A’lam.

























Daftar Pustaka

Abd A’la, 2002, Melampaui Dialog Agama, Jakarta Kompas.
Agus Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abeveiro, 2004, Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia, Jakarta: SR-Ins Publishing.
Az-Zamakhsyari, t.th, al-Kasya>f  ‘an Haqa>iq al-Tanzi>l, Juz: I, ttp.
Fahruddin Faiz, 2005, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press.
Hamim Ilyas, 2004, “Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir al-Qur’an”, dalam Tuhan: The Thematic Encyclopaedia, Agus Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abeveiro (ed), Jakarta: SR-Ins Publishing.
M. Amin Abdullah, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Dede Ridwan, 2002, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan, Yogyakarta: Belukar Budaya.
Moch. Nur Ichwan, 2002, “al-Qur’an Sebagai Teks: Teori Teks dalam Hermeneutik Qur’an nasr Hamid Abu Zayd”, dalam: Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Metodologi Tafsir, Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed), Yogyakarta: Tiara Wacana.
Moh. Shofan, 2006, Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme, Yogyakarta: IRCiSoD.
Muhammad Abid al-Jabiri dan Hasan Hanafi, 1990, H{iwa>r al-Masriq wa al-Maghrib, Beirut: al-Muassasah al-‘Arabiyyah.
Nasr Haid Abu Zaid, 2003, Tekstualitas al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS
Sayyid Qutb, t.th. Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, Juz: I, Beirut: Dar al-‘Arabiyah.
Sumanto Al Qurtuby, 2005, Lubang Hitam Agama: Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal,  Yogyakarta: RumahKata.