FORMULASI PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA
(Belajar Pada al-Qur’an)
Oleh: Hayatul Islami
Key Word: al-Qur’an, Formulasi, dan Karakter bangsa
A.
Penduhuluan
Manusia merupakan makhluk
bidimensional (dua dimensi). Ia diciptakan Tuhan dari debu tanah dan ruh
Illahi. Debu tanah membentuk jasmaninya, sedangkan ruh Illahi yang
dihembuskan-Nya itu melahirkan daya nalar, daya kalbu, dan daya hidup. Dengan
membina jasmani, lahirlah keterampilan; dengan mengasah daya nalar, maka muncul
kemampuan ilmiah; sementara dengan mengasah daya kalbu, akan melahirkan antara
lain iman dan moral yang terpuji. Sementara dengan menempa daya hidup ,
terciptalah semangat menanggulangi setiap tantangan yang di hadapi (Quraish
Shihab, 2011: 713). Jati diri manusia akan terlihat sempurna jika manusia mampu
melakukan penembangan daya-daya yang telah dianugerahkan Tuhan itu.
Sejarah sebelum lahirnya Islam telah
menuturkan masa silam yang begitu muram. Yakni masa Jahiliyyah: the time
arrogant ignorance before Islam (Ibnu Arabi, 1980: 206). Perkosaan,
perjudian, mabuk-mabukan, perampokan, pembunuhan bayi perempuan merupakan
realitas yang sudah mengakar dan menjadi tradisi yang sudah begitu lekat hingga
sulit dilepaskan. Manusia pada saat itu tidak lagi menggunakan daya pikir, alih-alih
menggunakan daya kalbu sebagai titipan Tuhan. Hal ini mungkin terlihat wajar
sebab memang belum muncul petunjuk bagi mereka untuk menggunakan dua dimensi
(ruhani dan jasmani) yang dititipkan Tuhan itu.
Hingga pada akhirnya al-Qur’an turun
sebagai sebuah solusi transenden-humanis dalam merubah dan memperbaiki tradisi
masyarakat yang begitu kering dimensi spiritual dan gersang kesadaran
sosial-kultural. Wahyu akhirnya turun sebagai suatu problem-solver,
setelah Muhammad melakukan perenungan sosial dan pergulatan batin mencapai
klimaks dengan turunnya wahyu yang menggetarkan: Iqra! (Q.S.
al-‘Alaq:1-5).
Disatu sisi, kata Iqra’
merupakan sebuah solusi sosial. Dalam konteks bahasa Arab kata ini mencakup
segala sesuatu yang bisa dijangkaunya (Quraish Shihab, 1996: 434). Disamping
itu, kata iqra’ juga mengandung makna yang luas dan multi tafsir
(pluralitas-interpretatif). Hal ini mengindikasikan bahwa kata Iqra’ tidak
melulu diartikan sebagai “perintah membaca” seperti makna tekstualnya. Iqra’
dapat direduksi dalam bentuk interpretasi lain seperti: Telaahlah,
analisislah, kajilah, pelajarilah, telitilah, pandanglah, dan seterusnya. Sementara
tidak disebutnya objek yang dibaca dalam ayat ini menjadikan jangkauan “bacaan”
begitu luas selama bacaan itu bermanfaat bagi manusia (Quraish Shihab, 1996:
433)
Pada sisi yang berbeda, kalimat bi
ismi rabbik menunjukkan sejauh manapun manusia menelaah, tetap harus kembali kepada
Tuhan. Ini artinya bahwa di dalam membaca atau menelaah apapun, manusia harus
selalu mengikut-sertakan Tuhan sebagai kontrol bathin dan pembentuk akhlak
(moral). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa manusia yang baik adalah
manusia yang mampu mengasah intelektualnya (akal) dengan belajar (pendidikan)
dan juga mengisi moralnya (hati) dengan selalu mengingat dan merasakan
kehadiran Tuhan. Dalam bahasa lain, inilah yang dinamakan pendidikan karakter
yakni proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual, emosional,
dan spiritual (Khurshid Ahmad, 1958: 9).
Jika kita bercermin pada kondisi bangsa kita
saat ini, kita akan menemukan suatu bangsa yang sangat kering akan nilai-nilai
akhlak. Sehingga banyak kita temui orang-orang pintar tapi sayang tidak benar.
Banyak sekali orang yang “berpendidikan” dengan karakter dan watak sosial yang
tidak “berpendidikan”. Jika demikian kenyataannya, apa yang salah dengan
pendidikan di negeri ini?
Oleh karena itu, tulisan singkat ini
akan mencoba untuk menawarkan beberapa solusi mengenai sistem pendidikan yang
berlandaskan pada penanaman karakter bagi peserta didik sehingga mampu
menciptakan karakter bangsa yang lebih “ber-akhlak”, tentunya dengan
melandaskannya kepada solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an.
B.
Pendidikan Karakter: Sebuah Landasan Ontologis
Pada prinsipnya pendidikan karakter
memiliki makna yang lebih tinggi dan luas dari pendidikan moral, sebab
pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah belaka,
tapi lebih luas bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal
yang baik (shalih) dalam kehidupan, sehingga muncul kesadaran dan
pemahaman yang tinggi serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Wynne (1991) seperti yang
dilansir oleh E. Mulyasa mengemukakan bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani
yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana
menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.
Oleh sebab itu orang yang berperilaku tidak jujur, curang, kejam, dan rakus dikatakan
sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya yang berkelakuan baik, jujur,
dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter baik/mulia (E.
Mulyasa, 2011: 3).
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara
bermoral, yang terwujud dalam tindakan nyata melalui perilaku jujur, baikk,
bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia
lainnya. Dalam konteks pemikiran Islam, karakter berkait erat dengan iman dan
ikhsan. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Aristoteles, bahwa
karakter erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasan yang terus-menerus
dipraktikkan dan diamalkan (E. Mulyasa, 2011: 3).
Dirjen Pendidikan Agama Islam,
Kementerian Agama Islam R.I (2010) mengungkapkan bahwa karakter dapat diartikan
sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi pada perilaku individu yang bersifat unik,
dalam pengertian secara khusus ciri-ciri
ini membedakan antara satu individu dengan individu lainnya. Meskipun unik dan
bersifat personal, karakteristik umum yang menjadi stereotip dari sekelompok
masyarakat dan bangsa dapat diidentifikasi sebagai karakter suatu komunitas
tertentu atau bahkan dapat pula dipandang sebagai karakter suatu bangsa.
Pada satu sisi, istilah karakter
berkaitan erat dengan personality (kepribadian) sesorang. Namun pada
sisi yang berbeda, kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin seseorang yang
telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai-nilai
karakter. Hal ini dimungkinkan karena boleh jadi perbuatan tersebut dilandasi
oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan
nilai-nilai karakter. Seperti seseorang yang berbuat jujur karena takut dinilai
oleh orang lain atau lingkungannya. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter
diperlukan aspek perasaan (emosi), inilah yang dalam bahasa agama disebut Ikhlash,
yang oleh Likona (1992) disebut “desiring the god” keinginan untuk
melakukan kebajikan (E. Mulyasa, 2011: 4).
Dalam mewujudkan nilai-nilai
karakter dalam kepribadian perlu menekankan tiga komponen (components of
good character) penting yakni; moral knowing atau pengetahuan
tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral
action atau tindakan moral. Menurut Ratna Megawangi (2004) seorang pencetus
pendidikan karakter di Indonesia, paling tidak ada sembilan pilar karakter
mulia yang selayaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, baik di
sekolah maupun di luar sekolah;
1.
Cinta
Allah dan kebenaran
2.
Tanggung
jawab, disiplin, dan mandiri
3.
Amanah
4.
Hormat
dan santun
5.
Kasih
sayang, peduli, dan kerja sama
6.
Percaya
diri, kretif, dan pantang menyerah
7.
Adil
dan berjiwa kepemimpinan
8.
Baik
dan rendah hati
9.
Toleran
dan cinta damai
Secara teoritik pada prinsipnya
dalam perspektif Islam, pendidikan karakter sebenarnya telah ada sejak Islam
hadir di dunia sekitar 14 abad silam. Hal ini muncul seiring di utusnya Rasul
SAW untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak (karakter) manusia: إنمابعثت
لأتمم مكارم الأخلاق “sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak”. Bahkan Rasul itu sendiri adalah manusia yang paling agung
akhlaknya sehingga beliau dijadikan sebagai contoh (uswatun hasanah)
untuk semua manusia.
Ajaran Islam sendiri
mengandung sistematika ajaran yang tidak hanya menekankan pada aspek keimanan,
ibadah, dan mu’amalah belaka, namun juga berdasar pada akhlak mulia. Pengamalan
ajaran Islam secara utuh (kaffah) merupakan model karakter seorang
muslim. Bahkan hal ini dipersonifikasikan dengan model karakter Nabi Muhammad
SAW, yang memiliki sifat Shidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah (STAF).
C.
Al-Qur’an dan Pembentukan Karakter
Pendidikan Islam, bagi sementara
orang belum menemukan konsep yang jelas. Hal ini tercermin dari rujukan yang
dipakai masih terjadi tarik-ulur anatara konsep Barat di satu sisi dan konsep
al-Qur’an pada sisi yang berbeda, yang lebih ironis adalah tidak jarang terjadi
pemaksaan “islamisasi” pendidikan Barat dengan konsep al-Qur’an. Secara
signifikan pendidikan Islam seharusnya mencakup nilai al-Qur’an dalam teori dan
aplikasinya. Yusuf Qaradhawi menjelaskan bahwa: “pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia seutuhnya baik akal maupun hati; rohani dan jasmani; akhlak
dan keterampilan. Sebab pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup , baik
dalam perang dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan
dsn kesejahteraannya, manis dan pahitnya (Yusuf Qaradhawi, 1980: 39).
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa pendidikan Islam seharusnya merupakan pendidikan yang bergerak “dari
dalam ke luar” yakni pendidikan yang bertumpu pada pembentukan karakter (character
building) pada setiap individu yang akan secara dinamis bergerak membentuk
karakter kelompok, jama’ah, dan umat. Pendidikan ini dalam Islam disebut
sebagai pendidikan akhlak.
Melalui al-Qur’an, Allah selalu
menargetkan kondisi makarim al-akhlaq (akhlak terpuji) dalam
pencapian target pendidikan. Ada banyak ayat al-Qur’an yang membahas konsep
pencapaian akhlak terpuji ini, diantaranya; Q.S. al-Baqarah: 282, Q.S. an-Nisa:
19, Q.S. al-A’raf: 31, Q.S. Yunus: 101, Q.S. al-Ahqaf: 15, Q.S. an-Nahl: 90,
Q.S. al-Isra: 26, Q.S. an-Nur: 27, Q.S. al-Muthaffifin: 1-3 dan seterusnya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa
konsep al-Qur’an tentang pendidikan lebih mengedepankan pendidikan akhlak
(karakter). Selain itu, al-Qur’an melalui konsep ini menedaskan bahwa the
first foundation of education adalah konsep penyempurnaan spiritualitas (spiritual
quotient). Setelah fondasi ini menghujam kuat, maka konsep kematangan emosi
menjadi tahapan selanjutnya, hal ini akan berlanjut sampai tahapan pencapaian
kecerdasan emosi maksimal (Emotional Quotient). Pada tahapan terakhir
adalah pengasahan kecerdasan intelektual (Intelektual Quotient).
Oleh sebab itu, sebenarnya sejak
awal al-Qur’an dengan universialitas dan kompleksitasnya sudah
membawa-memuat-menawarkan konsep pendidikan karakter yang sangat rasional dan
mudah dipahami. Namun kita sering terjebak pada supremasi teks belaka,
sementara nilai-nilai yang terkandung di dalam teks tersebut jarang sekali
teraktualisasikan (Emha Ainun Nadjib, 1992: 108).
Selama ini kita sering “terbuai”
oleh konsep pendidikan Barat yang hanya berorientasi pada kecerdasan
intelektual belaka (intellectual minded) dan kering akan nilai-nilai
kecerdasan spiritual. Bersamaan dengan itu ditemukannya faktaneka keilmuan yang
berhasil mereka maklumatkan dalam basis keilmuan. Disamping itu bentuk konkrit
dari konsep ini telah memunculkan kemajuan teknologi yang menyebabkan manusia
lebih mudah dalam “menguasai” atau bahkan mengeksploitasi dunia, yang pada
kelanjutannya akan membuat hancurnya peradaban manusia.
Pendidikan
yang intellectual minded sudah sangat pasti melahirkan generasi yang
berorientasi pada duniawi. Maka tidak heran jika masih banyak koruptor yang
berkeliaran di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Bangsa
kita ini sudah mengalami sindrom kegamangan karakter. Hal ini tidak lain karena
adanya disconnecting idea antara agama dan realitas.
Oleh karena itu, pendidikan karakter
yang ditawarkan al-Qur’an perlu direalisasikan dengan segera, sebelum
persoalan-persoalan sosiologis lainnya bergerak ke arah kerumitan teoritis yang
lebih kompleks. Pendidikan karakter atau dalam istilah lain dikenal sebagai
pengembangan karakter (character building), sebagaimana dalam konsep
al-Qur’an, dititik beratkan pada internalisasi ranah spiritual (Spiritual
Internalization), penguatan nilai emosional (emotional values
empowering), penalaran intelektual (intellectual empowering) dan
penjabaran sosial (socialization).
Ketiga hal ini tentu saja berangkat
dari konsep yang sudah diajarkan oleh al-Qur’an 14 abad silam. Spiritual
Internalization atau tauhid (Q.S. al-Ikhlash: 1-4), emotional values
empowering atau tadzhibu al-akhlaqi (seperti dalam Q.S. al-Hujurat: 2),
penalaran intelektual atau intellectual empowering (Q.S. al-‘Alaq: 1-5),
dan penjabaran sosial atau socialization (Q.S. Fushilat: 33). Ini semua
berangkat dari al-Qur’an.
Dengan kenyataan seperti ini, sudah barang
tentu kita harus kembali merujuk kepada al-Qur’an untuk membentuk pendidikan
karakter yang memang sudah sangat kering terasa di negeri ini. Al-Qur’an dengan
sangat tegas memberikan solusi yang nyata kepada kita untuk mengembangkan
kesadaran spiritual, emosional, dan intelektual yang tidak hanya sekedar
bergerak pada tataran teori namun “menguap” pada kenyataan sosial dalam
lingkungan masyarakat bahkan juga dapat dirasakan oleh makhluk Allah yang lain.
Inilah yang sering disebut sebagai Islam yang rahmatan lil ‘Alamin.
D.
Dari al-Qur’an Menuju Bangsa yang Berkarakter
1.
Konsep Bangsa dalam al-Qur’an
Berbicara mengenai bangsa yang
berkarakter dalam perspektif al-Qur’an, menurut penulis, ada baiknya terlebih
dahulu kita menggaris bawahi dua hal yang sangat urgen dalam kaitannya dengan
bangsa yang berkarakter.
Pertama, di dalam al-Qur’an tidak ditemukan uraian, bahkan kata yang
menyangkut “bangsa”, sebab, kata bangasa dalam pengertian modern, belum dikenal
pada masa turunnya al-Qur’an. Paham kebangsaan baru popular di Eropa pada abad
ke-18 dan baru dikenal dan popular di kalangan umat Islam setelah kehadiran
Napoleon di Mesir sekitar tahun 1798 M (Quraish Shihab, 2011: 691).
Sejarah menuturkan bahwa saat itu,
Napoleon Bonaparte bermaksud menyingkirkan kekuasaan mamalik atau disebut juga
Dinasti Mamluk (Samsul Munir Amin, 2009: 279), untuk itu ia menonjolkan bahwa
Mamalik adalah orang-orang Turki, yang berbeda asal keturunannya dengan
orang-orang Mesir. Pada saat itulah muncul dan dipopulerkannya istilah al-Ummah
al-Mashriah dalam pengertian “Bangsa Mesir”.
Kedua, kendatipun uraian mengenai
kebangsaan tidak dijumpai dalam al-Qur’an, namun ini bukan berarti al-Qur’an
menentang paham kebangsaan, sebab betapapun terjadi perdebatan (debatable)
pendapat yang berbeda-beda di kalangan para pakar tentang unsur-unsur yang
harus dipenuhi untuk lahirnya satu bangsa, namun tidak satu unsur pun yang
disebut-sebut sebagai unsur kebangsaan, yang dimungkiri atau bertentangan
dengan tuntunan al-Qur’an.
Pilihan kata أمّة Ummat (umat dalam bahasa Indonesia) untuk menunjuk “bangsa”,
seperti yang telah disebutkan di atas, tidaklah meleset, sebab kata itu merujuk
kepada: semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama,
waktu atau tempat yang sama , baik penghimpunnya secara terpaksa, maupun atas
kehendak bersama (al-Ishfahani, 1998: 33). Dan seperti yang diketahui untuk
lahirnya suatu bangsa dioerlukan adanya sekian banyak kesamaan kesamaan yang
terhimpun pada satu kelompok manusia, misalnya kesamaan cita-cita, sejarah,
wilayah, dan boleh jadi juga bahasa, asal-usul dan lain sebagainya.
Dalam al-Qur’an kata ummat
ditemukan terulang dalam bentuk tunggal sebanyak lima puluh dua kali dan
dalam bentuk jamak sebanyak dua belas kali. Menurut ad-Damigany seperti yang
dilansir oleh M. Quraish Shihab ada Sembilan arti yang menyangkut kata ini
yakni; kelompok, cara dan gaya hidup, tahun-tahun yang panjang atau waktu yang
panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Muhammad (umat Islam), orang-orang
kafir secara khusus, dan makhluk yang dihimpun atas dasar adanya persamaan
(Quraish Shihab, 2011: 694, lihat juga, ad-Damigany, 1985, cet. 5: 42-43).
Meskipun terjadi banyak
perbedaan mengenai makna kata ummat, namun dapat ditarik benang merah
untuk menghimpun makna-makna yang berbeda tersebut yakni “himpunan”. Sementara
itu menurut penulis yang paling wajar dinamai ummat dari seluruh umat
kelompok/himpunan apa pun dari umat manusia adalah umat Nabi Muhammad SAW, yang
memang telah disiapkan Allah untuk menjadi khaira Ummat (lihat, Q.S.
Ali-Imran [3]: 110).
Atas dasar inilah penulis
berupaya menggali pandangan al-Qur’an tentang karakter bangsa yang unggul atau
bangsa yang berkarakter yakni yang bertitik tolak pada kata ummah. Dari
sini jugalah tentunya kita secara tamatik dapat meraba persolan tersebut
melalui ayat yang berbicara dalam konteks tuntunan Allah kepada kaum Mukmin
bahkan sampai pada keluarga dan individu-individu Muslim, sebab benih lahirnya
suatu bangsa muncul dari individu dan keluarga.
2.
Wawasan al-Qur’an Tentang Bangsa yang Berkarakter
Karakter sangat berbeda
dengan tempramen. Tempramen merupakan corak reaksi terhadap berbagai rangsangan
dari luar maupun dari dalam dirinya. Ia sangat erat kaitannya dengan kondisi
bio-psikologiss eseorang sehingga sangat sulit untuk diubah, sebab ia
dipengaruhi oleh unsur hormonyang sifatnya biologis. Sementara karakter
terbentuk dari perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun melalui pengetahuan,
pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Dalam kajian agama inilah
yang dinamai rusyd. Ia bukan hanya sekedar nalar, namun gabungan antara
nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa (Quraish Shihab, 2011: 714).
Karakter terpuji merupakan
hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang
ditandai oleh sikap dan perilaku yang positif. Jika hal ini dikaitkan dengan
sebuah negara, maka dapat dikatakan bahwa negara yang berkarakter adalah sebuah
negara dimana tingkat kesadaran spiritual (agama), kesadaran moral, dan sikap
humanis penduduknya terlihat jelas dalam perjalanan kehidupannya, hal ini
ditandai dengan tingkat pelanggaran-pelanggaran dan penyimpangan-penyimpangan baik
terkait agama, sosial dan budaya termasuk perilaku pribadi menunjukkan grafik menurun
pada setiap tahunnya, bahkan tidak menutup kemungkinan grafik itu akan
menghilang sehingga muncul bangsa (ummat) dan negara yang dalam al-Qur’an diidentifikasi
sebagai balddatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Sejurunya kita tidak bisa mengidentifikasi
secara pasti dan objektif ciri dari karakter terpuji atau bangsa yang
berkarakter, karena memang karakter terpuji itu sulit untuk dibatasi. Oleh
sebab itu, dalam uraian berikut ini penulis akan mencoba mengelaborasi sebagian
dari ciri-ciri bangsa yang berkarakter yang penulis lansir dari pendapat Prof.
Quraish Shihab. Menurutnya, diantara ciri bangsa yang berkarakter itu adalah
(M.Quraish Shihab, 2011: 696-711);
Pertama, Kemantapan Persatuan. Al-qur’an dengan tegas mengingatkan
perlunya persatuan dan kesatuan, seperti yang disebutkan dalam Surah al-Anfal
[8]: 46. “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang yang sabar”.
Persatuan dan kesatuan ini
tidak harus melebur perbedaan agama atau suku yang hidup di tengah bangsa. Hal
ini dapat kita perhatikan dalam perjanjian Nabi Muhammad dengan orang-orang
Yahudi ketika beliau baru saja sampai di Madinah. Salah satu butir perjanjian
itu menyebutkan; “Dan sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Bani ‘Auf
merupakan satu umat bersama orang-orang Mukmin, bagi orang-orang Yahudi agama
mereka dan bagi orang-orang Muslim agama mereka juga. (Abdul Malik Ibn
Hisyam, t.th: 34).
Kedua, Adanya
nilai-nilai luhur yang disepakati. Untuk memantapkan dan mewujudkan persatuan
dan kesatuan diperlukan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup bangsa dan
menjadi pegangan bersama. Dalam kaitan ini al-Qur’an menegaskan dalam surah
al-An’am [6]: 108.
Artinya:
dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan, demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka, kemudian kepada tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Ayat ini memberikan kesan
bahwa setiap umat mempunyai nilai-nilai yang mereka anggap indah dan baik. Atas
dasar nilai-nilai itulah mereka bersatu, mengarah, dan melakukan aktivitas, dan
atas dasar ini jugalah mereka menilai pandangan pihak lain, apakah dapat mereka
terima atau mereka tolak. Dari sini dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri
bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang memiliki pandangan hidup berdasar
nilai-nilai luhur yang langgeng.
Ketiga, kerja
keras, disiplin, dan penghargaan kepada waktu. Perintah al-Qur’an kepada umat
manusia agar beramal saleh serta pujian terhadap mereka yang aktif
melakukannya, demikian juga penghargaan kepada waktu bukanlah satu hal yang
perlu dibuktikan (Quraish Shihab, 2011:700). Dalam al-Qur’an surah al-Isra’
[17]: 19 Allah menjelaskan; “Dan banrang siapa yang menghendaki kehidupan
akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah
mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usaha mereka disyukuri”.
Menurut Quraish Shihab,
kata “yang usaha mereka disyukuri’’ yakni yang terpuji adalah yang visinya jauh
ke depan mencapai akhirat, percaya kepada Allah, dan keniscayaan akhirat serta
berusaha secara sungguh-sungguh.
Keempat, Kepedulian
yang tinggi. Sebab keunggulan umat Muhammad di jelaskan oleh Allah salah
satunya dalam al-Qur’an Surah Ali Imran [3]: 110: “Kamu adalah umat yang
terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah diri dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.
Ayat ini ingin
menyampaikan bahwa keunggulan umat Islam disebabkan oleh kepedulian mereka
terhadap masyarakat secara umum, sehingga mereka tampil melakukan kontrol
sosial, menganjurkan melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran disertai
keimanan kepada Allah.
Kelima, Moderasi
dan keterbukaan. Ciri berikutnya dari bangsa yang berkarakter menurut al-Qur’an
adalah moderat dan terbuka. Al-Qur’an mengidentifikasi umat Islam sebagai ummatan
washatan, seperti yang dijelaskan oleh Surah al-Baqarah [2]: 143: “Demikian
itu, kami jadikan kamu ummatan washata agar kamu menjadi saksi/disaksikan oleh
manusia dan Rasul menjadi sakasi atasmu/disaksiakan olehmu”.
Kata washata dapat
diartikan moderat/ posisi tengah (la syarqiyah wa la gharbiyah). Hal ini
mengundang umat Islam berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak
(agama, budaya, peradaban) karena bagaimana mereka dapat menjadi saksi atau
berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan
perkembangan global.
Keenam, Kesediaan
berkorban. Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 213 lalah menegaskan: “Manusia adalah
umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemeberi kabar gembira
dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”.
Menurut Shihab, ayat ini
antara lain berbicara tentang kesatuan umat (Quraish Shihab, 2011: 707).
Manusia masih menurutnya, disamping memiliki banyak kebutuhan yang tidak
terpenuhi tanpa kerja sama, juga memiliki ego yang selalu menuntut agar
kebutuhannya selalu bahkan keinginannya terpenuhi. Hal ini dapat menimbulkan
perselisihan, untuk menghindari itu maka setiap orang harus mengorbankan
tuntutan egonya guna kepentingan pihak lain. Pengorbanna inilah yang akan
memunculkan benih akhlak mulia.
Ketujuh, Ketegaran serta keteguhan menghadapi aneka rayuan dan
tantangan. Terkait masalah ini Allah dalam al-Qur’an Surah an-Nahl [16]: 92
dengan tegas menegaskan ketegaran ini.
“Artinya:
Dan janganlah kamu menjadi seperti wanita yang mengurai tenunannya yang sudah
dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai; kamu menjadikan sumpah kamu sebagai
penyebab kerusakan di antara kamu, disebabkan adanya satu umat yang lebih
banyak dari umat yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengannya.
Dan pastilah di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu
kamu perselisihkan”.
Dalam konteks ajaran Islam
ayat ini mengingatkan kaum Muslim agar jangan memihak kepada kelompok musyrik
atau musuh Islam, sebab mereka lebih banyak dan lebih kaya dari pada kelompok
muslim. Tuntunan ini menekankan bahwa kaum muslim harus tegar, tidak
mengorbankan harga dirinya tau nilai-nilai yang dianutnya untuk meraih
kemuliaan duniawi. Dalam arti lain bahwa bangsa yang berkarakter tidak akan
bertekuk lutut menghadapi tantangan apapun kendati mereka secara fisik sudah
terkalahkan (Quraish Shihab, 2011: 710).
E.
Kesimpulan
Tawaran dari wahyu untuk membentuk
karakter pribadi dan bangsa harus menjadi pilihan awal bagi umat manusia
khususnya Islam, utamanya pada masa sekarang ini. Ide-ide transenden wahyu
perlu diterjemahkan pada sektor yang lebih humanis, sehingga wahyu tidak hanya
menjadi alat untuk panduan ibadah formal. Termasuk dalam kaitan ini adalah ide
dasar (konsep) pendidikan karakter. Menurut penulis kita masih sering terbuai
pada konsep pendidikan ala Barat yang kering akan tuntunan spiritual dan
moral.
Melalui al-Qur’an, Allah selalu
menargetkan kondisi makarim al-akhlaq (akhlak terpuji) dalam
pencapian target pendidikan. Pendidikan akhlak/karakter yang diajarkan oleh
al-Qur’an 14 abad silam meliputi empat ranah yakni: Spiritual
Internalization atau tauhid (Q.S. al-Ikhlash: 1-4), emotional values
empowering atau tadzhibu al-akhlaqi (seperti dalam Q.S. al-Hujurat:
2), penalaran intelektual atau intellectual empowering (Q.S. al-‘Alaq:
1-5), dan penjabaran sosial atau socialization (Q.S. Fushilat: 33). Ini
semua berangkat dari al-Qur’an.
Untuk itu, kita perlu menjadikan
al-Qur’an sebagai pedoman konsep pendidikan karakter untuk keindahan akhlak
individu maupun karakter bangsa. Disamping itu pendidikan karakter perlu
digagas sebagai arah baru paradigma pendidikan kita. Pendidikan karakter yang
dalam al-Qur’an secara tersirat dikatakan sebagai sebuah tuntutan perennial perlu segera di aktualkan. “Dari al-Qur’an
Menuju Bangsa yang Berkarakter”. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
malik Ibn Hisyam, t.th, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Dar al-Jil.
Al-Isfahani,
1998, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’rifat.
Dede
Rosyada, 2007, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana,
E. Mulyasa,
2011, Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi Aksara.
Emha
Ainun Nadjib, 1994, Indonesia Bagian dari Desa Saya, Yogyakarta: SIPRES.
Hasbullah.
2007, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Khurshid
Ahmad, 1958, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam. terj. M. Hasheem,
Bandung: Mizan.
M.
Quraish Shihab, 2003, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
, 2011, Membumikan al-Qur’an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam
Kehidupan, Jakarta: Lentera Hati.
Ratna
Megawangi, 2004, Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun
Bangsa, Jakarta: BP Migas dan Star Energy.
Yusuf
Qaradhawi, 1980, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj.
Bustami A. Ghani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang.