Halaman

Selasa, 19 Juni 2012

Asbabul Wurud


ILMU ASBABUL WURUD


A.  Pendahuluan
Hadis merupakan sumber utama hukum Islam disamping al-Qur'an. Pada hakikatnya ada dua fungsi hadis, pertama hadis berfungsi sebagai sumber hukum Islam. kedua, hadis juga berfungsi sebagai penjelas ­(bayyin) terhadap al-Qur'an. Oleh karenanya, hadis merupakan "mitra" al-Qur'an dalam mengarahkan dan memberikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat kelak. Dari dua fungsi di atas, maka hadis dalam kehidupan umat Islam perlu difahami secara komprehensif agar kedua fungsi di atas dapat terealisasi secara signifikan.
Sejalan dengan al-Qur'an, dalam memahami hadis juga perlu memahami  beberapa perangkat ilmu ('ulu>m al-H{adi>s\), sebagai salah-satu alat bantu dalam pemahaman hadis. Tujuannya adalah agar pemahaman terhadap hadis tidak terjebak pada pemahaman yang saklek atau tekstual. Salah satu ilmu yang perlu dipahami adalah ilmu asba>b wuru>d al-h}adi>s\. Tidak berbeda dengan al-Qur'an (ilmu asba>b al-nuzu>l), ilmu asba>b al-wuru>d juga mempelajari atau memahami tentang sebab-sebab dikeluarkannya sebuah hadis. Karena itu, dengan memahami ilmu ini maka akan sangat membantu dalam mengetahui kondisi sosio-historis sebuah hadis.
Makalah ini akan menjelaskan tentang ilmu asba>b wuru>d al-h}adi>s\, mulai dari pemgertian sampai pada nilai-nilai pendidikan yang dapat dipetik dari ilmu ini. Semoga makalah singkat ini nantinya dapat dijadikan bahan diskusi yang menarik. Amin.

B.   Pengertian Ilmu Asba>b Wuru>d al-H{adi>s\
Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa pengertian asba>b al-wuru>d  sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian asba>b al-nuzu>l, bedanya hanya terletak pada objeknya. Jika asba>b al-wuru>d objeknya adalah al-h}adi>s\ maka asba>b al-nuzu>l objeknya adalah al-Qur'an. Namun secara sederhana ilmu asba>b al-Wuru>d dikatakan sebagai ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbul atau munculnya hadis.[1]
Secara etimologi (bahasa), kata asba>b adalah bentuk jamak dari kata sabab, dalam kamus lisa>n al-'Arab kata ini dimaknai dengan arti "saluran" atau bisa juga dikatakan segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya. Sementara bagi ahli bahasa mengartikannya sebagai sesuatu yang mengantarkan pada sebuah tujuan.[2] Sementara kata wurud  secara harfiah dapat diartikan "sampai atau muncul", namun disamping itu ada juga yang memaknai lain. Menurut ahli bahasa bahwa kata ini dapat juga berarti air yang memancar atau mengalir.[3]
Pada pengertian lain yang hampir senada dengan pengertian di atas, bahwa ilmu asba>b wuru>d al-h}adi>s\  adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi saw. menuturkan sabdanyadan masa-masanya Nabi menuturkan. Ilmu asba>b wuru>d al-h}adi>s\ ini menitik beratkan pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya hadis.[4]
Ilmu ini sangat terkait erat dengan ilmu tarikh al-Mutu>n sebab, ilmu tarikh al-Mutu>n menitik beratkan pembahasanya pada kapan atau di waktu apa hadis itu di-wurud-kan. Mengetahui latar-belakang atau peristiwa yang melatar belakangi wurud-nya hadis sangatlah penting, karena akan dapat membantu untuk memahami makna yang terkandung dalam hadis secara sempurna. Karena  mengetahui sebab dapat mengetahui musabab (akibat).[5]
Dari beberapa pengertian di atas, secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa pengertian ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\ adalah; ilmu yang mempelajari tentang sebab-sebab atau peristiwa-peristiwa yang melatar-belakangi munculnya sebuah hadis. Dengan demikian, maka urgensi ilmu ini terhadap pemahaman sebuah hadis sangatlah urgen, sebab disatu sisi kita akan mengetahui peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi munculnya sebuah hadis, dan kita juga pada sisi lain akan mengetahui apa dan kepada siapa sebuah hadis itu ditujukan, apakah untuk manusia secara umum atau untuk individu.
Namun, senada dengan al-Qur'an, bahwa sebagian hadis ada yang dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh sebab tertentu, dan sebagian lagi didahului oleh sebab tertentu. Oleh karenanya, tidak semua hadis Nabi memiliki asba>b al-Wuru>d, sehingga tidak semua hadis Nabi dapat dipahami melalui pendekatan ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\  ini. Namun demikian bukan berarti bahwa akan mengurangi ketelitian dalam memahami sebuah hadis.

C.   Urgensi Ilmu Asba>b Wuru>d al-H{adi>s\
Setelah kita membahas penegrtian dari ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\, selanjutnya akan dibahas tentang urgensi dari ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\. Namun sebelum kita membahas tentang urgensi ilmu ini, sesungguhnya ilmu asba>b wuru>d memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu hadis lain, diantaranya adalah ilmu nasikh dan mansukh. Menurut DR. Muhammad 'Ajaj al-Khatib, bahwa ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\ sangatlah memiliki keterkaitan yang urgen dengan pembahasan nasikh dan Mansukh. Sebab menurutnya, mengetahui hubungan antar hadis dapat membantu mengetahui yang datang lebih dahulu dan yang datang kemudian, sehingga mudah untuk mengetahui nasikh dan mansukh, oleh karenanya para ulama disamping menulis kitab tentang asba>b al-Nuzu>l mereka juga menulis kitab tentang asba>b wuru>d al-H{adi>s\.[6]
Diantara urgensi ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\  diantaranya adalah;

1.      Untuk menyibak hadis yang bermuatan norma hukum, utamanya lagi hukum sosial. Sebab, hukum dapat berubah karena perubahan atau perbedaan sebab, situasi dan 'illat. Sebagai contoh misalkan ada hadis yang berbunyi. Artinya: "Tidak baik berpuasa bagi orang yang bepergian". Tanpa mengetahui sebab timbulnya hadis ini maka hadis ini tidak dapat diterima karena bertentangan dengan al-Qur'an yakni surah al-Baqarah ayat 185, bahwa musafir, orang sakit, dan orang "tua" boleh meninggalkan puasa Ramadhan. Tetapi puasa lebih baik jika mereka mengetahi, jadi bagi musafir berpuasa lebih baik daripada meninggalkannya.[7]
Sementara dalam hadis itu, bagi musafir lebih baik tidak berpuasa. Dalam hal ini terlihat adanya pertentangan. Namun sebenarnya hadis ini muncul ketika dalam suatu perjalanan dalam bulan Ramadhan, Rasul melihat seorang sahabat merasa kepayahan karena panasnya padang pasir. Menyaksikan hal ini lalu Rasul memberikan solusi; "Tidak baik bagi orang yang bepergian melaksanakan puasa". Dengan mengetahui asba>b wuru>d  kita tidak akan mengatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan al-Qur'an, namun kita akan memahami bahwa hukum hadis ini akan dapat dilaksanakan dalam situasi yang sama dengan situasi pada saat turunnya hadis.[8]
2.      Untuk mengetahui konteks sosial dan budaya atau setting sosial ketika hadis itu muncul. Hal ini sangat diperlukan sebab, dengan ini kita akan mampu memahami hadis Nabi secara lebih tepat.[9]
3.      Dalam pemahaman ulama ushul fikih, ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\ sangat membantu mereka dalam menentukan nash yang qat}'i dan yang z}anni. Nash yang pemahamannya hanya satu atau sudah sangat jelas tidak lain adalah pemahaman  qat}'i, sementara nash yang pemahamannya terdapat keragaman atau terdapat kemungkinan lain dari pemahamannya, maka hal ini disebut z}anni. Sehingga nantinya mereka sampai pada kesimpulan bahwa nash-nash keagamaan atau hadis itu ada yang jelas (wa>d}ih})  dan ada juga yang tidak jelas (gairu wa>d}ih}). Ilmu asba>b wurud al-H{adi>s\, akan sangat memberikan kontribusi besar dalam mengetahui tentang hal ini.[10]
4.      Disamping itu, ilmu ini juga memiliki fungsi untuk memahami ajaran Islam secara komprehensif, dan yang lebih penting adalah dengan ilmu ini kita akan dapat mengetahui mana yang datang lebih dahulu dari hadis yang bertentangan. Sehingga kita dapat mengkompromikan atau menghapus yang datang lebih dahulu.[11] Atau secara sederhana dapat kita katakan bahwa ilmu ini sangat membantu dalam pemahaman tentang nasikh  dan mansuk sebuah hadis.
5.      Hadis secara khusus menangani berbagai persoalan yang sifatnya lokal, partikular, dan temporal, didalamnya juga terdapat hal-hal yang bersifat khusus dan terperinci. Oleh karena itu, haruslah dipisahkan hal-hal yang bersifat khusus dan hal-hal yang bersifat umum, yang sementara dan yang abadi, serta yang partikular dan yang universal. Semua itu memiliki hukumnya masing-masing, dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asba>b wuru>d al-H{adi>s\, maka akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus.[12]
6.      Selama ini, secara umum hadis dipahami hanya dari aspek legal-formalnya (lahiriah) saja, akibatnya pesan yang diterimapun bersifat monolitik, parsial dan tidak kontekstual. Jika dengan pendekan asba>b wurud al-H{adi>s\ maka persoalan semacam ini dapat terpecahkan. Misalkan tentang hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim mengenai puasa Nabi pada hari senin menjadi sunah.[13]
Padahal jika kita melihat substansi hadis tersebut, maka sebenarnya Nabi saw. ingin menyatakan bahwa: "sunnah berpuasa pada hari dimana sesorang dilahirkan" . pemaknaan demikian illat-nya bersumber dari jawaban Nabi ketika seseorang bertanya tentang puasa pada hari senin. Lalu Rasul menjawab bahwa beliau berpuasa pada hari senin kerana hari senin merupakan hari kelahirannya. Maka hal ini mengesankan bahwa disunnahkan bagi seseorang untuk berpuasa pada hari ia dilahirkan tidak harus hari senin. Dengan pemahaman asba>b wuru>d al-H{adi>s\, maka akan tersingkap makna yang lebih luas dan komprehensif.[14]
7.      Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari'at (hukum)
8.      Untuk men-takhs}is}-kan hukum, bagi orang yang berpegang pada  berkaidah Ushul Fiqh al-'Ibrah bi khus}us}i al-saba>b (mengambil suatu ibarat hendaklah dari sebab-sebab yang khusus). Walaupun sebenarnya menurut pendapat yang lebih kuat, para ulama ushul berpedoman pada "al-'ibrah bi 'umumi al-lafz} la bi khus}us}i al-saba>b" (mengambil suatu ibarat itu hendaknya berdasarkan keumuman lafz, bukan pada kekhususan sebab).[15]
Demikianlah beberapa urgensi dari ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\  yang dapat penulis kemukakan, sebenarnya masih ada beberapa urgensi lain yang mungkin belum tercantum pada tulisan ini. Namun pada intinya bahwa urgensi ini menunjukkan bahwa kajian dan pemahaman terhadap ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\  ini sangatlah penting dalam memahami sebuah hadis.

D.  Contoh-Contoh Hadis yang Memiliki Asba>b Wuru>d
Setelah mengetahui urgensi dari dari ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\ , maka untuk lebih memahamkan kita terhadap ilmu ini, maka di sini penulis akan mencantumkan beberapa hadis yang memiliki sebab-sebab munculnya.
Sebagaimana telah kita pahami bahwa sebagian hadis Nabi dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh sebab tertentu dan sebagian lagi didahului oleh sebab tertentu. Bentuk sebab tertentu yang menjadi latar belakang terjadinya hadis itu dapat berupa peristiwa secara khusus dan dapat pula berupa suasana atau keadaan yang bersifat umum.[16] Berikut beberapa contoh hadis yang memiliki sebab-sebab turun, diantaranya;
1.      Hadis tentang niat, artinya "Dari Umar bin Khatab, beliau berkata; aku mendengar Rasulullah saw. bersabda; "Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung pada niat, dan setiap sesuatu itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan. Barang siapa yang berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena dunia yang diharapkan atau karena wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya adalah hanya untuk apa yang ia niatkan itu. Hadis ini mucul ketika Rasul dan para sahabat ingin berhijrah ke Madinah, ada seorang sahabat yang hijrahnya ingin menikahi seseorang perempuan yang juga ikut dalam hijrahnya Rasul dan para sahabat, mengetahui hal ini lalu Rasul duduk di atas mimbar lalu bersabda;"Wahai manusia sekalian sesungguhnya segala sesuatu itu bergantung pada niat (sebanyak tiga kali), barang siapa yang hijrah karena Allah dan Rasulnya…… sampai akhir  hadis.[17]
2.      Hadis tentang yang tidak menyayangi tidak disayangi Rasul Bersabda "Barang siapa yang tidak menyayangi, maka tidak disayangi" (H.R. Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari Abu Hurairah). Hadis ini didahului oleh sebuah peristiwa, yakni pada suatu ketika Rasul saw. mencium cucu beliau yakni Hasan bin Ali. Pada saat itu salah seorang sahabat yakni al-Aqra' bin Habis al-Tamimi duduk disamping beliau, lalu berkata; Ya Rasulullah saya ini mempunyai anak sepuluh orang, tetapi tidak ada seorang pun yang pernah saya cium. Sambil memperhatikan al-Aqra', Nabi lalu bersabda seperti hadis yang dikutip di atas.[18]
3.      Hadis yang berhubungan dengan urusan dunia, Hadis Nabi menyatakan "Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan dunia mu". (H.R> Muslim dari Anas). Hadis ini didahului sebuah peristiwa, ketika pada satu saat Rasul lewat di hadapan para petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina). Nabi lalu berkomentar "sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu niscaya kurma mu akan baik". Mendengar komentar itu lalu para petani tidak mengawinkan kurma mereka. Kemudian setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali ketempat itu dan menegur para petani:" mengapa pohon kurma mu itu?" para petani melaporkan bahwa kurma mereka banyak yang tidak jadi. Mendengar hal itu lalu Rasul lalau bersabda."Kalian lebih memahami tentang urusan dunia mu".[19]
Inilah sebagian dari hadis-hadis yang memiliki asba>b wuru>d, sebenarnya masih banyak hadis yang memiliki keterangan tentang sebab-sebab kemunculannya, disini penulis hanya menyebutkan beberapanya saja, sebab tidak mungkin jika disebutkan secara keseluruhan.[20]

E.   Nilai-Nilai Pendidikan dalam Ilmu Asbab Wurud al-H{adi>s\
Ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s\ memiliki kaitan yang sangat signifikan dengan ilmu nasikh dan mansukh. Disatu sisi, untuk mengetahui nasikh dan mansukh adalah dengan mengetahui tahapan dikeluarkannya sebuah hadis, mana yang lebih dahulu dan mana hadis yang belakangan disampaikan oleh Nabi. Namun,  pada sisi lain, tidak senmua hadis memiliki asba>b wuru>d, oleh karena itu, juga perlu memahami sejarah Nabi, bahkan juga harus paham terhadap historiografinya juga.
Dari pemahaman di atas, maka ada beberapa nilai yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan tentang ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s diantaranya; pertama, melalui ilmu ini mengajarkan kepada kita bahwa, mempelajari sejarah adalah sangat penting untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
Kedua, dengan mengetahui ilmu asba>b wuru>d al-H{adi>s akan melatih sesorang untuk berfikir ilmiah,[21] sebab seseorang akan ditantang untuk mengetahui peristiwa yang terjadi pada saat hadis itu dikeluarkan, dengan menggunakan analisis yang ilmiah sebagai sebuah data yang empiris. Jadi di sini hadis Nabi diletakkan pada posisi empirik. Ketiga, nilai pendidikan yang paling penting dari ilmu ini adalah akan menempatkan sesorang berfikir jauh kedepan, sebab dengan mempelajari ilmu ini, maka ia akan mengambil ibrah dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat hadis itu dikeluarkan.
Keempat, hal yang paling urgen adalah bahwa melalui ilmu ini akan mendidik sesorang untuk lebih berfikir luas (tidak saklek), karena ilmu ini akan menunjukkan bahwa dalam memahami sebuah hadis haruslah melihat situasi dan kondisi serta kepada siapa hadis itu ditujukan.

F.   Penutup dan Kesimpulan
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis akan memberikan beberapa kesimpulan yakni; 1) sebenarnya ilmu asba>b al-wuru>d al-H{adi>s\  sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ilmu asba>b al-nuzu>l, bedanya hanya terletak pada objeknya. Jika asba>b wuru>d objeknya adalah al-h}adi>s\ maka asba>b al-nuzu>l objeknya adalah al-Qur'an. 2) tidak semua hadis memiliki asba>b wuru>d, sebab ada juga sebagian hadis yang tidak memiliki asba>b wuru>d. 3) konsep asba>b wuru>d sangat erat kaitannya dengan teori nasikh dan mansukh, dan juga ilmu tarikh al-Mutu>n Sehingga ilmu-ilmu ini memang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. 4) mempelajari ilmu ini sangat penting untuk mengasah pemikiran kita, agar mampu berfikir secara ilmiah.
Demikianlah beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, semoga makalah yang singkat ini dapat dijadiakn bahan diskusi yang menarik, untuk selanjutnya dapat dikembangkan untuk kemaslahatan umat, dan dapat menambah ilmu bagi kita semua. Amin. Wallahu a'lam.


 Catatan kaki

[1]Lihat, Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 143.
[2]Lihat, Abi al-Fad}l Jama>l al-Di>n Muhammad bin Makram ibn Manz{u>r al-Mis}ri>, Lisa>n al-'Ara>b. Juz. XII  (Beirut: Da>r al-S}a>dir, 1992), hlm. 79.
[3]Jalaluddin al-syuyuti, Proses Lahirnya Sebuah Hadis, terj. H.O. Taufiqullah dan Afif Muhammad (Bandung: Pustaka, 19850), hlm. 5.
[4]Endang Soetari, AD., M.Si, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 211.
[5]Ibid.
[6]Muhammad 'Aja>j al-Khat}}i>b, Us}u>lu al-H{adi>s\: 'Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 2006), hlm. 188.
[7]Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 63.
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid. hlm. 64.
[11]Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah……, hlm. 144.
[12]Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma, 1997), hlm. 132.
[13]Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan FIlsafat, Sosiologi, dan Sejarah (Yogyakarta: Qalam, 2004), hlm. 117.
[14]Ibid. hlm. 118.
[15]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung: PT> Alma'arif, 1974),  hlm. 327.
[16]Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal  (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 49.
[17]Jala>l al-Di>n 'abd al-Rah}ma>n al-Suyu>t}i>, Asba>bu Wuru>d al-H{adi>s\ aw al-luma' fi> asba>b wuru>d al-H{adi>s\ (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 31.
[18]H.M. Syuhudi Ismail Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadits……, hlm. 56.
[19]Ibid. hlm. 57.
[20] Untuk lebih jelas tentang contoh-contoh hadis yang memiliki peristiwa yang melatarbelakangi dikeluarkannya sebuah hadis, dapat dilihat pada kitab yang khusus membahas tentang masalah ini, misalnya karya yang klasik, Abu H{afs} al-'Akbari> guru al-Qa>d}i Abi> Ya'la Muhammad bin H{usain al-Farra' al-Hanbaliy (380-458 H), selain itu terdapat karya terlengkap dalam bidang ini yakni kitab al-Baya>ni wa al-Ta'ri>fi fi> asba>bi wuru>d al-H{adi>s\ al-Syari>f  karya Sayyid Ibrahim ibn Muhammad Kamaluddin (1054-1120 H). kitab ini disusun secara alfabetis, dan dicetak di Halb tahun 1329 H, dalam dua jilid yang cukup besar.  Lihat, Muhammad 'Aja>j al-Khat}}i>b, Us}u>lu al-H{adi>s\: 'Ulu>muhu……, hlm. 188.   
[21]Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah……, hlm. 139.


DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1994.
al-Khat}}i>b, Muhammad 'Aja>j. Us}u>lu al-H{adi>s\: 'Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu. Beirut: Dar al-Fikr. 2006
al-Mis}ri>, Abi al-Fad}l Jama>l al-Di>n Muhammad bin Makram ibn Manz{u>r. Lisa>n al-'Ara>bBeirut: Da>r al-S}a>dir. 1992.
Qardhawi, Yusuf Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma. 1997.
Rahman, Fatchur.  Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT> Alma'arif. 1974.
Soetari, Endang. Ilmu Hadis.  Bandung: Amal Bakti Press. 1997.
al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n 'abd al-Rah}ma>n Asba>bu Wuru>d al-H{adi>s\ aw al-luma' fi> asba>b wuru>d al-H{adi>s\. Beirut: Dar al-Fikr. 1996.
                   ,Proses Lahirnya Sebuah Hadis, terj. H.O. Taufiqullah dan Afif Muhammad. Bandung: Pustaka, 19850.
Thahir, Lukman S. Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi pendekatan FIlsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Yogyakarta: Qalam. 2004.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi: Telaah Historis dan MetodologisYogyakarta: Tiara Wacana. 2003.
                 ,Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran MetodologisYogyakarta: LESFI. 2003.

NASKH DAN MANSUKH dalam AL-QUR'AN


NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR'AN

  1. Pendahuluan

Al-Qur'an oleh umat Islam, secara normatif diyakini sebagai petunjuk (hudan) untuk mengantarkan manusia kepada kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Untuk tujuan itu, maka al-Qur'an perlu dipahami, agar petunjuk yang terdapat di dalamnya mampu diserap untuk selanjutnya diekspresikan dalam kehidupan manusia di dunia ini. Sementara itu, adalah sesuatu yang sudah dimaklumi bahwa al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam rentang waktu lebih kurang 23 tahun. Meski demikian, tidak berarti terjadinya diskontinuitas pesan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Kandungan al-Qur'an merupakan satu-kesatuan yang utuh, tidak ada ikhtilaf atau terdapat kontradiksi internal.
Sejalan dengan hal itu, maka para penafsir berusaha keras untuk merekonsiliasikan makna ayat al-Qur'an yang dianggap bertentangan dengan makna ayat yang lain. Diantara persoalan yang muncul dari adanya kesan pertentangan/kontradiksi adalah masalah nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an. Persoalan ini mencuat sewaktu para penafsir merasa kesulitan untuk merekonsiliasikan kesan pertentangan ayat tersebut, sementara diyakini bahwa kandungan al-Qur'an merupakan satu kesatuan. Dari sinilah sebenarnya muncul pertentengan antara penafsir tentang masalah ini, ada yang mendukung konsep naskh ini namun ada juga yang menolaknya.[1]
Terlepas dari itu semua, melalui makalah ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan tentang konsep naskh dan mansukh dalam al-Qur'an dan implikasi serta pengaruh dan kaitannya terhadap dunia pendidikan. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan diskusi yang menarik. Amin.

  1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Dari segi etimologi (bahasa) banyak arti dari kata nasakh diantaranya yaitu: al-izalah artinya; menghapus, dalam al-Qur'an disebutkan;
Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.( Q.S. al-Hajj: 52)

Kemudian diartikan juga al-tabdil berarti menukar  dalam Q.S. al-Nahl: 101 dikatakan;
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.(al-Nahl: 101)

Selain itu, naskh juga dapat berarti al-Tahwil (mengubah), selain itu juga dapat diartikan al-Naql yaitu memindahkan.[2]
Pengertian lain dikemukakan dalam bingkai pemahaman ahli ushul fikih. Dalam pandangan ulama ushul fikih bahwa naskh adalah membatalkan penerapan hukum syar'i yang datang kemudian untuk suatu kemaslahatan bagi umat. Sementara itu dalam pandangan fikih klasik, naskh memiliki arti tiga macam yakni; pertama: penghapusan ayat-ayat tertentu dari al-Qur'an, ini dibagi dalam dua kategori pertama teks dan hukumnya yang dihapuskan yang kedua teksnya saja yang dihapuskan sedangkan hukumnya masih tetap. Kedua: pencabutan ketentuan dari ayat yang turun lebih dahulu oleh ketentuan ayat yang datang kemudian.[3] Jika naskh adalah sesuatu yang menghapus, membatalkan, mengubah dan sebagainya, maka yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Dalam pengertian terminologi, kata naskh terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Ulama mutaqaddimin (abad I hingga III H) memperluas arti naskh hingga mencakup (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Pengertian yang demikan luas, oleh ulama muta'akhirin dipersempit yakni; menurut mereka naskh hanya terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah ketetapan hukum yang terakhir.[4]
Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat memberikan sebuah pengertian yang lebih bijaksana seperti yang dikemukakan oleh M. Abduh. Dalam hal ini ia menolak pengertian naskh dalam arti pembatalan tetapi menyetujui jika naskh  diartikan sebagai tabdil yakni; pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain.
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis cendrung memahami arti naskh seperti yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab, dengan pengertian; pergantian atau pemindahan dari satu wadah kepada wadah lain, dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur'an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang atau masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.[5] Dengan demikian maka kita akan dapat memahami bahwa memang tidak terdapat kontradiksi dan diskontinuitas dalam ayat-ayat al-Qur'an.  

  1. Kriteria Ayat-ayat Mansukhah

1. Macam-macam naskh
Sebelum kita masuk pada kriteria ayat-ayat mansukhah, di sini penulis akan menjelaskan lebih dahulu tentang macam dan jenis dari naskh. Dalam kitab Mabahis fi Ulum al-Qur'an karya Manna' al-Qaththan[6], beliau menjelaskan bahwa naskh dibagi menjadi empat bagian;
a)      Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an
Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an, ini merupakan bagian yang disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam al-Qur'an. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240,
Artinya: "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Ayat ini kemudian di naskh oleh surah yang sama pada ayat 234,
Artinya "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat".

b)      Naskh al-Qur'an dengan al-Sunnah
Bagian kedua ini dikelompokkan menjadi dua macam, pertama, naskh al-Qur'an dengan hadis ahad. Jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur'an tidak boleh di-naskh oleh hadis ahad, sebab al-Qur'an adalah mutawatir dan menunjukkan keyakinan, sedangkan hadis ahad adalah bersifat zhanni atau bersifat dugaan, disamping juga tidaklah sah menghapuskan sesuatu yang jelas diketahui dengan sesuatu yang masih bersifat dugaan.
Kedua, naskh al-Qur'an dengan hadis yang mutawatir. Dalam pandangan imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, hal semacam ini adalah dibolehkan. Alasan mereka adalah bahwa keduanya merupakan wahyu, sedangkan dalil yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat ini adalah surah al-Najm ayat 4-5, selain itu juga surah al-Nahl ayat 44, dan naskh itu sendiri menurut mereka adalah merupakan salah satu penjelasan.[7]
Sementara itu, Imam Syafi'i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayat lain menyatakan penolakan terhadap naskh al-Qur'an dengan hadis mutawatir, ini berdasarkan al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 106 "Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya". Sementara itu hadis adalah tidak lebih baik dari atau sebanding dengan al-Qur'an.[8]

c)      Naskh al-sunnah dengan al-Qur'an
Menurut jumhur bahwa me-naskh al-Sunnah dengan al-Qur'an, merupakan suatu kebolehan dan ini pernah terjadi. Sebagai contoh penetapan arah kiblat, awalnya oleh Rasul saw. melalui hadisnya dinyatakan bahwa kiblat umat Muslim adalah Baitul Maqdis, kemudian turun ayat yang menaskh  hal ini dengan menunjukkan bahwa arah kiblat adalah ke arah Masjidil Haram. Firman-Nya:"Maka palingkanlah wajahmu ke Arah Masjidil Haram". Q.S. al-Baqarah ayat: 144.
d)      Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bagian 1) naskh hadis mutawatir dengan hadis mutawatir; 2) naskh hadis ahad dengan hadis ahad; 3) naskh hadis ahad dengan hadis mutawatir; 4) naskh hadis mutawatir dengan hadis ahad. Pada kategori tiga bentuk yang pertama, menurut jumhur diperbolehkan, sementara pada bentuk yang keempat terjadi perbedaan seperti halnya naskh al-Qur'an dengan hadis ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur ulama.[9]
Selanjutnya, kita akan membahas tentang kriteria ayat-ayat naskh dalam al-Qur'an. Dalam al-Qur'an terdapat tiga macam[10] naskh yakni; pertama, naskh dari segi bacaan dan hukumnya. Dengan adanya naskh semacam ini maka bacaan dan tulisan ayat pun tidak ada lagi, termasuk hukum ajarannya telah dihapus dan diganti dengan hukum baru. Contohnya, penghapusan ayat tentang keharaman menikahi saudara sesusuan yang awalnya adalah sebanyak sepuluh kali susuan menjadi lima kali susuan saja.
Hukum naskh seperti ini disahkan oleh ulama khususnya yang menyetujui adanya naskh. Namun sebagian ulama lain tidak menyetujui hal ini, menurut al-Qadhi Abu Bakar, orang yang menolak ini adalah karena nasakh disini ditetapkan oleh hadis ahad. Padahal tidaklah boleh memastikan sesuatu atau me-naskh  al-Qur'an dengan hadis ahad.[11]  
Kedua, naskh hukumnya saja, sementara bacaannya tetap, artinya bahwa tulisan dan bacaannya tetap ada, sedangkan ketetapan hukumnya telah terhapuskan dalam arti tidak diamalkan. Misalnya naskh hukum ayat-ayat iddah selama satu tahun dalam surah al-Baqarah 240, yakni bahwa istri-istri yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya masa iddahnya adalah satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama satu tahun. Ketentuan ini lalu dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah, sehingga ketentuan iddah itu tidak berlaku lagi.
Ketiga, naskh tilawah atau bacaan sementara hukumnya tidak, untuk jenis ini ulama memberikan sejumlah contoh diantaranya; hadis Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka'ab yang berkata; "termasuk dari ayat al-Qur'an yang diturunkan adalah ayat yang berbunyi:" orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah". Ini kemudian dihapus oleh ayat tentang rajam.[12]

2. Ciri-ciri nash yang tidak dapat di naskh
Tidak semua nash dalam al-Qur'an maupun hadis dapat di-naskh, diantara yang tidak dapat di-naskh antara lain yaitu; pertama; nash-nash yang berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia, baik atau buruk, atau dalam stuasi apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah, Rasul, kitab suci, hari akhirat, dan yang menyangkut pada pokok-pokok akidah dan ibadah lainnya, termasuk juga pada pokok-pokok keutamaan, seperti menghormati orang tua, jujur, adil dan lain-lain. Demikian pula dengan nash-nash pokok-pokok keburukan atau dosa, seperti syirik, membunuh orang tampa hak, durhaka kepada orang tua, dan lain-lain.
Kedua, nash-nash yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku selamanya. Seperti tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li'an) untuk selamanya (Q.S. 24: 4).
Ketiga, nash-nash yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Seperti kisah kaum 'Ad, kaum Tsamud, dan lain-lain. Me-naskh-kan yang demikian berarti mendustakan berita tersebut.[13]

3. Syarat nash-nash yang dapat di-naskh
Jika dilihat dari segi syarat-syarat nash-nash yang dapat di-naskh menurut Abu Zahrat seperti yang dilansir oleh Nasiruddin Baidan maka ada beberapa kriteria, diantaranya; 1) Hukum yang di di-nasikh-kan tidak menunjukkan berlaku abadi, 2) Hukum yang di-nasikh-kan  bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baik dan buruknya. 3) haruslah ayat nasikhat yang datang kemudian dari mansukhat 4) keadaan kedua nash tersebut sangat bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.[14]

4. Contoh-contoh Naskh dalam al-Qur'an
Untuk lebih jelas tentang ayat-ayat apa saja yang nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an, berikut akan kita lihat contoh-contoh yang dikemukaan oleh para ulama.[15] Diantaranya;

a.          Surah al-Baqarah (2) ayat 115 " Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah". Di-naskh oleh ayat 44 pada surah yang sama. ”Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram."

b.      Firman Allah: "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf  (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah: 180) Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang bab kewarisan dan juga oleh hadis: "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi orang waris". (H.R. Abu Dawud dan Turmidzi).

c.          Firman Allah: ” Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…..(al-Baqarah: 217), ayat ini di-naskh oleh ayat:"Dan perangilah kaum Musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya". (at-Taubah: 36).

d.      Firman Allah: "Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu….(al-Baqarah: 284). Ayat ini di-naskh oleh Firman-Nya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…(al-Baqarah: 286)

Sebenarnya masih ada beberapa ayat al-Qur'an yang menurut sebagian ulama termasuk dalam kategori naskh, namun untuk tujuan mempersingkat, maka pada tulisan ini tidak disebutkan semua.

  1. Implikasi Konsep Nasikh dan Mansuhk dalam Al-Qur'an

Fenomena naskh yang keberadaannya masih terdapat perbedaan pada ulama al-Qur'an, walaupun sebagian ulama mengakui keberdaannya, adalah merupakan bukti terbesar bahwa adanya dialektika hubungan antara wahyu dan realitas. Jika demikian menurut Nasr Hamid Abu Zaid, maka ada dua konsekwensi yang dimunculkan oleh fenomena naskh ini, pertama, bagaimana mengkompromikan konsekwensi bahwa teks mengalami "perubahan" melalui naskh dengan keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azali di lauh al-Mahfuzh. Kedua, problem pengumpulan al-Qur'an pada masa Khalifah Abu Bakar. Hal ini muncul terkait dengan contoh-contoh yang dikemukakan oleh ulama dapat menimbulkan kesan bahwa sebagian dari bagian-bagian teks sudah terlupakan dari ingatan manusia.[16]
Terkait dengan pernyataan di atas, jika kita bicara tentang implikasi konsep naskh dalam al-Qur'an, maka tidak terlepas dari dua fenomena yang dikmukakan di atas. Diantara implikasi terhadap al-Qur'an yang dapat kita deteksi diantaranya;
Pertama, secara negatif jika naskh dipahami sebagai al-izalah atau menghapus maka konsekwensi yang ditimbulkan adalah hilangnya eternalitas (ke-azali-an) eksistensi tulisan teks al-Qur'an yang berada di Lauh Mahfuz.[17] Hal ini mencerminkan bahwa sebenarnya kita harus memahami konsep naskh dalam al-Qur'an ini seperti yang telah penulis kemukakan di atas, yakni sebagai pergantian atau pemindahan dari satu wadah kepada wadah lain, dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur'an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi.
Kedua, bahwa konsep naskh dalam al-Qur'an ini adalah untuk mengingatkan nikmat yang telah Allah berikan dan juga untuk menghapus kesulitan, karena jika naskh itu beralih pada sesuatu yang terasa lebih berat maka disana terdapat tambahan pahala, dan jika beralih pada sesuatu yang dianggap lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[18] Disini terlihat bahwa al-Qur'an memang sebagai sebuah kitab petunjuk yang benar bagi orang-orang yang ingin menjadikannya sebagai petunjuk.
Ketiga, secara umum bahwa adanya naskh dalam al-Qur'an ini menunjukkan bahwa al-Qur'an sebagai sebuah kitab dan sumber utama syariat Islam, adalah merupakan kitab syariat yang paling sempurna yang me-naskh syariat-syariat yang datang sebelumnya. Oleh karena itu syariat Islam berlaku untuk setiap situasi dan kondisi, maka adanya naskh  berfungsi menjaga kemaslahatan umat.[19]
Keempat, adanya konsep naskh dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa pe-naskh-an hukum yang pertama (ketentuan hukum yang di-naskh) adalah untuk kepentingan suatau hikmah atau suatu kemaslahatan hingga waktu tertentu. Disamping itu Allah pun mengetahui bahwa hukum yang kedua (yang me-naskh hukum yang pertama) ditetapkan untuk kepentingan suatu hikmah atau kemaslahatan yang lain. Sudah barang tentu bahwa masalah kemaslahatan dan ketentuan hukum berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh manusia yang memang juga berbeda-beda. Tiap hukum memiliki dan mengandung hikmahnya tersendiri dan manusia pun memiliki kemaslahatannya tersendiri, namun yang jelas adanya konsep naskh dalam al-Qur'an ini berada dalam pengetahuan Allah sejak sebelum manusia, langit dan bumi diciptakan.[20]
Pada intinya yang perlu dicermati adalah bahwa dengan adanya konsep naskh ini mencerminkan bahwa Allah, melalui al-Qur'an sesungguhnya ingin memperlihatkan bahwa perkembangan tasyri'  menuju tingkat yang sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.

  1. Nilai-nilai Pendidikan dalam Nasikh dan Mansukh

Konsep nasikh dan mansukh sangat erat kaitannya dengan turunnya al-Qur'an secara bertahap dan juga erat kaitannya dengan asbab al-nuzul. Sebab secara gamblang dapat dijelaskan bahwa, haruslah ayat nasikhat yang datang kemudian dari pada ayat mansukhat, sebab jelas bahwa tidak mungkin sesuatu yang datang lebih dahulu mengganti sesuatu yang datang kemudian.[21] Selain itu, kita juga dapat melihat antara masalah nasikh dan mansukh dengan masalah asbab al-nuzul ada keterkaitan, sebab biasanya Allah menurunkan atau menerapkan suatu hukum juga melihat kondisi dan situasi masyarakat pada saat itu, seperti tentang ayat-ayat keharaman khamar.
Dari dua pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an sebagai kitab pendidikan terbesar, melalui konsep nasikh dan mansukh ini ingin menjelaskan bahwa; pertama, sebenarnya Allah ingin mengajarkan kepada manusia bahwa dalam mengajarkan atau memberi pelajaran haruslah dilakukan secara bertahap. Sehingga apa yang diajarkan dapat mengena kepada siapa yang diajar atau juga ketika memberikan sebuah pemahaman haruslah secara bertahap.
Selain itu kedua, bahwa sebuah ilmu pengetahuan itu tidaklah bisa dikatakan abadi dan benar untuk selamanya, sebab suatu saat ilmu pengetahuan itu akan bisa berubah sesuai dengan perkembangan dan kondisi zaman, nasikh dan mansukh menggambarkan bahwa bisa jadi sesuatu hukum yang berlaku pada saat ini mungkin saja tidak berlaku untuk masa yang akan datang atau dapat terjadi sebaliknya.
Ketiga, dengan nasikh dan mansukh memberikan pengertian bahwa kita harus mencontoh sifat Allah yakni sang maha pemurah, sebab adakalanya Allah mengganti hukum sesuatu yang awalnya berat menjadi lebih ringan. Ini semua tidak lain kecuali ingin menunjukkan kemurahan Allah.[22]
Selain itu keempat, menurut Quraish Shihab bahwa tentang nasikh dan mansukh ini, sama seperti obat-obatan yang diberikan oleh dokter pada pasien. Disini hukum-hukum yang diubah dimisalkan sebagai obat, dan Nabi sebagai dokter. Disatu sisi, mempersamakan Nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat, memberikan kesan bahwa Nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Pada sisi lain, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibubuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.[23]

  1. Penutup dan Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah ini, dapat kita ambil beberapa kesimpulan diantaranya; 1) bahwa konsep nasakh dalam al-Qur'an masih menyisakan perbedaan diantara sementara ulama, disatu sisi masih ada ulama yang tidak menerima adanya naskh  dalam al-Qur'an. Namun pada sisi lain ada juga sementara ulama yang menyetujui adanya konsep ini dalam al-Qur'an. 2) konsep naskh  dalam al-Qur'an tidaklah dipahami sebagai penghapusan hukum atau teks al-Qur'an, namun sebagai pengganti, sehingga hukum yang di-naskh itu tetap berlaku pada saat dan kondisi yang lain. 3) Konsep nasikh dan mansukh sangat erat kaitannya dengan turunnya al-Qur'an secara bertahap dan juga erat kaitannya dengan asbab al-nuzul.
Demikian makalah ini penulis buat, semoga makalah yang jauh dari kesempurnaan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan juga dapat memberikan wawasan tentang konsep naskh dalam al-Qur'an. Wallahu a'lam.


 Catatan Kaki 

[1]Abdul Mustaqim, “Pengantar”, dalam, Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 110.
[2]Lihat, al-Imam Jalaluddin Al-Syuyuthi, al-Ithqan fi Ulum al-Qur'an Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 326. Lihat juga, al-Imam Badruddin Abi 'Abdillah Muhammad bin Bahadir 'Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz II (Beirut; Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2007), hlm. 19-20. 
[3]Nasirudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 172.
[4]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 144.
[5]Ibid. hlm. 148.
[6]Manna' Khalil al-Qattan, Mabahis  fi 'Ulum al-Qur'an, (Riyadh: Mansyurat al-'Asr al-Hadis, 1972), hlm. 236.
[7] Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an terj. Aunur Rafiq el-Mazni. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 292.
[8]Ibid.
[9]Ibid. hlm. 293.
[10]Lihat, Muhammad Abdul 'Azim al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2004), hlm. 391-392. Lihat juga, Drs. Supiana, M.Ag, dan M. Karman, M.Ag, Ulumul Qur'an dan Pengenalan Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 152.
[11]Manna' Khalil al-Qattan, Mabahis……, hlm. 238.
[12] Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu-ilmu......, hlm. 295.
[13]Prof. Dr. Nasirudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu……, hlm. 175.
[14]Ibid.
[15]Manna' Khalil al-Qattan, Mabahis……, hlm. 242-244.
[16]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 141.
[17]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur'an: Kritik… …, hlm. 161.
[18]Manna Khalil al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu-ilmu... ..., hlm. 296.
[19] Drs. Supiana, M.Ag, dan M. Karman, M.Ag, Ulumul Qur'an dan Pengenalan……, hlm. 159.
[20] DR. Suhbi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur'an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 356.
[21]Prof. Dr. Nasirudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu……, hlm. 175.
[22]Drs. Supiana, M.Ag, dan M. Karman, M.Ag, Ulumul Qur'an dan Pengenalan……, hlm. 160.
[23] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu……, hlm. 145.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an. terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LKiS. 2005.
Baidan, Nasirudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.
Mustaqim, Abdul. “Pengantar”, dalam, Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin.(ed) Yogyakarta: Tiara Wacana. 2002.
al-Qattan, Manna' Khalil. Mabahis\ fi 'Ulum al-Qur'a>n. Riyadh: Mansyurat al-'Asr al-Hadis. 1972.
                    , Pengantar Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an terj. Aunur Rafiq el-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan MasyarakatBandung: Mizan. 2002.
Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur'an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika. 2002.
as-Shalih, Suhbi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur'An. terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.
al-Syuyut}i, al-Imam Jalaluddin. al-It}qan fi U'lum al-Qur'a>n Juz I. Beirut: Da>r al-Fikr. 2005.
al-Zarkasyi, al-Imam Badruddin Abi 'Abdillah Muhammad bin Bahadir 'Abdullah. al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz IIBeirut; Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah. 2007.
al-Zarqani, Muhammad Abdul 'Azim. Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz II. Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah. 2004.