Halaman

Kamis, 22 April 2010

MELACAK INFORMASI AL-QUR'AN TENTANG BENCANA

MUSIBAH, BALA’, DAN FITNAH PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Melacak Informasi al-Qur’an Tentang Bencana (di sadur dari tulisan M. Quraish Shihab)

Peristiwa bencana alam yang menghampiri negeri Indonesia tercinta ini, beberapa tahun terakhir bertubi-tubi berpengaruh secara signifikan dalam perkembangan berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, maupun budaya. Dimulai dari peristiwa yang menimpa Aceh dan Sumatera Utara 26 Desember 2004 hingga yang terakhir gempa 7 SR menghantam Sumatera Barat, Jambi, dan kawasan Sumatera lainnya, sungguh merupakan peristiwa yang sangat luar biasa serta menimbulkan dampak yang sangat besar pula. Bukan saja dari segi fisik-material bahkan juga psikis dan spiritual. Berbagai tanggapan muncul dan tidak sedikit orang yang goncang hati dan imannya.

Ada yang berkata bahwa Tuhan telah murka pada penduduk sekeliling, ada juga yang lebih ekstrim dengan melontarkan ucapan bahwa Tuhan kejam dan tidak lagi mengasihi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa memang ada dua Tuhan, Tuhan yang baik dan bijaksana menciptakan kebaikan, dan yang jahat itulah yang berperan dalam peristiwa bencana alam yang super dahsyat itu. Sebagai seorang beragama dan percaya akan ke-Esa-an Tuhan dan kasih sayangnya, pernyataan seperti di atas tidaklah pantas terlintas dalam benak kita, sebab kita harus meyakini bahwa Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, adalah rabb al-‘Amin (Pemelihara Sekalian Alam), dan dalam konteks pemeliharan-Nya itu, terjadi sekian banyak hal yang antara lain dapat dilihat dalam pandangan manusia sebagai malapetaka atau tanpa belas kasih.

Adalah sesuatu yang sulit dijelaskan dan bahkan musykil jika adanya sesuatu yang dinilai buruk terjadi atas izin Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Adil itu, khususnya untuk memuaskan semua nalar. Itu sebabnya jawaban yang sering terlontar untuk masalah semacam ini adalah bahwa “ada hikmah dibalik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai keburukan maupun sebaliknya”. Namun jawaban semacam ini jelas tidak mampu memuaskan nalar. Sementara pakar agama termasuk Islam mengkompromikan masalah ini dengan menyatakan apa yang dinamai keburukan sebenarnya “tidaklah ada” atau paling tidak hanyalah pandangan nalar manusia yang memandang secara parisal, bukankah Allah sendiri telah menyatakan:
“Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya…(Q.S. al-Sajadah: 7)

Jika demikian, bahwa segalanya adalah ciptaan Allah dan segalanya baik, munculnya keburukan adalah merupakan keterbatasan pandangan manusia. Ia sebenarnya tidak buruk hanya karena nalar manusia yang mengiranya demikian. Persis seperti memandang titik hitam (tahi lalat) pada wajah seorang perempuan, keterbatasan pandangan yang terfokus pada objek tersebut menjadikan sipemandang melihatnya buruk, tetapi ketika wajah dipandang secara menyeluruh, maka titik hitam tersebut justru menjadi unsur kecantikannya. Oleh karena itu, Allah mengingatkan “bahwa boleh jadi engkau tidak senang kepada sesuatu, padahal dia itu bik untuk kamu, begitu pula sebaliknya” (Lihat Q.S. al-Baqarah: 216). Lalu bagaimana sebenarnya pandangan dan penjelasan al-Qur’an mengenai kejadian dan peristiwa yang menimpa manusia, seperti yang dialami oleh bangsa ini. Tulisan ini akan mengungkapnya dalam pembahsan yang sederhana.
Dalam al-Qur’an ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang tidak disenangi, antara lain; Musibah (مــصـيــبـة ), Bala’ (بلاء ), ‘Adzab (عــذاب), ‘Iqab (عــقا ب ), dan Fitnah (فـتـنـــة ). Namun pengertian dan cakupan maknanya berbeda-beda. Dalam tulisan ini akan dijelaskan tiga dari istilah di atas. Mari kita perhatikan pembahasan berikut;

Pertama, kata musibah mulanya berarti menimpa atau mengenai. Memang bisa saja yang mengenai atau menimpa itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Namun jika al-Qur’an menggunakan kata musibah, maka itu berarti sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa manusia. Artinya bahwa jika sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa manusia itulah yang dinamakan musibah dalam bahasa al-Qur’an. Ada tiga hal yang dapat kita lacak tentang musibah dalam al-Qur’an. Pertama, musibah terjadi karena ulah manusia, antara lain dikarenakan oleh dosa mereka. Dalam surah al-Syura: 30 dan surah an-Nisa: 79 Allah menjelaskan tantang hal ini. Kedua, Musibah itu tidak akan terjadi kecuali atas izin Allah, hal ini dapat kita perhatikan bagaimana Allah menjelaskannya dalam beberapa firmannya, antara lain dalam surah at-Taghabun: 11 dan al-Baqarah: 157. Ketiga, musibah antara lain bertujuan menempa manusia karena itu kita dilarang untuk berputus asa akibat jatuhnya musibah (lihat Q.S. al-Hadid: 22).

Kedua kata bala’. Kata ini pada dasarnya dimaknai nyata /nampak seperti dalam firman Allah:
“Pada hari kiamat akan dinampakkan rahasia-rahasia” namun makna tersebut berkembang sehingga dapat disimpulkan bahwa bala’ bermakna “ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang”. Jika musibah dijatuhkan Allah karena akibat ulah atau kesalahan manusia, sementara bala’ tidak mesti demikian, dan bahwa tujuan bala’ adalah peningkatan derajat seseorang dihadapan Allah swt.

Selanjutnya kata fitnah, pada awalnya kata finah berarti membakar, dalam kamus bahasa Indonesia kata ini diartikan sebagai “perkataan yang bermaksud menjelekkan orang lain”, namun al-Qur’an tidak sekalipun menggunakannya dengan makna tersebut. Kitab suci ini umumnya menggunakanya dalam arti siksaan atau ujian/ cobaan. Dalam surah al-Anbiya’ ayat 35 Allah mempersamakan antara makna kata bala’ dan fitnah. Disana disebutkan Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mati, Kami akan melakukan bala’/menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (ujian yang sebenar-benarnya)…Oleh karena itu, sekian banyak ayat yang mengandung informasi tentang ragam ujian yang sama, walau sekali menggunakan kata bala’ dan kali lain menggunakan kata fitnah. Lihat misalnya Q.S al-Anfal: 28, baca pula al-Taghabun: 15.

Jika demikian, secara umum kita dapat mempersamakan kedua kata tersebut, yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa fitnah/ujian dilakukan Allah sebagai peringatan, dan tentu saja apabila peringatan tidak juga diindahkan setelah beberapa kali, maka adalah wajar jika dijatuhkan tindakan yang lebih keras lagi terhadap yang tidak mengindahkan.

Nah setelah kita mengetahui ketiga makna istilah di atas, maka kini kita bertanya, apakah tsunami dan gempa yang melanda negeri ini bahkan beberapa kawasan di jagad semesta ini merupakan musibah, bala’, atau fitnah? Jika kita bercermin pada kisah Nabi Nuh as. (Q.S. Hud: 40-44) dimana pada saat itu terjadi tsunami dan banjir yang sangat besar, jelas sekali bahwa peristiwa ini terjadi akibat dari kedurhakaan mereka dan itulah musibah yang menimpa orang-orang yang durhaka, sementara orang-orang yang tidak durhaka diselamatkan oleh Allah dalam perahu Nabu Nuh itu.

Dengan demikian, melihat sebagian besar yang menderita dan tewas dalam rentetan bencana yang menimpa bangsa ini adalah anak-anak atau orang tua, serta berprasangka baik terhadap yang gugur, maka agaknya tidaklah tepat jika dikatakan jika peristiwa tersebut sebagai musibah dalam bahasa al-Qur’an, adalah tepat jika peristiwa tersebut dinamai fitnah dari pada musibah dalam perspektif al-Qur’an. Disini kita dapat berkata bahwa jika yang berdosa ditimpa mudarat akibat peristiwa tersebut, maka itu adalah akibat dosa mereka. Sedangkan yang tidak berdosa, maka bagi mereka yang hidup merupakan bala’ yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar