Halaman

Kamis, 22 April 2010

MENGGUGAT UJIAN NASIONAL

KEBIJAKAN YANG ORTODOK-ELITIS
Menggugat Kebijakan Ujian Nasional

Ukuran kemajuan suatu negara secara kognitif adalah maju dan berkembangnya dunia pendidikan di sebuah negara. Dunia pendidikan yang dimaksud di sini adalah segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan terlaksananya pendidikan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Ukuran ini idealnya harus berbanding lurus dengan output yang dihasilkan. Artinya bahwa ukuran kesuksesan dunia pendidikan, tidak hanya sekedar ditilik dari majunya tekhnologi dan fasilitas yang digunakan, namun juga dilihat dari proses serta output yang mampu bersaing secara dalam dunia kerja, disamping tentunya output yang memiliki kepribadian luhur. Artinya bahwa pendidikan harus mampu menggarap tiga ranah yakni kognitif (intelektual-akademik, afektif (sikap), dan psikomotorik (praktik), termasuk dalam kaitan ini adalah tenaga edukatif yang professional. Indikasi yang paling nyata dari ini semua adalah masyarakat yang melek pendidikan secara kuantitas menunjukkan grafik peningkatan yang signifikan setiap tahunnya.
Kondisi semacam ini sebenarnya mulai ternuansa direpulik kita tercinta ini, walaupun nuansa itu masih belum benunjukkan signifikansi yang nyata. Pemerintah dalam hal ini telah berupaya semaksimal mungkin untuk memajukan pendidikan Indonesia agar bisa dilirik dunia internasional sebagai sebuah negara yang memiliki integritas pendidikan yang mapan. Namun kenyataan yang dapat kita perhatikan adalah bahwa usaha pemerintah ini masih banyak terbentur dengan berbagai kepentingan-kepentingan kelompok dan golongan. Kepentingan-kepntingan inilah yang masih menghambat majunya pendidikan di Indonesia. Betapa tidak, sementara ini kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pendidikan masih terkontaminasi kepentingan politik yang sangat menonjol. Dampak kebijakan pendidikan nasional yang dibuat pemerintah sering kali tak diperhitungkan jauh ke depan. Hal itu lebih karena kebijakan pendidikan nasional lebih didasarkan pada kepentingan politik pemerintah saat itu daripada untuk kepentingan pendidikan berkualitas bagi anak bangsa. “Karena pendidikan itu lebih bergantung pada struktur kekuasaan yang ada, maka kemajuan pendidikan bangsa ini juga sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah. Jika komitmen politik itu rendah, ya, pendidikan kita tidak akan berubah. Akan terus jauh ketinggalan dari negara-negara lain.

Kebijakan Pendidikan yang Ortodok-Elitis
Secara dikotomis karakter pendidikan dibagi menjadi dua bagian yakni pendidikan responsif / populistik dan pendidikan ortodoks/ konservatif/ elitis. Produk pendidikan responsif/ populistik adalah produk pendidikan yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok sosial dan individu-individu yang terdapat dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan sosial atau individu dalam masyarakat. Ini artinya bahwa peran besar masyarakat dalam menentukan pendidikan ke depan berpengaruh secara signifikan, sehingga dalam melakukan kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintah dan masyarakat saling berkomunikasi aktif, hasilnya akan terlihat bahwa peran kerja pemerintah akan secara langsung dibantu oleh masyarakat. Disinilah akan terjadi demokratisasi pendidikan. Sementara itu produk pendidikan konservatif/ ortodoks/ elitis lebih mencerminkan kepentingan elit politik, yakni menjadi alat pelaksanaan kekuasan negara secara politik.
Pada dikotomi yang kedua inilah akan mengubah pola pendidikan yang bersifat ekslusif, tidak membaca lebih dalam apa yang menjadi hasrat masyarakat, sehingga akan menimbulkan kebijakan pendidikan yang “mempribadi”. Kenyataan ini dapat dibuktikan secara konkrit bahwa setiap ada pergantian menteri maka akan berubah pula kebijakan yang ditetapkan, kita belajar sesuatu yang tidak dapat kita terapkan secara utuh sebab para pembuat kebijakan membuat kebijakan berdasar versi mereka, tidak mau mempertimbangkan hasil penelitian yang dilakukan LIPI misalnya. Contoh kongkrit lain misalnya Daud Yusuf pernah membentuk Tim Pembaharuan Pendidikan Nasional dengan ketua Prof. DR. Imam Santosa, namun hasil kerja tim pun diabaikan.
Disatu sisi, pendidikan untuk saat ini menjadi bahan diskusi para pakar pendidikan untuk bagaimana agar pendidikan Indonesia mampu bersaing dengan negara lain dalam hal mutu dan output yang dihasilkan. Namun pada sisi lain pendidikan menjadi rebutan partai-partai politik, sebagai alat untuk tawaran empuk kampanye agar partainya “laris”. Lebih ironis lagi hal ini akan berlanjut pada sistem kekuasaan pemerintah, yang dengan seenaknya mencampurkan kepentingan politik dengan kebijakan pendidikan. Ini lah yang penulis maksud dengan dikotomi pendidikan secara konservatif-ortodok-elitis. Di sini akan muncul kekaburan tujuan pendidikan, sementara itu masyarakat belum memahami bahwa kepentingan politik ini akan berdampak pada integritas pendidikan yang ada saat ini.
Secara teoritis tidak dapat kita pungkiri bahwa antara politik dan pendidikan tidak bisa dipisahkan, sebab pendidikan itu sendiri merupakan “hasil” dari politik pemerintah. Namun pada tataran praksis perbedaan politik dan pendidikan sangat signifikan, sehingga antara pendidikan praksis dan politik yang sarat dengan kepentingan kelompok dan golongan seharusnya berjalan sendiri-sendiri. Jika tidak, maka akan muncul pendidikan yang dilumuri oleh lumpur konspirasi politik, hasilnya sudah sangat jelas yaitu kebijakan pendidikan nasional yang lebih didasarkan pada kepentingan politik pemerintah saat itu daripada untuk kepentingan pendidikan berkualitas bagi anak bangsa.
Kuatnya kepentingan politik dalam kebijakan pendidikan nasional itu bukan saja bisa dilihat dari bergonta-gantinya kebijakan pendidikan setiap kali pemerintahan selesai. Ini mengingat, banyak kebijakan pendidikan pada tingkat nasional maupun lokal juga tidak didukung dari hasil penelitian di lapangan, yaitu dalam situasi pembelajaran di sekolah dan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan ujian nasional (UN) yang sampai sekarang masih kontroversial, menurut penulis, Ujian Nasional bukanlah kebijakan yang sangat strategis untuk peningkatan kualitas lulusan pendidikan di Indonesia. Namun, kebijakan itu terus dipaksakan tanpa melihat dampaknya jauh ke depan bagi proses pendidikan secara menyeluruh.

Kebijakan Ujian Nasional (UN) Bukan Sebuah Solusi
Berita yang menghebohkan dan mengejutkan beberapa hari yang lalu, adalah terdapat 19 SMA yang siswa kelas tiganya dinyatakan tidak lulus 100%, padahal sebagian dari SMA itu termasuk yang terpaforit. Berita ini tentu sangat menyedihkan sekaligus mencoreng inegritas dunia pendidikan Indonesia dimata internasional. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas peristiwa semacam ini? Pemerintah, masyarakat, pihak sekolah, atau para siswa? Sementara pihak mengkambing-hitamkan adanya oknum yang mengedarkan jawaban palsu melalui SMS kepada para siswa. Namun, perlu kita cermati bersama bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, dan peran pemerintah sangat dominan untuk mengarahkan sistem pendidikan yang to be excellent.
Selama ini, kebijakan-kebijakan pendidikan maupun praksis pendidikan masih didasarkan pada asumsi yang kurang jelas, bukan berdasarkan situasi belajar dan pembelajaran anak Indonesia. Pelaksanaan Kurikulum 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan upaya yang baik dalam pelaksanaan reformasi pendidikan di Tanah Air. Namun, sering kali pemerintah tidak juga belajar dari masa lalu, dengan mengambil kebijakan yang tergesa-gesa, tanpa persiapan. Seharusnya peluncuran suatu kurikulum baru perlu dilaksanakan dengan persiapan yang matang. Selain persiapan gurunya, juga sarana-sarana penunjang lainnya. Akan tetapi, seperti juga perubahan-perubahan kurikulum nasional sebelumnya, kedatangan KTSP ini merupakan suatu surprise sehingga menimbulkan kegamangan pada guru di lapangan. Dalam penyesuaian kurikulum dengan tuntutan lokal yang menjadi jiwa KTSP, ternyata soal muatan lokal hanya dialokasikan dua jam pelajaran. Seharusnya muatan lokal yang bukan dalam pengertian sempit itu merupakan roh dari keseluruhan KTSP. Dengan kata lain, seluruh mata pelajaran haruslah disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan.
Selain itu, jika KTSP diterapkan, maka secara otomatis ujian nasional (UN) harus ditiadakan, sebab jika kita kembali kepada ruh KTSP yang meniscayakan otonomisasi pendidikan maka tentu setiap daerah memiliki spesifikasi yang berbeda-beda sesuai dengan kecendrungan budaya dan letak geografisnya. Oleh karena itu menurut penulis seharusnya kebijakan Ujian Nasional dirubah menjadi kebijakan daerah (local policy), dalam arti bahwa setiap daerah (provinsi) dibebaskan untuk membuat kebijakan dalam menentukan ujian akhir termasuk standar pembuatan soal, tanpa harus ada campur tangan pemerintah pusat secara langsung. Pemerintah dalam hal ini sebatas mengawasi dan mengarahkan pelaksanaan serta standar nilai yang dipakai. Jika hal ini dapat terlaksana, maka menurut penulis disatu sisi, tentunya akan sesuai dengan ruh KTSP, dan di sisi lain peristiwa yang mencoreng dunia pendidikan di Indonesia seperti 19 SMA yang 100 % siswanya tidak lulus, tidak akan pernah terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar