Halaman

Minggu, 29 November 2009

PEREMPUAN, PENDIDIKAN, DAN INDONESIA

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KONSTRUK PENDIDIKAN DI INDONESIA

Key Word: Perempuan, Pendidikan, dan Kebijakan

A. PENDAHULUAN

Sudah sejak lama pandangan masyarakat kita dalam melihat peran antara laki-laki dan perempuan cendrung patriarki. Ini artinya bahwa kultur kelaki-lakian yang nota bene menomor satukan laki-laki dari pada perempuan tampak sangat dominan. Keadaan semacam ini kemudian membuat masyarakat, secara kolektif dan tidak sadar melegitimasi dan menerapkan kultur tersebut dalam di dalam kehidupan mereka.
Permasalahan yang sangat dominan muncul dari hal di atas adalah ketidak-adilan yang dirasakan oleh kaum perempuan, yang lebih ironis lagi adalah bahwa ketidak-adilan ini terjadi hampir pada semua aspek kehidupan. Jika kita bernostalgia untuk melihat masa silam, maka akan tercermin dalam bingkai sejarah bahwa memang posisi perempuan sangat termarjinalkan. Selain itu, budaya-budaya yang terbentuk dalam peradaban manusiapun sangat memarginalkan eksistensi perempuan. Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah masalah "menstruasi". Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nasaruddin Umar masalah menstruasi ternyata sarat dengan makna mitos. Sehingga, hampir setiap suku, agama, dan kepercayaan memiliki konsep perlakuan khusus terhadap perempuan yang sedang menstruasi.
Diantara mitos tersebut adalah bahwa darah menstruasi merupakan dosa asal atau origin sin yang dilakukan Hawa, hal inilah yang menyebabkan Adam dan Hawa dijatuhkan oleh Tuhan ke bumi. Celakanya lagi, bahwa mitos-mitos tentang menstruasi yang dialami kaum perempuan ini diyakini benar adanya, sehingga adanya perlakuan-perlakuan khusus terhadap perempuan yang sedang menstruasi. Seperti wanita yang sedang menstruasi harus dijauhkan dari keluarga dan masyarakat serta juga ada larangan untuk melakukan kegiatan dengan orang yang sedang haid, bahkan sampai makan dan minumpun harus dijauhkan dari orang di sekitarnya. Alhasil, perlakuan ini akhirnya menjadi salah satu penyebab langgengnya sistem patriarki yang sarat dengan bias gender.
Disamping hal di atas, dalam ranah pendidikan pun keberadaan perempuan memiliki sejarah yang gelap, dalam arti bahwa perempuan mendapatkan tempat terpojok bahkan tidak mendapatkan tempat sama sekali dalam porsinya untuk mengenyam pendidikan. Dalam sejarah bangsa Indonesia, tercermin bahwa kedudukan perempuan dalam pendidikan sangat memprihatinkan. Keadaan inilah yang lalu memunculkan gerakan feminisme. Nilai-nilai feminisme yang diperjuangkan oleh kaum hawa adalah untuk memposiskan perempuan pada porsinya. Sejarah perjuangan feminisme barangkali bisa dirunut pada apa yang diteriakkan oleh wanita-wanita Prancis sejak abad ke-18 M. Di Indonesia nama R.A. Kartini bisa dijadikan acuan sekaligus contoh gerakan feminis yang sangat intens dalam memperjuangkan keadilan perempuan khususnya dalam dunia pendidikan.
Buah pikiran kartini melalui surat-suratnya dapat kita simpulkan sebagai berikut, pertama, kunci kemajuan bangsa terletak pada pendidikan, oleh karena itu seluruh anak rakyat harus dapat menerima pendidikan secara sama, kedua, sistem dan praktek pendidikan tidak mengenal diskriminasi tanpa membedakan, jenis kelamin, agama, satus sosial, dan keturunan, semuanya berhak mengecam pendidikan. Ketiga, pendidikan yang diarahkan pada pencerdasan rakyat secara nasional terbagi menjadi dua yakni formal dan non formal. Keempat, selain keterampilan pendidikan juga diarahkan pada pembentukan watak dan kepribadian anak didik. Kelima, pendidikan perempuan haruslah ditekankan pertama sekali.
Dewasa ini perjuangan kesetaraan gender telah menjadi agenda internasional dan nasional. Banyak konvensi internasional dan undang-undang mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan yang menuntut affirmative action atau positif action dalam melaksanakan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan gender merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Sehubungan dengan itu telah banyak kebijakan publik yang telah dikeluarkan untuk mewujudkan ide keseteraan.
Di atas merupakan sekilas gambaran tentang sejarah pendidikan bagi perempuan secara umum termasuk di Indonesia serta beberapa isu tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki (kesetaraan gender), makalah ini ingin membahas tentang bagaimana keadaan dan kedudukan perempuan dalam konstruk pendidikan di Indionesia pada saat ini, apakah masih seperti sejarah masa lalu yang sangat suram atau sebaliknya. Makalah ini juga nantinya akan melihat bagaimana kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah dalam hal pendidikan khususnya bagi perempuan. Penelitian ini sangat penting sebab pada satu sisi, pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pendidikan ingin memberikan porsi yang sama antara laki-laki dengan perempuan. Namun implementasi yang terjadi pada tataran empiris pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mengarah pada kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan pada sisi lain. Terlebih setelah dinberlakukannya sistem desentralisasi pendidikan yang diusung oleh sistem otonomi daerah.
Secara singkat dapat digambarkan bahwa makalah ini akan membahas tentang posisi perempuan dalam sistem pendidikan di Indonesia dengan merujuk pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian menganalisis kebijakan-kebijakan yang muncul apakah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan dan terakhir dipaparkan beberapa kesimpulan. Semoga makalah ini bermanfaat. Amin.

B. KONDISI PEREMPUAN DI INDONESIA (Pendidikan dan Kedudukan)

Sebelum kita masuk pada formulasi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, penulis akan membahas terlebih dahulu tentang sejarah pendidikan di Indonesia, hal ini nantinya akan dapat mengantarkan kita pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, untuk selanjutnya dapat dianalisis sejauh mana pelaksanaan dan pengaruhnya terhadap dunia pendidikan di Indonesia khususnya bagi kaum perempuan.
Pada masa awal kedatangan kolonial Belanda sekitar tahun 1600-an, Belanda mendirikan sekolah dengan tujuan melenyapkan agama Katolik dan menyebarkan agama Protestan. Sekolah yang pertama di bangun oleh Belanda adalah pada tahun 1607 yang didirikan di bagian timur Indonesia teepatnya di Ambon untuk anak-anak Indonesia sebab pada saat itu belum ada anak-anak Belanda. Dari sana kemudian banyak didirikan sekolah-sekolah oleh Belanda, pada tahun 1632 tercatat ada 16 sekolah di Ambon dan terus meningkat hingga 33 buah sekolah pada tahun 1645 dengan 1300 murid. Akan tetapi perkembangan nya menurun hingga Abad ke 18 sebab pada saat itu agama Katolik sudah dilenyapkan.
Selanjutnya pada tahun 1817 setelah ambruknya VOC, pemerintah Belanda mendirikan sekolah pertama untuk anak-aknak Belanda di Jakarta, yang segera diikuti oleh pendirian dan pembukaan sekolah-sekolah dikota-kota lain di Jawa. Namun fasilitas yang digunakan pada sekolah-sekolah belanda sangat jauh berbeda dengan sekolah yang didirikan untuk anak Indonesia (Bumiputera), hal ini berlanjut hingga sebelum kemerdekaan. Lalu pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan nasib anak-anak perempuan Indonesia dalam konteks pendidikan (sekolah)? Pada prinsipnya, pemerintah Belanda tidak membeda-bedakan antar laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan.
Akan tetapi, masyarakat Indonesia secara tradisional didominasi oleh kekuasaan maskulin. Kekuasaan maskulin itu diperkuat oleh mitos, tradisi, bahkan dalam agama-agama yang dianut telah dimanipulasi untuk mensubordinasikan perempuan dalam struktur kehidupan bermasyarakat. Tidak mengherankan jika banyak kebijakan-kebijakan yang sangat mendiskreditkan kaum perempuan. Hal inilah yang menjadi kenyataan sejarah Indonesia pada saat itu. Oleh karena itu, menyebabkan kedudukan perempuan dalam masyarakat menjadi inferior yang sebenarnya ini semua sangat bertentangan dengan kodrat manusia, tidak terkecuali dibidang pendidikan.
Kenyataan semacam ini terus berlanjut, walaupun memasuki abad ke-19 sudah terlihat kebijakan-kebijakan yang lebih mengutamakan perempuan termasuk juga munculnya gerakan-gerakan yang mengusung kesetaraan dan keadilan gender. Di Indonesia sendiri upaya untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk meujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Disamping itu, pengarusutamaan gender juga salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG (pengarusutamaan gender) diinstruksikan kepada seluruh departemen dan lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, propinsi, maupun di kabupaten/kota untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan masalah kebutuhan, aspirasi perempuan dalam pembangunan, kebijakan, program/proyek dan kegiatan.
Jika demikan maka, seharusnya penduduk wanita yang jumlahnya 49,9% (102.847.415) dari total 206.264.595 penduduk Indonesia (sensus penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan, namun sebaliknya, kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi bahan bangunan itu sendiri.
Kenyataan empiris di Indonesia dalam beberapa aspek pembangunan termasuk di dalamnya aspek pendidikan, memperlihatkan bahwa perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi perempuan yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas (atau bahkan dibatasi) dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah sehingga manfaat pembangunan kurang dirasakan hasilnya oleh kaum perempuan di Indonesia.
Demikian kondisi perempuan yang terlihat di Indonesia, walaupun ada upaya penyetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun masih kita lihat disana-sini kondisi yang kurang menguntungkan bagi kaum perempuan. Ini artinya bahwa berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan SDM, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki.
Disamping itu, faktor lain yang menjadi penyebab kesenjangan gender adalah tata nilai sosial-budaya masyarakat lebih mengutamakan laki-laki (ideology patriarki) yang sangat kental, peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin, demikan pula dengan penafsiran agama yang kurang komprehensif, cendrung tekstual-parsialistik dan kurang holistik akan sangat merugikan salah satu pikak. Secara intern sangat rendahnya kemauan, kemampuan dan kesiapan untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen juga menjadi salah satu faktor langgengnya kesenjangan gender. Disamping itu, rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender juga menambah terpuruknya kondisi perempuan.
Dalam pembahasan selanjutnya penulis akan membagas kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan gender (kususnya dalam pendidikan) serta proses pengambilannya dan implementasinya.

C. POSISI PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN (Kerangka Kebijakan)

Secara keseluruhan kualitas hidup manusia digambarkan melalaui Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI). Melalui hal ini posisi Indonesia jauh berada di bawah Malaysia, Thailand, dan Philipina. Indonesia menempati posisi ke-112 dari 175 negara pada tahun 2003. Begitu pula pada tingkat kesetaraan gender melalaui foling Gender Related Development Index (GDI) Indonesia pada tahun 1995 menempati peringkat ke-88 dan terus merosot hingga tahun 2002 berada pada peringkat ke 91 dari 144 negara GDI, ini pun masih berada jauh di bawah negara-negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Philipina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60, dan 63. Pada prinsipnya indeks pembangunan manusia skala internbasional dan nasional dinilai dari 3 aspek yaitu; pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 aspek tersebut.
Untuk menjembatani dan merespon kesetaraan laki-laki dan perempuan, pemerintah mengeluarkan kebijakan publik yang berupa undang-undang dan peraturan seperti di bawah ini;
1. Undang-Undang Republik Indonesia no. 7 tahun 1994 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. (Convention on the Elimination of All Froms Discrimination Against Women)
2. Undang-Undang Republik Indonesia no. 34 tahun 1999 tentang HAM. Dalam pasal 48UU ini dikatakan "wanita berhak menmperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan". Pasal 60 ayat 1 menyatakan: "setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
3. Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 3 UU ini menyatakan mengenai asas dan tujuannya untuk penghormatan HAM, keadilan dan kesetaraan gender, non-diskriminasi, dan perlindungan korban.
4. Instruksi Presiden no. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender pada pembangunan nasional. Instruksi ini bertujuan; melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan program pembangunan nasional yang perspektif gender sesuai dengan bidang, tugas, dan fungsi serta kewenangan masing-masing. Pengarusutamaan gender ini dilakukan antara lain melalui analisis gender dan upaya komunikasi, informasi, dan edukasi tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan lembaga perintah di tingkat pusat dan daerah.
Kebijakan-kebijakan yang muncul ini pada prinsipnya adalah sebagai respon dari kenyataan empiris Indonesia baik dari segi sosial-budaya, sosial-ekonomi, maupun sosial-politik, yang masih kurang responsif terhadap perempuan. Usaha lain dalam upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender adalah dengan menjadikan visi Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dengan visi "berupaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender", ini juga merupakan salah satu bentuk pembaharuan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasawarsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan yang bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek, meskipun masih belum optimal.
Dalam bidang pendidikan, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa "wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan". Maksud pemerintah dalam hal ini adalah agar terciptanya keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang pendidikan. Semua ini natinya akan berimbas pada posisi dalam memegang keksuasaan (baca: pemerintahan), sebab hubungan kekuasan dan pendidikan sangat erat knowledge is power dalam arti bahwa menguasai ilmu pengetahuan berarti menguasai sumber-sumber kehidupan.
Dalam GBHN 1999-2004 seperti yang telah disebutkan di atas, pemerintah menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan yakni; pertama, meningkatkan peran dan kedudukan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta historisitas perjuangan perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian harapan pemerintah pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab semua pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan. Ini artinya, bahwa sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggungjawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakn pemberdayaan perempuan ditingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender disegala bidang kehidupan dan pembangunan.
Singkatnya bahwa, hasil yang diinginkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah bagaimana seharusnya penempatan posisi perempuan sesuai dengan kedudukannya, selain itu agar terciptanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, yang selama ini masih terlihat bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah.

D. ANALISIS KEBIJAKAN

Pada bagian ini penulis ingin memaparkan kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum tentang kesetaraan gender khususnya dalam bidang pendidikan dan apakah kebijakan itu telah dijalankan dengan maksimal, dari situ nantinya akan terlihat sejauh mana dampak kebijakan itu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pada bidang pendidikan, kaum perempuan masih sangat tertinggal dibandingkan kaum laki-laki, kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan dari pada perempuan. Dengan kasus ini lalu pemerintah mengeluarkan undang-undang Republik Indonesia no. 34 tahun 1999 tentang HAM. Dalam pasal 48 UU ini dikatakan "wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan". Pasal 60 ayat 1 menyatakan: "setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
Akan tetapi, ketertinggalan perempuan dalam pendidikan masih signifikan, hal ini tercermin dari persentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibanding laki-laki (6,87%) dengan kecendrungannya meningkat selama tahun 1999-2000. Akan tetapi, jumlah ini kemudian mengalami penyusutan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun, angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari pada laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (tahun 2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan sebanyak 12,69%. Menurut statistik kesejahteraan rakyat 2003, angka buta huruf perempuan pada tahun 2003 12,28% sedangkan laki-laki hanya sekitar 5,84%.
Pada satu sisi, kelihatan bahwa dalam perkembangan pendidikan di Indonesia boleh dikatakan sudah ada kemajuan, artinya bahwa pendidikan nasional Indonesia telah menembus hambatan-hambatan yang merintangi seperti budaya-budaya patriarki dan diskriminasi teks. Kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan yang telah menjadi kebijakan pemerintah setidaknya telah sedikit mengurangi diskriminasi perempuan, termasuk juga didalamnya diskriminasi mengenai kebebasan menggunakan atribut-atribut keagamaan ketika jam bersekolah formal seperti kasus yang terjadi sekitar tahun 1988-1990.
Namun demikian pada sisi lain, pelaksanaan prinsip kesetaraan yang berkeadilan (justice) ternyata belum sepenuhnya terlaksana dalam masyarakat. Kita lihat misalnya, bagaimana sulitnya kaum perempuan menduduki jabatan-jabatan strategis dalam masyarakat, seperti jabatan Presiden, Gubernur, Anggota DPR yang seluruhnya menunjukkan ketimpangan di dalam kesetaraan yang berkeadilan. Prinsip kebebasan perempuan yang berkeadilan belum menuju kepada fairness karena perempuan masih dibatasi dalam menduduki jabatan-jabatan strategis. Dalam pelaksanaan UU Sistem Pendidikan Nasional telah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, UU ini boleh dikatakan berhasil, sebab secara kuantitas dapat kita lihat bahwa jumlah siswa/mahasiswa laki-laki dan siswi/ mahasiswi perempuan sudah relatif seimbang. Namun demikian, jabatan-jabatan strategis dalam hidup bermasyarakat ternyata masih di dominasi oleh kaum laki-laki.
Jika diperhatikan secara kuantitas, pemerintah sudah dikatakan mampu untuk memberikan respon positif terhadap kesetaraan gender. Namun pada sisi kurikulum dan membangun sensitivitas gender dilembaga-lembaga pendidikan masih belum diperhatikan secara maksimal. Banyak sekali kasus-kasus yang menunjukkan perlakuan yang diskriminatif dan tidak sensitif gender yang terjadi pada lembaga pendidikan. Otonomi daerah yang diterapkan oleh pemerintah yang juga diiringi dengan desentralisasi pendidikan disatu sisi, memang sangat baik jika diterapkan dengan maksimal, namun pada sisi lain, pada beberapa daerah akan membangun kesenjangan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, sebab dibeberapa daerah, masih sangat kental dengan budaya patriarki yang notabene sangat mengunggulkan laki-laki.
Salah satu contoh yang dapat kita lihat misalkan. "dalam sebuah diskusi kelas, seorang murid laki-laki, tiba-tiba mengeluarkan ungkapan yang tidak sepantasnya ketika seorang teman perempuannya menanggapi pernyataannya. Dia mengatakan "dasar perempuan banyak omong" terhadap teman perempuannya itu. Ungkapan yang spontan itu lalu membuat teman-temannya yang lain tertawa". Ini menunjukkan bahwa perilaku yang sensitif gender pada lembaga pendidikan masih belum terlaksana dengan baik. Dalam kasus lain misalkan banyak terjadi pelecehan seksual terhadap para siswi ataupun mahasisiwi yang dilakukan oleh oknum guru ataupun dosen.
Seharusnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah secara signifikan tidak hanya terfokus pada kesetaraan pendidikan dalam hal kuantitas, akan tetapi bagaimana kebijakan-kebijakan itu juga mencakup pada kurikulum dalam setiap lembaga pendidikan. Artinya, bahwa selama ini pemerintah hanya memperhatikan kesejahteraan dan kesetaraan gender dalam bentuk zahir saja, namun tidak memperhatikan hal-hal yang bersifat moril dan perlakuan yang mulia terhadap perempuan.
Namun demikian usaha pemerintah untuk mewujudkan kesetraaan gender di negeri yang kita cintai ini adalah merupakan sebuah usaha keras yang perlu diapresiasi dan juga dukungan dari seluruh elemen dan lapisan masyarakat Indonesia.

E. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan memerapa hal, pertama, bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu ketimpanagan lebih banyak dialami oleh perempuan dari pada laki-laki. Kedua, akibat diskriminasi gender yang berlangsung sejak lama, kondisi perempuan pada bidang pendidikan, ekonomi, HAM, dan politik, berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi ini jika tidak segera diatasi, maka ketimpangan dan kesenjangan pada perempuan tetap saja akan terus terjadi.
Ketiga, bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial masih banyak mengalami diskriminasi haruslah diakui, kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan yang kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Kenyataan ini menjadi masalah tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan.
Demikianlah makalah singkat yang jauh dari kesempurnaan ini penulis buat, semoga dapat bermanfaat dan dapat dijadikan bahan untuk berdiskusi lebih jauh tentang kesenjangan dan kesetraan gender di Indonesia khususnya dalam bidang pendidikan. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar