Halaman

Senin, 18 Juni 2012

AL-QUR'AN VS KORUPSI


AL-QUR’AN VS KORUPSI
(Melacak Perspektif al-Qur’an Tentang Pemberantasan Korupsi)
Oleh: Hayatul Islami


Key Word: Al-Qur’an dan Pemberantasan Korupsi

Muqaddimah

Merupakan suatu aksioma bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia (Q.S. 2: 185). Oleh karena itu dalam perspektif teologis umat Islam harus meyakini bahwa al-Qur’an menjadi sumber utama dalam meraih kebahagian hidup di dunia maupun di akhirat, disamping hadis Rasulullah SAW. Memposisikan al-Qur’an sebagai petunjuk artinya menuntut manusia (baca: umat Islam) untuk mampu mentransformasikan ajaran al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada satu sisi (on the one hand) petunjuk al-Qur’an ada yang tersurat dan ada yang tersirat, sementara di sisi lain (on the other hand) pemahaman manusia terhadap kalam Allah ini sangat multi-interpretatif, hal ini bergantung pada sudut pandang, ideologi, dan kecenderungan manusia (Mufassir) dalam memahaminya. Hal ini sejalan dengan defenisi tafsir yang menyatakan bahwa ia adalah : بَيَا نُ مُرَادِ اللّٰهِ حَسْبَ الطَّاقَةِ الْبَشَرِيَّةِ / penjelasan tentang maksud Allah sesuai kemampuan manusia (Quraish Shihab, 2011: 555).
Sudut pandang yang berbeda terhadap pemahaman al-Qur’an paling tidak disebabkan oleh dua hal; pertama, karena al-Qur’an berpotensi memunculkan banyak makna dalam setiap rentetan kata dan susunan kalimatnya. Terkait dengan hal ini, Abdullah Darraz, sebagaimana dilansir oleh Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, mengatakan: “apabila Anda membaca Al-Qur’an, maknanya akan jelas dihadapan Anda. Tetapi jika Anda membacanya sekali lagi maka Anda akan temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya sampai Anda temukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang beragam, semuanya benar atau mungkin benar. Al-Qur’an bagaikan intan yang di setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat”. Oleh karenanya, adalah hal yang sangat wajar apabila perwujudan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari menuai beragam makna (Quraish Shihab, 2002: 16).
Kedua, dalam perspektif aliran-aliran tafsir muncul dua aliran yang saling bertentangan, aliran pertama menyatakan bahwa al-Qur’an menjelaskan segala sesuatu secara terperinci sehingga persoalan apapun ada dalam kitab suci ini. Aliran kedua meyakini bahwa al-Qur’an tidak menjelaskan segala sesuatu secara terperinci al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global saja (Rosihon Anwar, 2001: 95). Namun perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan ini sama sekali tidak mengurangi nilai keagungan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Bahkan, menjadikan al-Qur’an sebagai sumber kajian yang tidak pernah kering dalam memunculkan ide dan gagasan tentang berbagai solusi terhadap persoalan hidup manusia.
Tulisan ini tidak akan menjelaskan panjang lebar tentang perdebatan seputar pemahaman al-Qur’an terhadap segala sesuatu (walaupun pada prinsipnya penulis meyakini bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci yang menerangkan segala sesuatu secara terperinci, namun menjelaskannya secara global agar manusia mampu menggunakan akalnya untuk memahami maksud Tuhan). Namun pada kajian berikutnya tulisan ini penulis akan mencoba menguak dan memaparkan secara tematik-sistematis bagaimana al-Qur’an menjelaskan serta berpandangan terhadap sebuah tema yang dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara tersurat dan terperinci, yakni tentang kejahatan Korupsi.
Menurut penulis bahwa al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan perkara korupsi secara detail, namun kita harus meyakini bahwa al-Qur’an hadir untuk merespon, menjawab dan menuntun manusia untuk mengatasi seluruh masalah kehidupan mereka, bahkan menurut Malik Ben Nabi al-Qur’an menembus sudut paling kabur dalam pikiran manusia, menembus dengan kekuatan nyata jiwa orang yang beriman dan bahkan orang yang tidak beriman pun mampu merasakan itu (Malik Ben Nabi, 2002: 98).
Tema korupsi sangat menarik untuk dikaji dari perspektif al-Qur’an sebab, disamping tema ini sedang “booming” di negeri ini, al-Qur’an pun tidak menjelaskan secara terperinci terhadap masalah ini. Kecuali itu wacana ini menurut penulis sangat penting diangkat ke permukaan, sebagai pencerahaan (renainsans) umat terhadap pemahaman nilai-nilai qur’ani yang “membumi”. Adalah suatu hal sangat ironis menurut penulis ketika para pelaku korupsi (koruptor) di negeri ini mereka yang nota bene meyakini al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi kemaslahatan manusia, yakni mereka orang-orang yang mengaku agamanya Islam. Lalu pertanyaannya adalah dimana mereka memposisikan al-Qur’an? jika al-Qur’an diposisikan sebagai petunjuk paripurna dan komprehensif sangatlah tidak mungkin mereka melakukan tindak korupsi yang sangat merugikan masyarakat dan negara.
Oleh karena itu, tulisan ini nantinya akan menjelaskan secara panjang-lebar bagaimana wawasan al-Qur’an terhadap kejahatan korupsi, mulai dari persoalan mencari apa pengertian korupsi dalam al-Qur’an sampai pada bagaimana al-Qur’an menyikapi mereka yang telah melakukan kejahatan korupsi.

Korupsi dalam Pluralitas-Interpretatif

Sebelum lebih dalam memahami wacana korupsi dalam al-Qur’an, penulis akan membahas terlebih dahulu pengertian korupsi dari berbagai interpretasi yang ada, sebagai sebuah landasan ontologis. Kajian ontologis ini dianggap penting dalam membedah makna dan asal-usul dari kata korupsi, sebab pada hakikatnya kajian ontologis adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana menemukan hakikat makna dan esensi dari segala sesuatu (Amsal Bakhtiar, 2010: 17). Dengan demikian nantinya akan mudah untuk memetakan masalah korupsi secara sistematis.
Istilah korupsi pada awalnya berasal dari satu kata dalam bahasa latin yakni coruptio atau corruptus yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar-balik, menyogok. Kata ini lalu disalin ke dalam kosa kata bahasa Inggris yang disebut corruption atau corrupt. Selain itu dalam bahasa Perancis juga dikenal dengan kata corruption, sementara dalam kaidah bahasa Belanda dikenal dengan sebutan corruptie (korruptie). Menurut Andi Hamzah seperti yang dilansir oleh M. Nurul Irfan dalam bukunya Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, bahwa kata korupsi yang sampai dan sering dipakai dalam bahasa Indonesia merupakan plagiasi dari kata korruptie dalam bahasa Belanda (M. Nurul Irfan, 2011: 33. Lihat juga, Andi Hamzah, 2005: 4)
Dalam kajian etimologi kata korupsi merangkum beberapa makna yakni; kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak-jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (M.Nurul Irfan, 2011: 33). Selain pengertian di atas, kata korupsi bisa juga diartikan sebagai suatu perbuatan buruk, busuk, bejat, suka disuap, perbuatan yang menghina atau memfitnah, menyimpang dari prinsip kesucian, serta sikap orang yang tidak memiliki moral dan etika (Andi Hamzah, 1986, cet. I,:339). Disamping itu kata korupsi diartikan juga sebagai “decay” yakni kebusukan/ yang busuk atau kerusakan, hal ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan tindak korupsi memiliki sikap dan moral yang buruk atau busuk atau orang yang moralnya rusak.
Beberapa makna korupsi di atas menunjukkan bahwa betapa luasnya cakupan dari kata korupsi, sehingga perlu kita berikan batasan makna yang tepat sebagai gamabaran yang utuh dan komprehensif dari kata korupsi. Meskipun demikian menurut Andi Hamzah seperti yang dilansir oleh M. Nurul Irfan, bahwa arti kata corruptio sering disamakan dengan “penyuapan”. Kata penyuapan atau suap dalam bahasa Arab sepadan dengan kata “risywah”. Di Malaysia kata untuk menunjukkan makna korupsi adalah kata “resuah” yang berasal dari bahasa Arab “risywah” dan menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (M. Nurul Irfan, 2011: 35).
Jika kita berbicara di Indonesia secara umum konotasi dan keidentikan makna korupsi adalah selalu artikan dengan perbuatan jahat yang berkaitan dengan keuangan Negara dan suap-menyuap. Namun pada prinsipnya pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi memiliki titik tekan yang beragam sesuai dengan perspektif dan sudut pandang keilmuan yang dipakai. Jika yang dipakai adalah perspektif sosiologis, seperti yang digunakan oleh Syed Hussein Alatas maka akan sangat berbeda maknanya dengan pendekatan yang dilakukan dalam perspektif normatif, begitu pula jika dikaitkan dengan pendekatan yang digunakan dalam perspektif politik atau ekonomi. Dalam perspektif sosiologis misalnya Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, memasukkan nepotisme dalam kelompok korupsi dalam pengertian ‘memasang keluarga atau teman pada jabatan tertentu dalam pemerintahan tanpa memenuhi syarat untuk itu’. Jika hal ini dipakai tentulah kita tidak akan menemukan makna dan normanya dalam perspektif hukum pidana (M. Nurul Irfan, 2011: 35).
Dalam peraturan Perundang-undangan Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi dinyatakan bahwa, korupsi adalah: “tindakan pidana yang dilakukan orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Defenisi korupsi yang dipahami umum adalah merugikan negara atau institusi baik secara langsung atau tidak langsung sekaligus memperkaya diri sendiri”.
Dari beberapa uraian mengenai pengertian korupsi di atas baik dari segi etimologi maupun terminologi, maka dapat penulis simpulkan bahwa makna kata korupsi sangat luas, hal ini bergantung pada bidang dan perspektif pendekatan yang dilakukan. Namun pada prinsipnya bahwa semua pengertian tentang korupsi tersebut mengacu kepada makna; keburukan, ketidak-baikan, kecurangan bahkan kezhaliman yang akibatnya merusak dan menghancurkan tata kehidupan, keluarga, masyarakat bangsa dan bahkan kebangkrutan negara akan terjadi disebabkan oleh korupsi (M. Nurul Irfan, 2011: 36).
Lalu bagaimana interpretasi Islam (al-Qur’an) tentang makna korupsi? Kenyataanya menunjukkan bahwa masih terjadi multi-tafsir terhadap kata apa yang paling tepat untuk menunjukkan makna korupsi dalam al-Qur’an. Menurut M. Nurul Irfan paling tidak ada enam kata yang identik-kualifikatif terhadap kata korupsi yakni : Risywah (Penyuapan), Ghulul (penggelapan), Ghasab (Mengambil paksa hak/harta orang lain), Khianat, Sarikah (Pencurian), dan Hirabah (Perampokan). Menurut Irfan bahwa makna dari keenam kata ini bisa diidentitifikasi sebagai arti dari kata korupsi (M. Nurul Irfan, 2011: 78-123).
Namun demikian menurut penulis bahwa dua kata pertama adalah kata yang paling dekat dan bisa mewakili makna korupsi dalam perspektif al-Qur’an. Dalam bahasa Arab korupsi disebut dengan Risywah yang berarti penyuapan atau juga dapat bermakna uang suap, selain itu ia juga disebut tindakan merusak dan khianat serta penggelapan atau fasad dan ghulul (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 499, 1015). Secara terminologi risywah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang bathil/salah atau menyalahkan yang benar (M. Nurul Irfan, 2011: 89). Sementara kata ghulul bermakna: berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta yang lain, hal ini dapat diperhatikan dalam al-Qur’an surah Ali ‘Imran (3) ayat 161.
Terlepas dari itu semua, pada intinya menurut penulis adalah bahwa setiap perbuatan yang berkaitan dengan merampas, mencuri, dan mengambil harta orang lain dengan cara zhalim, termasuk di dalamnya suap-menyuap merupakan bentuk dari korupsi. Selanjutnya mari kita perhatikan bagaimana wawasan dan penjelasan al-Qur’an mengenai kejahatan dan bahaya korupsi.

Wawasan al-Qur’an Tentang Korupsi
Seluruh kita yakin bahwa secara atropologicly al-Qur’an memiliki kekuatan membentuk budaya masyarakat. Bahkan lebih jauh Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa peradaban Arab-Islam dan Islam secara umum, adalah merupakan “peradaban teks”. Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan dimana teks sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Hal ini membuktikan bahwa dalam peradaban Islam pada umumnya, al-Qur’an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak keilmuan yang berkembang di dalamnya (Nasr Hamid Abu Zaid, 2003: 1-17).
Dalam konteks Indonesia sesungguhnya kebanyakan masyarakat kita, khususnya kaum pinggiran meletakkan agama sebagai kekuatan spiritual belaka. Namun pada prinsipnya bahwa al-Qur’an memiliki kekuatan emosional yang dapat menggerakkan umat Islam untuk bersikap sesuai dengan ajaran yang dikandungnya. Akan tetapi patut disayangkan sesungguhnya bahwa doktrin-doktrin normatif yang tertuang dalam al-Qur’an itu, bagi kebanyakan umatnya tidak memiliki dimensi sosial dan intelektual yang kuat dalam membendung realitas kemungkaran yang terjadi. Sungguh asumsi seperti ini perlu direkonstruksi, sebab Islam bukanlah teologi eskapistik yang mengamini umatnya untuk larut dalam buaian spiritual belaka, sehingga lupa akan tanggung jawab sosialnya. Bagi penulis jika ditelaah lebih mendalam, al-Qur’an mempunyai rentetan perangkat teoritis yang bisa digunakan untuk membendung beragam bentuk dari manifestasi ketidakadilan sosial termasuk korupsi.
Tindak korupsi yang dipahami sebagai bentuk dari penyimpangan normatif (menyangkut harta) juga merupakan bagian yang integral dari kejahatan sosial, sebab korupsi adalah mengambil harta orang lain baik perorangan maupun kelompok dengan cara yang zhalim termasuklah dalam kasus suap-menyuap. Korupsi merupakan dosa besar yang paling berbahaya yang dapat menimbulkan kehancuran ekonomi, politik, dan sosial masyarakat (Husain Husain Syahatah, 2002: xi).
Terkait dengan korupsi, sangat tegas kiranya al-Qur’an memberikan argumen normatif bahwa dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa ada hak orang lain, dan hak itu jelas bukan miliknya (Q.S. al-Ma’arij, 70: 24-25). Dengan ungkapan yang berbeda Allah ingin memberi ketegasan bahwa sesungguhnya seorang manusia harus menafkahkan harta yang dikuasai kepada jalan yang diridhai Allah. Seperti yang digambarkan dalam surah al-Hadid (57): 7
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

Lalu, jika korupsi dilakukan, bukankah itu merupakan pengingkaran akbar atas amanah kebendaan yang telah dititipkan Allah kepada manusia. Namun peringatan Tuhan melalui al-Qur’an ini sepertinya hanya menjadi kesadaran kultural, tidak memiliki daya paksa struktural, sehingga sang koruptor menjadi tak bergeming.
Oleh karena itu, menurut penulis sudah saatnya bahwa al-Qur’an yang kita yakini sebagai petunjuk dari segenap masalah manusia ini tidak hanya ditempatkan sebagai landasan normatif yang bergerak pada wilayah sosio-kultural belaka, namun ia juga harus mampu menyelinap dalam perbaikan pada ruang-ruang struktural. Jika demikian halnya maka pada perspektif lain bahwa al-Qur’an sesungguhnya juga dapat dijadikan landasan teoritik yang digunakan untuk melakukan pembebasan kemanusian (humanis freedom) bahkan untuk masalah seperti korupsi.

Perspektif Qur’ani
Korupsi yang seringkali dilakukan karena sebuah konspirasi kolektif juga didasari oleh motif memperoleh harta sebanyak-banyaknya dengan cara mudah (Abdul Munir Mulkan, 2007: 210), menunjukkan bahwa kejahatan ini sudah menjadi sebuah sistem dan terstruktur dengan rapi. Oleh karena itu, cara pemberantasannya menurut penulis harus menempatkan al-Qur’an sebagai perangkat teori untuk menangkal korupsi. Wawasan al-Qur’an tentang korupsi menurut penulis tidak hanya sekedar membentuk kesadaran moral manusia agar tidak rakus memakan harta rakyat, namun lebih dari itu bahwa al-Qur’an juga punya perangkat teoritis untuk memberantas korupsi.
Secara teoritis al-Qur’an mulai menyinggung permasalah korupsi dengan laarangan mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil namun menganjurkan untuk melakukan perniagaan dengan cara yang ma’ruf atas prinsip suka sama suka (QS. An-Nisa: 4; 29, lihat juga QS. Al-Baqarah: 2; 188). Pada kesempatan lain al-Qur’an menuding sebagai orang yang celaka, bagi umat Islam yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya tanpa ada kesadaran nurani (inner conscious) untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) (QS. Al-Humazah:104; 1-9).
Selanjutnya al-Qur’an secara radikal begitu berani mengklaim orang yang rajin melaksanakan shalat (mushalin) sebagai pendusta agama jika tidak menafkahkan hartanya untuk membantu anak yatim dan demikian pula bagi orang yang enggan memberikan bantuan (QS. Al-Ma’un:107; 1-7). Al-Qur’an pun pada penjelasan yang lain menegaskan bahwa sifat dari kaum Yahudi adalah melakukan praktek suap-menyuap dan memakan harta dengan cara yang haram, oleh karena itu al-Qur’an melarang untuk melakuakan perbuatan seperti itu agar kita tidak termasuk ke dalam golongan mereka (QS. Al-Maidah:5; 62).
Di sisi yang berbeda al-Qur’an juga menilai gerakan oposisi terhadap penguasa yang korup (korupsi yang terorganisir) merupakan suatu jihad fi sabilillah (al-Nisa: 4;75), di samping semua ini juga merupakan agenda para Rasul (al-Anfal: 8;157). Pada perspektif inilah secara praksis pembelaan terhadap kaum lemah dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ruang ketakwaan tidak saja dilihat melalui ibadah ritual serta kepuasan spiritual yang diraih, namun lebih dari itu, yang paling utama adalah bagaimana seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain (khairun nas anfa’uhum linnas). Maka dapat dikatakan bahwa membela kaum lemah juga merupakan bagian dari karakter insane yang bertakwa (al-Baqarah: 197, Ali Imran: 134, al-Insan: 8-9, al-Maarij: 24, al-Dzariyat: 19), bahkan sangat boleh jadi bahwa iman pada level inilah yang justeru lebih penting. Dengan demikian kesenjangan sosial yang terjadi dapat dikikis secara menyeluruh.
Prahara dan kesenjangan sosial yang terjadi merupakan bentuk paling nyata dari akibat kejahatan korupsi, paling tidak hal inilah yang dapat kita simak dari kesan surah al-Fajr (89): 15-20. Jika dipahami secara kontekstual ayat 15-20 surah al-Fajr ini ingin menegaskan bahwa prahara sosial yang terjadi pada masyarakat paling tidak disebabkan oleh empat hal, yakni; pertama, sikap ahumanis yaitu tidak memuliakan anak yatim. Kedua, sikap asosial yakni enggan memberi makan orang miskin dan kaum mustad’afin. Ketiga, monopolistik yaitu orang yang rakus dalam memanfaatkan (kekayaan) warisan alam. Keempat, sikap hedonis dengan terlalu mencintai harta secara berlebihan. Sikap hedonis ini juga disebut oleh Rasul sebagai penyakit al-Wahn: hubbu al-Dunya wa karahiyatul maut yakni penyakit terlalu cinta terhadap dunia dan takut akan kematian. Dilihat dari ke empat sendi ini dapat kita pastikan bahwa korupsi hadir dalam setiap sendi tersebut.
Korupsi memang telah membunuh rasa kemanusiaan kita. Tentu sangat ironi sekali ketika yang melakukan praktek korupsi itu adalah orang-orang yang mengaku Islam dan menjadikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Jika hal ini terjadi berarti pada prinsipnya ia telah meletakkan al-Qur’an sebagai hiasan kata. Dari sinilah, keberimanan masyarakat oleh al-Qur’an perlu dipandu untuk menghidupkan kembali rasa kemanusiaan kita, melalui pembaharuan struktural bukan hanya sekedar dorongan moral. Al-Qur’an harus menjadi inspirasi dan pelopor untuk melakukan gerakan pembebasan, termasuk dalam memberantas korupsi.

Al-Qur’an Vs Korupsi: Memberangus praktek Korupsi ala al-Qur’an

Secara garis besar Islam dibangun atas tiga unsur utama, yaitu akidah, syari’at, dan akhlak (akidah, syari’at, dan akhlak merupakan istilah lain dari iman, Islam, dan ihsan. Lihat, Shahih Muslim, tth: 79). Akidah merupakan pondasi bangunan keyakinan umat Islam secara vertikal, syari’at berisi tentang aturan-aturan dalam membimbing kehidupan manusia disamping juga berisi sangsi-sangsi terhadap yang melanggar aturan tersebut, sementara akhlak berisi tentang tuntunan perilaku dan adab kesopanan baik kepada Allah (hablum minallah) maupaun terhadap sesama manusia (hablum minannas). Ketiga unsur utama ajaran Islam ini pada intinya untuk mencapai tujuan teologis yakni sebagai rahmat bagi sekalian alam (QS. Al-Anbiya’: 21;107)
Pada sisi yang berbeda, disamping sebagai rahmat, secara spesifik dalam setiap aturan hukum terdapat konsep maqasid al-Syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terkandung dibalik hukum yang ditetapkan oleh syara’ berupa kemaslahatan bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat (Ensiklopedi Hukum Islam, 1997, Jilid 4; 1108). Konsep maqasid al-Syari’ah sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dari lima aspek ini, aspek terakhir yang menjadi perhatian Syari’at Islam adalah masalah harta. Harta harus dijaga dengan baik, tidak boleh saling mencurangi dan menuasai dengan cara yang batil dalam bermuamalah, tidak boleh menzalimi hak-hak anak yatim, mengkorupsi, melakukan penyuapan kepada hakim atau pejabat tertentu, memberikan hadiah dengan tujuan dan maksud khusus kepada seorang pejabat, mencuri atau merampok (M. Nurul Irfan, 2011: 2-4).
Melakukan korupsi jelas sangat bertentangan dan bentuk penghianatan akbar terhadap tujuan syari’at dalam pemeliharaan terhadap harta, oleh karena itu al-Qur’an sebagai sumber hukum dan pembentuk syari’at sangat mengutuk perbuatan korupsi. Korupsi lahir dari sifat tamak harta yang dilarang dalam al-Qur’an. Maka sangat benar prediksi Rasul dalam sebuah riwayat beliau berkata: “jika manusia diberikan satu gunung emas, apakah mereka merasa puas? Tidak, pastilah mereka minta lagi gunung emas berikutnya”. Dunia ini cukup untuk semua orang kecuali satu orang yang tamak, karena mereka tidak pernah puas terhadap apa yang ada sehingga melakukan segala cara untuk menambah terus-terus menerus, demikianlah kesan yang disampaikan oleh Mahatma Gandi kepada muridnya. Al-Qur’an pun mengancam orang-orang yang tiap hari terus menumpuk harta, menghitung, dan menganggap harta bisa membuatnya abadi, dengan melemparnya di neraka Huthamah yang membakar sampai hati (QS Al-Humazah 104:1-7).
Sesuai dengan apa yang dilansir dalam al-Qur’an dan hadis Rasul, maka dapat kita simpulkan bahwa korupsi merupakan perbuatan haram dan suatu dosa besar. Bahkan menurut Munir Mulkan secara ekstrim tindak korupsi dapat dikatakan sebuah kekafiran yang nyata, sebab kekafiran bukan semata-mata karena sesorang tidak bersedia menyatakan diri beriman kepada Tuhan secara formal (verbal/lisan), tetapi lebih empiris dalam praktek korupsi, politik uang, dan politik preman (dengan kekerasan). Penyelewangan jabatan, penggunaan berbagai ancaman kekerasan dalam praktek politik, manipulasi hukum dan perundangan yang berlakumerupakan bentuk pemalsuan lagika rakyat dan sekaligus pemalsuan kesalehan yang secara sistematis bisa menghancurkan sisitem demokrasi dan kesalehan keagamaan (Abdul Munir Mulkan, 2007: 224).
Kekafiran (ingkar terhadap Tuhan) orang yang melakukan korupsi menjadi nyata menurut Mulkan ketika sikoruptor sebenarnya tidak terlalu percaya bahwa Tuhan memperhatiakan dan melihat apa yang mereka lakukan dan tidak terlalu percaya bahwa Tuhan akan membalas setiap tindakan buruk yung mereka lakukan (ingkar pada hari akhir/pembalasan). Disamping itu kedermawanan dari hasil korupsi bisa merupakan tindakan mempermainkan kekuasaan Tuhan ketika pelaku percaya akan memperoleh ampunan dari Tuhan (Abdul Munir Mulkan, 2007: 224).
Menurut Syahatah jika diklasifikasikan secara sistematis bahwa diantara justifikasi syara’ (al-Qur’an) terhadap bahaya dan keharaman korupsi adalah;
Pertama, korupsi termasuk salah satu bentuk perampasan harta orang lain dengan cara yang kotor, batil, dan semena-mena. Deskripsi ini dalam al-Qur’an digunakan untuk menggambarkan orang yang melakukan korupsi (suap), seperti yang dilansir dalam surah al-Baqarah (2): 188
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Menurut Quraish Shihab, ayat ini secara tersirat terkait dengan pelarangan perbuatan menyogok dan disogok. Menurutnya dalam ayat ini perbuatan itu diibaratkan dengan perbuatan menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh air. Timba yang turun tidak terlihat oleh yang lain, khususnya yang berada jauh dari sumur. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwenang untuk memutuskan sesuatu, tetapi secara tersembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah, lalu dengan tegas ayat ini mengutuk perbuatan itu (M. Quraish Shihab, 2000, Vol I; 387).
Disamping itu Rasul juga dengan tegas melarang seseorang merampas harta orang lain beliau bersabada: “Diraramkan bagi setiap Muslim atas Muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya”. (RH. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam kesempatan lain Rasul bersabda: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan uluran kebaikan dari dirinya”. (Muttafaqun ‘Alaih).
Kedua, pihak-pihak yang terlibat dalam kasus korupsi adalah termasuk pembuat kerusakan di muka bumi yang wajib ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Sebab perilaku orang-orang ini akan dapat menimbulkan kekacauan dalam interaksi dan relasi sosial serta mengancam stabilitas masyarakat, mereka yang melakukan semua ini patut divonis sesuai dengan firman Allah QS. Al-Maidah (5): 33
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

Dalam sebuah hadis Rasul menegaskan: “Allah melaknat orang yang menyuap, penerima suap (korup), dan broker suap yang menghubungkan keduanya”.(HR Imam Ahmad). Sebab dalam perspektif hukum syara’ ketiga orang ini tergolong dalam kelompok orang yang melakukan kejahatan dan pelaku salah satu dosa besar.
Ketiga, jika yang melakukan korupsi (suap) berposisi sebagai hakim (qadhi), maka konpensasi dari penerimaan suap itu adalah memutuskan perkara sesuai dengan pesanan dari siapa yang menyuap, hal ini secara nyata adalah merupakan penyimpangan dari prinsip keadilan yang lebih ironis adalah bahwa keputusan yang diambil sudah pasti tidak berdasar pada apa yang telah diturunkan Allah pada sisi inilah al-Qur’an mengklaimnya sebagai orang yang kafir, zalim, dan fasik (QS. Al-Maidah (5): 44, 45, 47).
Keempat, penyebaran wabah korupsi (suap dan penggelapan) berdampak jelas pada ketimpangan sosial. Korupsi adalah mengambil hak rakyat yang dianggap kalangan atas sebagai masyarakat bodoh dan dungu, karena tidak bisa mengambil haknya secara adil dan tegas. Korupsi juga mencuri uang negara yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu korupsi yang dilakukan penguasa adalah dosa yang sangat besar karena mereka menurut al-Quran mengemban tanggung jawab untuk menegakkan keadilan tanpa diskriminasi demi kesejahteraan rakyat (QS An-Nisa’ 4:58), namun kenyataannya justru menyengsarakan rakyat.
Kelima, pada zaman Rasul perilaku seseorangberbuat curang dan menyimpang (korupsi) terhadap harta rampasan perang (ghanimah) diabadikan Allah dalam al-Qur’an sebagai orang yang berkhianat dan akan dan mereka akan dibalas setimpal dengan yang mereka lakukan (QS. Ali Imran: 3; 161). Bahkan ditegaskan pula bahwa siapa saja yang melakukan tindak korupsi kelak akan dipermalukan di hari kiamat, sebab dia akan membawa harta hasil korupsi tersebut di depan banyak orang. Rasul menjelaskan bahwa harta hasil korupsi itu akan dipikul oleh koruptor dan ia akan dipermalukan di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (HR. Bukhari dan Muslim).
Keenam, dalam sebuah riwayat hadis di jelaskan bahwa suatu saat Rasul SAW memrintahkan para sahabat untuk menyalati seorang jenazah, namun beliau sendiri tidak berkenan melaksanakannya. Para sahabat bertanya-tanya, tidak basanya Rasul berbuat demikian, ternyata keengganan beliau menyalati jenazah tersebut disebabkan karena jenazah tersebut semasa hidupnya sempat mengorupsi perhisan semacam intan atau manic-manikyang nilainya tidak mencapai batas minimal pencurian, yaitu dua dirham. Atas dasar ini Imam al-Nawawi menganjurkan agar para ulama dan orang-orang shaleh untuk tidak ikut menyalatkan jenazah orang yang berlaku fasik (koruptor) sebagai sebuah pelajaran dan mencegah bagi yang lain agar tidak mengikuti perbuatan fasik tersebut (M. Nurul Irfan, 2011: 137).
Demikianlah beberapa perspektif wawasan tentang korupsi dan pemberantasannya yang dapat penulis tangkap dari pesan dan kesan al-Qur’an, dengan sebuah catatan penting tentunya bahwa sebagai orang yang meyakini kitab mulia ini merupakan pedoman dan petunjuk (hudan), maka kita wajib menjauhi paling tidak membenci perbuatan korupsi. Jangankan melakukan hanya dengan berniat saja berarti kita sudah diklaim sebagai manusia yang menjauhi petunjuk al-Qur’an. Walaupun secara yuridis al-Qur’an tidak menyebutkan hukuman bagi koruptor, namun semangat rentetan ayat yang menyinggung masalah korupsi menjadikan al-Qur’an sebagai kitab yang membenci dan melaknat pelaku korupsi, dari sisi inilah kita dapat mengatakan bahwa korupsi merupakan bagian dari dosa besar.

Penutup: Terapi Islam (al-Qur’an) terhadap kejahatan korupsi
Sebagai sajian penutup, penulis akan memberikan beberapa catatan dalam rangka menggempur segaligus terapi dalam rangka membendung derasnya perilaku korupsi di tengah masyarakat Islam khusunya dan masyarakat dunia umumnya. Menurut penulis pendapat Husain Husain Syahatah dapat kita jadikan sebagi pegangan bagi terapi terhadap kejahatan korupsi (Husain Husain Syahatah, 2002: 35-39).
Masih menurut Syahatah, terapi Islam dalam mengatasi kejahatan korupsi bertumpu pada himpunan langkah persuasif, lebih tepatnya menurut penulis bertumpu pada daya gempur yang merasuk pada pendekatan moral-teologis dibarengi dengan kemauhan kuat dari orang-orang yang telah melakukan tindak korupsi untuk melakukan perubahan ekstrim dalam pemahamannya terhadap al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang menuntun kepada jalan yang diridhai Allah SWT.
Terapi al-Qur’an dalam mengatasi kejahatan korupsi secara moral-teologis dapat kita simpulkan sebagai berikut;
1. Pemahaman dan penumbuhan nilai-nilai keimanan, diantaranya perasaan selalu diawasi oleh Allah (QS. Al-Thariq:87; 4).
2. Penanaman nilai moral bahwa bekerja adalah ibadah, kepercayaan, tanggung jawab, kemuliaan, kehormatan, dan keluhuran yang pasti diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah (QS. Yasin:36; 65, al-Hijr:15; 92,93).
3. Penguatan komitmen untuk berperilaku lurus dan benar. Dalam implementasinya adalah dengan saling berlomba dalam kebajikan dan taqwa (QS. Al-Maidah:5; 2, al-‘Asr:103; 3).
4. Penerapan sistem reward and punishment yang bertumpu pada rasa keadilan dan persamaan perlakuan tanpa ada perbedaan (QS. Al-Maidah:2; 8, al-Nisa:4; 57, al-Nahl:16; 90).
5. Melakukan penyuluhan agama dan himbauan moral kepada seluruh pejabat dan pegawai agar selalu memegang teguh nilai keimanan, moral, dan etika. Sebab semakin kuat berpegang pada pada moral dan etika agama maka akan semakin berkurang kebobrokan sosial, ekonomi, dan budaya (QS. Thaha:20; 123-126).
6. Para elit dan pemimpin harus mengedepankan sikap dan tauladan yang mulia agar bisa menjadi contoh, hal inilah yang menjadi andalan Rasul dalam memimpin masyarakat (QS. Al-Ahzab:33; 21).
Pengejawantahan terapi al-Qur’an di atas dijamin mampu mewujukan kesalehan semesta, baik bagi kaum Muslim maupaun non Muslim (Husain Husain Syahatah, 2002: 38). Pada sisi lain terapi ini juga meniscayakan keimanan dan keyakinan bahwa Allah sang penguasa jagad semesta Maha pemberi rezeki, Maha Mengadili, Maha pemilik Kekuasaan, dan Dialah sumber segala keberkahan (QS. Al-A’raf:7; 96). Semoga kita semua mampu meyakini ini semua.
Sebagai untaian kata penutup tulisan sederhana ini intinya mengajak agar kita sejatinya menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan solusi dari segala persoalan hidup. Menjadikan al-Qur’an sebagai hudan meniscayakan kita melakukan reinterpretasi pemahaman al-Qur’an secara universal-konprehensif agar kita dapat menangkap pesan-pesan batin (tersirat) al-Qur’an. Sebab pemahaman tekstual (harfiah) terhadap al-Qur’an disamping membatasi cakupan maknanya, juga akan menghantam doktrin keabadiannya serta koherensi bagian-bagiannya (Mahfud Masduki, 2003: 3). Akibatnya persoalan-persoalan yang dalam al-Qur’an tidak dibahas secara jelas seperti masalah korupsi dianggap masalah yang tidak dibahas oleh al-Qur’an, sehingga tidak heran sementara orang menganggap al-Qur’an sebagai kitab yang tidak konprehensif. Wallahu A’lam.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkan, 2007, Manusia Al-Qur’an: Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius.
Ahmad Warson Munawwir, 1997, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif.
Amsal Bakhtiar, 2010, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
            , 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama RI, 2002, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Darus Sunnah.
Ensiklopedi Hukum Islam, 1997, Jilid. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Husain Husain Syahatah, 2005, Suap dan Korupsi dalam Perspektif Syariah, terj. Kamran As’ad Irsyady, Jakarta: Amzah.
M. Nurul Irfan, 2011, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah.
M. Quraish Shihab, 2002, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
             , 2000, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati.
             , 2011, Membumikan al-Qur’an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan, Tangerang: Lentera Hati.
Mahfudz Masduki, 2000, “Beberapa Prinsip dan Metode Penafsiran al-Qur’an” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Kalijaga.
Malik Ben Nabi, 2002, Penomena Al-Qur’an: Pemahaman baru Kitab Suci, terj. Farid Wajdi, Bandung: Marja’.
Nasr Haid Abu Zaid, 2003, Tekstualitas al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS.
Rosihon Anwar, 2001, Samudera Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia.