NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR'AN
- Pendahuluan
Al-Qur'an
oleh umat Islam, secara normatif diyakini sebagai petunjuk (hudan) untuk
mengantarkan manusia kepada kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Untuk tujuan
itu, maka al-Qur'an perlu dipahami, agar petunjuk yang terdapat di dalamnya
mampu diserap untuk selanjutnya diekspresikan dalam kehidupan manusia di dunia
ini. Sementara itu, adalah sesuatu yang sudah dimaklumi bahwa al-Qur'an
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam rentang waktu lebih kurang 23 tahun.
Meski demikian, tidak berarti terjadinya diskontinuitas pesan antara satu ayat
dengan ayat lainnya. Kandungan al-Qur'an merupakan satu-kesatuan yang utuh,
tidak ada ikhtilaf atau terdapat kontradiksi internal.
Sejalan
dengan hal itu, maka para penafsir berusaha keras untuk merekonsiliasikan makna
ayat al-Qur'an yang dianggap bertentangan dengan makna ayat yang lain. Diantara
persoalan yang muncul dari adanya kesan pertentangan/kontradiksi adalah masalah
nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an. Persoalan ini mencuat sewaktu
para penafsir merasa kesulitan untuk merekonsiliasikan kesan pertentangan ayat
tersebut, sementara diyakini bahwa kandungan al-Qur'an merupakan satu kesatuan.
Dari sinilah sebenarnya muncul pertentengan antara penafsir tentang masalah ini,
ada yang mendukung konsep naskh ini namun ada juga yang menolaknya.[1]
Terlepas
dari itu semua, melalui makalah ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan
tentang konsep naskh dan mansukh dalam al-Qur'an dan implikasi
serta pengaruh dan kaitannya terhadap dunia pendidikan. Semoga makalah ini
bermanfaat dan dapat menjadi bahan diskusi yang menarik. Amin.
- Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Dari
segi etimologi (bahasa) banyak arti dari kata nasakh diantaranya yaitu: al-izalah
artinya; menghapus, dalam al-Qur'an disebutkan;
Allah
(menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.( Q.S. al-Hajj: 52)
Kemudian
diartikan juga al-tabdil berarti menukar dalam Q.S. al-Nahl: 101 dikatakan;
Dan
apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan
kebanyakan mereka tiada Mengetahui.(al-Nahl: 101)
Selain
itu, naskh juga dapat berarti al-Tahwil (mengubah), selain itu
juga dapat diartikan al-Naql yaitu memindahkan.[2]
Pengertian
lain dikemukakan dalam bingkai pemahaman ahli ushul fikih. Dalam pandangan
ulama ushul fikih bahwa naskh adalah membatalkan penerapan hukum syar'i
yang datang kemudian untuk suatu kemaslahatan bagi umat. Sementara itu
dalam pandangan fikih klasik, naskh memiliki arti tiga macam yakni; pertama:
penghapusan ayat-ayat tertentu dari al-Qur'an, ini dibagi dalam dua kategori pertama
teks dan hukumnya yang dihapuskan yang kedua teksnya saja yang dihapuskan
sedangkan hukumnya masih tetap. Kedua: pencabutan ketentuan dari ayat
yang turun lebih dahulu oleh ketentuan ayat yang datang kemudian.[3]
Jika naskh adalah sesuatu yang menghapus, membatalkan, mengubah dan
sebagainya, maka yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai
mansukh.
Dalam
pengertian terminologi, kata naskh terdapat perbedaan pendapat antara
para ulama. Ulama mutaqaddimin (abad I hingga III H) memperluas arti naskh
hingga mencakup (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar (d) penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yang belum bersyarat. Pengertian yang demikan luas, oleh ulama muta'akhirin
dipersempit yakni; menurut mereka naskh hanya terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah ketetapan hukum yang terakhir.[4]
Dari
beberapa pengertian di atas, kita dapat memberikan sebuah pengertian yang lebih
bijaksana seperti yang dikemukakan oleh M. Abduh. Dalam hal ini ia menolak
pengertian naskh dalam arti pembatalan tetapi menyetujui jika naskh diartikan sebagai tabdil yakni;
pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain.
Oleh
karena itu, dalam hal ini penulis cendrung memahami arti naskh seperti
yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab, dengan pengertian; pergantian atau
pemindahan dari satu wadah kepada wadah lain, dalam arti bahwa kesemua ayat
al-Qur'an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum
bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan
demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi
orang atau masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.[5] Dengan
demikian maka kita akan dapat memahami bahwa memang tidak terdapat kontradiksi
dan diskontinuitas dalam ayat-ayat al-Qur'an.
- Kriteria
Ayat-ayat Mansukhah
1.
Macam-macam naskh
Sebelum
kita masuk pada kriteria ayat-ayat mansukhah, di sini penulis akan
menjelaskan lebih dahulu tentang macam dan jenis dari naskh. Dalam kitab
Mabahis fi Ulum al-Qur'an karya Manna' al-Qaththan[6],
beliau menjelaskan bahwa naskh dibagi menjadi empat bagian;
a)
Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an
Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an,
ini merupakan bagian yang disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam
pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam al-Qur'an. Misalnya
ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah
ayat 240,
Artinya:
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi
jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat
ini kemudian di naskh oleh surah yang sama pada ayat 234,
Artinya
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat".
b)
Naskh al-Qur'an dengan al-Sunnah
Bagian
kedua ini dikelompokkan menjadi dua macam, pertama, naskh al-Qur'an
dengan hadis ahad. Jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur'an tidak boleh di-naskh
oleh hadis ahad, sebab al-Qur'an adalah mutawatir dan menunjukkan
keyakinan, sedangkan hadis ahad adalah bersifat zhanni atau bersifat
dugaan, disamping juga tidaklah sah menghapuskan sesuatu yang jelas diketahui
dengan sesuatu yang masih bersifat dugaan.
Kedua, naskh
al-Qur'an dengan hadis yang mutawatir. Dalam pandangan imam Malik, Abu Hanifah
dan Ahmad, hal semacam ini adalah dibolehkan. Alasan mereka adalah bahwa
keduanya merupakan wahyu, sedangkan dalil yang mereka gunakan untuk mendukung
pendapat ini adalah surah al-Najm ayat 4-5, selain itu juga surah al-Nahl ayat
44, dan naskh itu sendiri menurut mereka adalah merupakan salah satu
penjelasan.[7]
Sementara itu, Imam Syafi'i,
Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayat lain menyatakan penolakan terhadap naskh
al-Qur'an dengan hadis mutawatir, ini berdasarkan al-Qur'an surah al-Baqarah
ayat 106 "Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya". Sementara itu hadis adalah tidak lebih baik dari
atau sebanding dengan al-Qur'an.[8]
c)
Naskh al-sunnah dengan al-Qur'an
Menurut
jumhur bahwa me-naskh al-Sunnah dengan al-Qur'an, merupakan suatu
kebolehan dan ini pernah terjadi. Sebagai contoh penetapan arah kiblat, awalnya
oleh Rasul saw. melalui hadisnya dinyatakan bahwa kiblat umat Muslim adalah
Baitul Maqdis, kemudian turun ayat yang menaskh hal ini dengan menunjukkan bahwa arah kiblat
adalah ke arah Masjidil Haram. Firman-Nya:"Maka palingkanlah wajahmu ke
Arah Masjidil Haram". Q.S. al-Baqarah ayat: 144.
d)
Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah
Dalam
kategori ini terdapat empat bagian 1) naskh hadis mutawatir
dengan hadis mutawatir; 2) naskh hadis ahad dengan hadis ahad; 3)
naskh hadis ahad dengan hadis mutawatir; 4) naskh hadis mutawatir
dengan hadis ahad. Pada kategori tiga bentuk yang pertama, menurut jumhur
diperbolehkan, sementara pada bentuk yang keempat terjadi perbedaan seperti
halnya naskh al-Qur'an dengan hadis ahad, yang tidak dibolehkan oleh
jumhur ulama.[9]
Selanjutnya,
kita akan membahas tentang kriteria ayat-ayat naskh dalam al-Qur'an.
Dalam al-Qur'an terdapat tiga macam[10] naskh
yakni; pertama, naskh dari segi bacaan dan hukumnya. Dengan adanya naskh
semacam ini maka bacaan dan tulisan ayat pun tidak ada lagi, termasuk hukum
ajarannya telah dihapus dan diganti dengan hukum baru. Contohnya, penghapusan
ayat tentang keharaman menikahi saudara sesusuan yang awalnya adalah sebanyak
sepuluh kali susuan menjadi lima
kali susuan saja.
Hukum naskh
seperti ini disahkan oleh ulama khususnya yang menyetujui adanya naskh.
Namun sebagian ulama lain tidak menyetujui hal ini, menurut al-Qadhi Abu Bakar,
orang yang menolak ini adalah karena nasakh disini ditetapkan oleh hadis
ahad. Padahal tidaklah boleh memastikan sesuatu atau me-naskh al-Qur'an dengan hadis ahad.[11]
Kedua,
naskh hukumnya
saja, sementara bacaannya tetap, artinya bahwa tulisan dan bacaannya tetap ada,
sedangkan ketetapan hukumnya telah terhapuskan dalam arti tidak diamalkan. Misalnya
naskh hukum ayat-ayat iddah selama satu tahun dalam surah al-Baqarah
240, yakni bahwa istri-istri yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya masa
iddahnya adalah satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal selama satu tahun. Ketentuan ini lalu dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah, sehingga
ketentuan iddah itu tidak berlaku lagi.
Ketiga,
naskh
tilawah atau bacaan sementara hukumnya tidak, untuk jenis ini ulama memberikan
sejumlah contoh diantaranya; hadis Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka'ab yang
berkata; "termasuk dari ayat al-Qur'an yang diturunkan adalah ayat yang
berbunyi:" orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya
berzina, maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah". Ini
kemudian dihapus oleh ayat tentang rajam.[12]
2. Ciri-ciri
nash yang tidak dapat di naskh
Tidak
semua nash dalam al-Qur'an maupun hadis dapat di-naskh, diantara yang
tidak dapat di-naskh antara lain yaitu; pertama; nash-nash yang
berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia, baik atau
buruk, atau dalam stuasi apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah, Rasul,
kitab suci, hari akhirat, dan yang menyangkut pada pokok-pokok akidah dan
ibadah lainnya, termasuk juga pada pokok-pokok keutamaan, seperti menghormati
orang tua, jujur, adil dan lain-lain. Demikian pula dengan nash-nash pokok-pokok
keburukan atau dosa, seperti syirik, membunuh orang tampa hak, durhaka kepada
orang tua, dan lain-lain.
Kedua,
nash-nash
yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku
selamanya. Seperti tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li'an)
untuk selamanya (Q.S. 24: 4).
Ketiga,
nash-nash
yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau.
Seperti kisah kaum 'Ad, kaum Tsamud, dan lain-lain. Me-naskh-kan yang
demikian berarti mendustakan berita tersebut.[13]
3.
Syarat nash-nash yang dapat di-naskh
Jika
dilihat dari segi syarat-syarat nash-nash yang dapat di-naskh menurut
Abu Zahrat seperti yang dilansir oleh Nasiruddin Baidan maka ada beberapa
kriteria, diantaranya; 1) Hukum yang di di-nasikh-kan tidak menunjukkan
berlaku abadi, 2) Hukum yang di-nasikh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal
sehat tentang baik dan buruknya. 3) haruslah ayat nasikhat yang datang
kemudian dari mansukhat 4) keadaan kedua nash tersebut sangat
bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.[14]
4.
Contoh-contoh Naskh dalam al-Qur'an
Untuk
lebih jelas tentang ayat-ayat apa saja yang nasikh dan mansukh dalam
al-Qur'an, berikut akan kita lihat contoh-contoh yang dikemukaan oleh para
ulama.[15] Diantaranya;
a.
Surah al-Baqarah (2) ayat 115 " Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah
wajah Allah". Di-naskh oleh ayat 44 pada surah yang sama. ”Maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram."
b. Firman
Allah: "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf
(Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah:
180) Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang bab kewarisan dan
juga oleh hadis: "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap
orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi orang
waris". (H.R. Abu Dawud dan Turmidzi).
c. Firman Allah: ” Mereka bertanya kepadamu
tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu
adalah dosa besar…..(al-Baqarah: 217), ayat ini di-naskh oleh ayat:"Dan
perangilah kaum Musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu
semuanya". (at-Taubah: 36).
d. Firman
Allah: "Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu….(al-Baqarah: 284). Ayat ini di-naskh oleh
Firman-Nya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…(al-Baqarah:
286)
Sebenarnya masih ada beberapa
ayat al-Qur'an yang menurut sebagian ulama termasuk dalam kategori naskh,
namun untuk tujuan mempersingkat, maka pada tulisan ini tidak disebutkan semua.
- Implikasi
Konsep Nasikh dan Mansuhk dalam Al-Qur'an
Fenomena
naskh yang keberadaannya masih terdapat perbedaan pada ulama al-Qur'an,
walaupun sebagian ulama mengakui keberdaannya, adalah merupakan bukti terbesar
bahwa adanya dialektika hubungan antara wahyu dan realitas. Jika demikian
menurut Nasr Hamid Abu Zaid, maka ada dua konsekwensi yang dimunculkan oleh
fenomena naskh ini, pertama, bagaimana mengkompromikan
konsekwensi bahwa teks mengalami "perubahan" melalui naskh
dengan keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azali di lauh
al-Mahfuzh. Kedua, problem pengumpulan al-Qur'an pada masa Khalifah
Abu Bakar. Hal ini muncul terkait dengan contoh-contoh yang dikemukakan oleh
ulama dapat menimbulkan kesan bahwa sebagian dari bagian-bagian teks sudah
terlupakan dari ingatan manusia.[16]
Terkait
dengan pernyataan di atas, jika kita bicara tentang implikasi konsep naskh dalam
al-Qur'an, maka tidak terlepas dari dua fenomena yang dikmukakan di atas.
Diantara implikasi terhadap al-Qur'an yang dapat kita deteksi diantaranya;
Pertama, secara negatif jika naskh
dipahami sebagai al-izalah atau menghapus maka konsekwensi yang
ditimbulkan adalah hilangnya eternalitas (ke-azali-an) eksistensi
tulisan teks al-Qur'an yang berada di Lauh Mahfuz.[17]
Hal ini mencerminkan bahwa sebenarnya kita harus memahami konsep naskh
dalam al-Qur'an ini seperti yang telah penulis kemukakan di atas, yakni sebagai
pergantian atau pemindahan dari satu wadah kepada wadah lain, dalam arti bahwa
kesemua ayat al-Qur'an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi.
Kedua,
bahwa
konsep naskh dalam al-Qur'an ini adalah untuk mengingatkan nikmat yang
telah Allah berikan dan juga untuk menghapus kesulitan, karena jika naskh
itu beralih pada sesuatu yang terasa lebih berat maka disana terdapat tambahan
pahala, dan jika beralih pada sesuatu yang dianggap lebih ringan maka ia
mengandung kemudahan dan keringanan.[18]
Disini terlihat bahwa al-Qur'an memang sebagai sebuah kitab petunjuk yang benar
bagi orang-orang yang ingin menjadikannya sebagai petunjuk.
Ketiga, secara umum bahwa
adanya naskh dalam al-Qur'an ini menunjukkan bahwa al-Qur'an sebagai
sebuah kitab dan sumber utama syariat Islam, adalah merupakan kitab syariat
yang paling sempurna yang me-naskh syariat-syariat yang datang
sebelumnya. Oleh karena itu syariat Islam berlaku untuk setiap situasi dan
kondisi, maka adanya naskh berfungsi menjaga kemaslahatan umat.[19]
Keempat, adanya konsep naskh
dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa pe-naskh-an hukum yang pertama
(ketentuan hukum yang di-naskh) adalah untuk kepentingan suatau hikmah
atau suatu kemaslahatan hingga waktu tertentu. Disamping itu Allah pun
mengetahui bahwa hukum yang kedua (yang me-naskh hukum yang pertama)
ditetapkan untuk kepentingan suatu hikmah atau kemaslahatan yang lain. Sudah
barang tentu bahwa masalah kemaslahatan dan ketentuan hukum berbeda, sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh manusia yang memang juga
berbeda-beda. Tiap hukum memiliki dan mengandung hikmahnya tersendiri dan
manusia pun memiliki kemaslahatannya tersendiri, namun yang jelas adanya konsep
naskh dalam al-Qur'an ini berada dalam pengetahuan Allah sejak sebelum
manusia, langit dan bumi diciptakan.[20]
Pada
intinya yang perlu dicermati adalah bahwa dengan adanya konsep naskh ini
mencerminkan bahwa Allah, melalui al-Qur'an sesungguhnya ingin memperlihatkan
bahwa perkembangan tasyri' menuju
tingkat yang sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan
kondisi umat manusia.
- Nilai-nilai
Pendidikan dalam Nasikh dan Mansukh
Konsep nasikh
dan mansukh sangat erat kaitannya dengan turunnya al-Qur'an secara
bertahap dan juga erat kaitannya dengan asbab al-nuzul. Sebab secara
gamblang dapat dijelaskan bahwa, haruslah ayat nasikhat yang datang
kemudian dari pada ayat mansukhat, sebab jelas bahwa tidak mungkin
sesuatu yang datang lebih dahulu mengganti sesuatu yang datang kemudian.[21]
Selain itu, kita juga dapat melihat antara masalah nasikh dan mansukh
dengan masalah asbab al-nuzul ada keterkaitan, sebab biasanya Allah
menurunkan atau menerapkan suatu hukum juga melihat kondisi dan situasi
masyarakat pada saat itu, seperti tentang ayat-ayat keharaman khamar.
Dari dua
pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an sebagai kitab pendidikan
terbesar, melalui konsep nasikh dan mansukh ini ingin menjelaskan
bahwa; pertama, sebenarnya Allah ingin mengajarkan kepada manusia bahwa
dalam mengajarkan atau memberi pelajaran haruslah dilakukan secara bertahap.
Sehingga apa yang diajarkan dapat mengena kepada siapa yang diajar atau juga
ketika memberikan sebuah pemahaman haruslah secara bertahap.
Selain
itu kedua, bahwa sebuah ilmu pengetahuan itu tidaklah bisa dikatakan
abadi dan benar untuk selamanya, sebab suatu saat ilmu pengetahuan itu akan
bisa berubah sesuai dengan perkembangan dan kondisi zaman, nasikh dan mansukh
menggambarkan bahwa bisa jadi sesuatu hukum yang berlaku pada saat ini
mungkin saja tidak berlaku untuk masa yang akan datang atau dapat terjadi sebaliknya.
Ketiga,
dengan
nasikh dan mansukh memberikan pengertian bahwa kita harus
mencontoh sifat Allah yakni sang maha pemurah, sebab adakalanya Allah mengganti
hukum sesuatu yang awalnya berat menjadi lebih ringan. Ini semua tidak lain
kecuali ingin menunjukkan kemurahan Allah.[22]
Selain
itu keempat, menurut Quraish Shihab bahwa tentang nasikh dan mansukh
ini, sama seperti obat-obatan yang diberikan oleh dokter pada pasien.
Disini hukum-hukum yang diubah dimisalkan sebagai obat, dan Nabi sebagai
dokter. Disatu sisi, mempersamakan Nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai
obat, memberikan kesan bahwa Nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum
tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Pada sisi lain,
mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan
dibubuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien
tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.[23]
- Penutup
dan Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah
ini, dapat kita ambil beberapa kesimpulan diantaranya; 1) bahwa konsep nasakh
dalam al-Qur'an masih menyisakan perbedaan diantara sementara ulama, disatu
sisi masih ada ulama yang tidak menerima adanya naskh dalam al-Qur'an. Namun pada sisi lain ada juga
sementara ulama yang menyetujui adanya konsep ini dalam al-Qur'an. 2) konsep naskh
dalam al-Qur'an tidaklah dipahami
sebagai penghapusan hukum atau teks al-Qur'an, namun sebagai pengganti,
sehingga hukum yang di-naskh itu tetap berlaku pada saat dan kondisi
yang lain. 3) Konsep nasikh dan mansukh sangat erat kaitannya
dengan turunnya al-Qur'an secara bertahap dan juga erat kaitannya dengan asbab
al-nuzul.
Demikian makalah ini penulis
buat, semoga makalah yang jauh dari kesempurnaan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan juga dapat memberikan wawasan tentang konsep naskh dalam
al-Qur'an. Wallahu a'lam.
[1]Abdul Mustaqim, “Pengantar”, dalam, Studi al-Qur’an
Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir Abdul Mustaqim dan
Sahiron Syamsuddin (ed), (Yogyakarta : Tiara
Wacana, 2002), hlm. 110.
[2]Lihat, al-Imam
Jalaluddin Al-Syuyuthi, al-Ithqan fi Ulum al-Qur'an Juz I (Beirut : Dar al-Fikr,
2005), hlm. 326. Lihat juga, al-Imam Badruddin Abi 'Abdillah Muhammad bin Bahadir
'Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz II (Beirut ; Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, 2007), hlm. 19-20.
[3]Nasirudin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 172.
[4]M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Mizan, 2002),
hlm. 144.
[6]Manna' Khalil al-Qattan, Mabahis fi 'Ulum al-Qur'an, (Riyadh: Mansyurat
al-'Asr al-Hadis, 1972), hlm. 236.
[7] Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Pengantar
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an terj. Aunur Rafiq el-Mazni. (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2006), hlm. 292.
[8]Ibid.
[10]Lihat,
Muhammad Abdul 'Azim al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an,
Juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2004), hlm. 391-392. Lihat juga, Drs.
Supiana, M.Ag, dan M. Karman, M.Ag, Ulumul Qur'an dan Pengenalan Metodologi
Tafsir (Bandung :
Pustaka Islamika, 2002), hlm. 152.
[14]Ibid.
[16]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas
Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta : LKiS, 2005), hlm. 141.
[17]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas
Al-Qur'an: Kritik… …, hlm. 161.
[20] DR. Suhbi as-Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur'an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), hlm. 356.
[21]Prof. Dr. Nasirudin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu……, hlm. 175.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an. terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta : LKiS. 2005.
Baidan, Nasirudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005.
Mustaqim, Abdul. “Pengantar”, dalam, Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin.(ed) Yogyakarta : Tiara Wacana. 2002.
al-Qattan, Manna' Khalil. Mabahis\ fi 'Ulum al-Qur'a>n. Riyadh : Mansyurat al-'Asr al-Hadis. 1972.
, Pengantar Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an terj. Aunur Rafiq el-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan. 2002.
Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur'an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung : Pustaka Islamika. 2002.
as-Shalih, Suhbi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur'An. terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999.
al-Syuyut}i, al-Imam Jalaluddin. al-It}qan fi U'lum al-Qur'a>n Juz I. Beirut: Da>r al-Fikr. 2005.
al-Zarkasyi, al-Imam Badruddin Abi 'Abdillah Muhammad bin Bahadir 'Abdullah. al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz II. Beirut ; Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah. 2007.
al-Zarqani, Muhammad Abdul 'Azim. Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz II. Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah. 2004.