Halaman

Senin, 18 Juni 2012

Al-Fatihah dalam Perspektif Sosiologis


AL-FATIHAH SEBAGAI AL-QUR’AN in a Nutshell
(Menelusuri Pemikran Dawam Rahardjo Tentang al-Fatihah)


Key Word: Al-Fatihah, Penafsiran, Dawam Rahardjo
Al-Fatihah Sebagai al-Qur’an In a Nutshell [1]
1. Posisi al-Fatihah dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an, banyak surah ataupun ayat yang memiliki “posisi” serta makna tersendiri. Seperti misalkan surah al-ikhlas didalam sebuah riwayat hadis disebutkan bahwa surah al-ikhlas menyamai sepertiga dari al-Qur’an. Demikan juga halnya dengan surah yaasin, surah ini dikatakan sebagai kalbunya al-Qur’an, ayat kursi dikatakan sebagai penghulunya al-Qur’an, begitu juga dengan surah-surah lain dalam al-Qur’an.[2] Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat surah-surah ataupun ayat ayat yang memiliki posisi yang istimewa.
Surah al-Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak surah yang memiliki makna dan keistimewaan sendiri dalam al-Qur’an. Hal ini, disatu sisi dapat kita deteksi dari sejumlah nama yang disandangkan pada al-Fatihah. Bey Arifin mencatat sekitar tiga puluh lima nama dari surah al-fatihah dengan makna tersendiri. Diantara nama itu adalah: fatihatul kitab (pembuka/ pembuka kitab), ummul kitab (induk kitab), ummul qur’an (Induk al-Qur’an), al-Qur’an al- ‘azim (bacaan yang agung), al-Sab’u al-Masani (tujuh yang berulang-ulang), dan lain sebagainya.[3] Dari sini sebenarnya kita sudah bisa menggambarkan bagaimana posisi al-Fatihah dalam al-Qur’an.
Dalam susunan mushaf, al-Fatihah ditempatkan pada permualaan mushaf usmani, meskipun ulama sepakat bahwa surah ini bukan merupakan surah yang pertama diturunkan. Namun menurut Hamka bahwa surah ini dinamakan fatihatul kitab, karena kitab al-Qur’an dimualai dibuka dengan surah ini. Dia yang memiliki posisi awal dalam mushaf, dan dia juga yang awal mula dibaca ketika tilawatil Qur’an, walaupun sebenarnya bukan dia surat yang pertama diwahyukan pada Rasul. Satu hal yang menarik yang dikemukakan oleh Qurais Shihab. Dalam tafsir al-Qur’an al-Karim Quraish menempatkan surah al-Fatihah pada urutan pertama dalam susunan tafsirnya, walupun pada prinsipnya beliau tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa al-Fatihah merupakan wahyu yang pertama turun. Alasannya, bahwa al-fatihah populer dengan sebutan al-sab‘u al-Masani , sementara itu keterangan bahwa Allah menurunkan kepada Nabi al-sab‘u al-Masani (surah al-Hijr : 87), itu sendiri turun ketika nabi masih berada di Madinah.[4]
Disamping itu terjadi pula perbedaan pandngan tentang di mana persisnya surah al-Fatihah diturunkan (baca: asbab al-Nuzul). Dalam satu riwayat disebutkan bahwa surat ini turun di Mekkah. Namun pendapat lain mengatakan bahwa surat ini turun di Madinah, sementara pendapat terakhir, entah karena hanya ingin mengembil jalan tengah atau tidak, mengatakan bahwa surat ini turun dua kali yaitu pertama di Mekkah kemudian yang kedua turun di Madinah. Namun yang lebih mendekati benar mungkin adalah pendapat yang pertama, alasannya adalah bahwa shalat lima waktu difardukan di Mekkah, sedangkan dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa shalat dianggap tidak sah jika tidak membaca al-Fatihah.[5]
Terlepas dari kontrofersi di atas yang jelas bahwa posisi al-Fatihah dalam al-Qur’an adalah merupakan salah satu surah yang memiliki posisi sangat urgen di dalam al-Qur’an itu sendiri. Untuk hal itu, di sini penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana pendapat Dawam Raharjo tentang fungsi al-Fatihah terhadap al-Qur’an.
Dalam surah al-Hijr (15) ayat 87 dijelaskan :
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah turunkan (berikan) kepada mu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung”.[6]
Menurut Dawam, bahwa yang dimaksud dengan tujuh ayat yang diulang-ulang adalah diulang-ulangnya keterangan al-Fatihah dalam al-Qur’an. Namun pada dasarnya, ada banyak pendapat mengenai maksud dari as-sab‘u al-masani dari ayat di atas, mayoritas ulama memahaminya dalam arti surah al-Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat. Selain itu ada yang memmahaminya dalam arti tujuh surah yang panjang-panjang atau yang biasa dikenal dengan istilah al-sab‘u al-tiwal yaitu; surah Ali-Imran, an-Nisa’, al-Maidah, al-An’am, al-A’raf, al-Anfal, dan at-Taubah. Al-Biqa’i, sebagaimana yang dilansir oleh Quraish Shihab dalam tafsir al-misbah menjelaskan, setelah ia menghubungkan kata al-sab‘u al-masani dengan informasi tentang tujuh pintu neraka maka hal ini akan memberikan kesan bahwa setiap ayat dari al-fatihah jika diamalkan tuntunannya maka ia akan menjadi perisai yamg menutup pintu-pintu neraka.[7]
Syamsu Rizal Panggabean menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-sab‘u al-masani dalam surah al-Hijr di atas adalah tujuh kisah para nabi dia menganggap bahwa pengertian ini sesuai dengan kronologi turunnya ayat. Dia berpendapat bahwa pendapat mayoritas para ulama tentang pengertian al-sab‘u al-masani tidaklah bisa diterima. Artinya bahwa ayat 87 dari surah al-Hijr itu tidaklah ada sangkut pautnya dengan surah al-Fatihah maupun tujuh surah terpanjang dalam al-Qur’an. Alasanya, pertama bahwa tujuh surah yang terpanjang dalam al-Qur’an itu diwahyukan lebih awal dari surah al-Hijr ayat 87, jadi hal ini menjadi tidak sinkron sama sekali. Kemudian selain itu kedua, konteks ayat setelah ayat 87 surah al-Hijr hingga akhir terkait erat atau berfokus pada nabi itu sendiri. Jadi menurutnya yang benar adalah bahwa al-sab‘u al-masani atau tujuh ayat yang diulang-ulang merujuk pada kisah-kisah para nabi yang mana ummat mereka diazab oleh Allah karena kedurhakaannya. Ayat ini dimaksudkan untuk mengingatkan nabi saw. bahwa Allah telah mewahyukan kepadanya kisah yang diulang-ulang pengungkapannya dalam al-Qur’an.[8]
Dari pendapat-pendapat di atas secara umum cenrung mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-sab‘u al-masani adalah surah al-Fatihah karena surah ini diulang-ulang pembacaannya dalam shalat. Oleh karenanya, bagi Muhammad Abdel Haleem bahwa salatlah yang memberikan kepada surat al-Fatihah peran paling penting dalam peribadatan dan kehidupan Islam. Sebab sudah sangat jelas bahwa al-Fatihah merangkum esensi al-Qur’an dan esensi Islam, oleh karena itu al- Fatihah adalah surah yang paling refresentatif untuk dijadikan rukun salat. Dengan diwajibkannya shalat lima waktu maka, surah al-Fatihah sedikitnya harus dibaca sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam, hal ini menjadi sejalan dengan salah satu julukan al-Fatihah adalah al-sab‘u al-masani yaitu, tujuh yang diulang-ulang.[9]
Dalam pandangan Dawam bahwa maksud dari ayat 87 surah al-Hijr itu memang benar surah al-Fatihah akan tetapi kata yang diulang-ulang disitu bukanlah maksudnya diulang-ulang di dalam salat, tetapi diulang-ulang keterangannya dalam al-Qur’an. Dari pemahaman ini Dawam lalu berhipotesis; (1) tujuh ayat dalam al-Fatihah itu dijelaskan secara berulang-ulang dalam seluruh isi al-Qur’an, karena itu (2) intisari al-Qur’an tercakup dalam al-Fatihah, atau sebaliknya dapat dikatakan bahwa , (3) isi al-Qur’an menjelaskan tujuh ayat dalam al-Fatihah, sehingga (4) tujuh ayat dalam al-Fatihah membagi habis kandungan al-Qur’an, atau seluruh kandungan al-Qur’an dapat dibagi habis oleh tujuh ayat surah al-fatihah, dan karena itu (5) al-Fatihah disebut al-Qur’an yang agung, karena al-Fatihah adalah al-Qur’an in a nutshell (al-Qur’an dalam esensi).[10]
Pendapat ini dipertegas oleh at-Thabari, ia menjelaskan bahwa al-Fatihah berfungsi sebagai ummul qur’an karena ia merupakan esensi dari dari al-Qur’an, atau bisa dikatakan bahwa esensi al-qur’an sudah tercakup secara keseluruhan dalam surah al-Fatihah.[11] Pada dasarnya perbedaan pendapat tentang posisi al-Fatihah di dalam al-Qur’an merupakan implikasi dari pemahaman terhadap hadis nabi yang menerangkan bahwa al-Fatihah merupakan al-sab‘u al-masani dan sekaligus sebagai al-Qur’an yang agung. Hadisnya berbunyi:
Dari Hafs bin ‘Ashim dari Abi sa’id bin al-Mu’alla ia berkata; aku sedang mengerjakan shalat di masjid kemudian Rasul memanggil ku dan aku tidak menjawab, kemudian aku berkata; ya rasul sesugguhnya aku sedang mengerjakan sahalat. Nabi bersabda; tidaklah Allah telah berfirman penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila rasul menyerukan sesuatu yamg memberikan kehidupan kepada mu. Kemudian Nabi berkata kepada ku, akan ku ajarkan kepadamu satu surah yang lebih agung dari surah-surah yang lain dalam al-Qur’an, sebelum kamu keluar dari masjid. Kemudian Nabi meraih tangan ku ketika aku hendak keluar dari masjid. Aku berkata pada nabi, bukankah engkau telah berkata kepadaku akan mengajarkan satu surah yang paling agung dalam al-Qur’an. Nabi menjawab; al-hamdulillahi rabb al-amin adalah al-sab‘u al-masani adalah al-Qur’an yang agung yag telah diturunkan kepada ku.[12]
Bagi Dawam, dalam hadis di atas terlihat jelas bahwa al-sab‘u al-masani adalah surah al-Fatihah, disamping juga bahwa al-Fatihah sebagai umul qur’an (induk al-Qur’an) atau ummul kitab (induk kitab) dan dia juga merupakan al-Qur’an yang agung yang dituruunkan kepada nabi saw. Dari hasil hipotesis ini pada prinsipnya bahwa Dawam ingin mengemukakan bahwa al-Fatihah adalah merupakan al-sab‘u al-masani yang menjadi esensi dari al-Qur’an. Artinya, jika kita ingin mengetahui makna suatu surah kita perlu melihatnya dari perspektif al-Fatihah. Jadi, disamping ayat-ayat dan istilah-istilah dalm al-patihah dapat diuraikan lebih lanjut dengan ayat-ayat lain, ayat-ayat lain itu juga dapat dikembalikan kepada induk atau “ibu” dari al-Qur’an yaitu al-Fatihah.[13]
Untuk lebih memperjelas dari hipotesis Dawam ini mari kita lihat aplikasinya dalam al-Qur’an dengan memaparkan contoh-contoh dari tafsirannya.
2. Al-Fatihah: al-Qur’an in a nutshell
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk membuktikan hipotesisnya tentang al-Fatihah Dawam mengemukakan dua unsur yang harus dijalani yang pertama, mendaftar satu persatu istilah-istilah kunci dari al-Fatihah sepeti; hamdalah, sirat, din, ibadah, dan seterusnya. Nah, kata-kata kunci ini dapat kita cari penafsirannya dalam al-Qur’an itu sendiri. Dari kata sirat misalkan, kita akan berjumpa dengan istilah atau pengertian-pengertian lain dalam al-Qur’an, seperti sabil dan tahariq. Kata –kata atau istilah-istilah ini akan saling berkait-kelindan satu dengan yang lainnya, sehingga kita akan memperoleh struktur-struktur makna baru. Selanjutnya hasil dari ini akan mengantarkan kita pada perolehan makna-makna yang evolusionis. Untuk mempermudah dalam melacak hal ini kita ambil referensi tafsir dari ulama-ulama terdahulu tentang al-fatihah. Seperi; Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, maulana Ali al-Mawdudi, selain itu kita juga bisa melihat Samudera al-Fatihah karya Bey Arifin, kandungan al-Fatihah karya Bahrum Rangkuti dan tafsir-tafsir lain yang bisa mendukung. Semua ini akan mempermudah kita dalam menarik makna yang baru.
Selanjutnya, yang kedua, mengemukakan sebuah unsur metodis. Unsur metodis yang dimaksudkannya adalah melihat seluruh isi al-Qur’an dengan al-Fatihah. Menurut Dawam, Pada dasarnya al-Fatihah itu sangatlah difahami. Namun sebenarnya, istilah-istilahnya secar mikro mengandung makna yang dalam, atau mengandung suatu substansi makna.[14]
Disatu sisi, sebagai keseluruhan yang mudah dipahami, maka al-Fatihah berkedudukan sebagai ayat-ayat yang muhkamat.[15] Berhadapan dengan al-Fatihah yang muhkamat, batang tubuh al-Qur’an berkedudukan sebagai ayat-ayat yang mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang “menyerupai” yang di sini berfungsi menjelaskan ayat-ayat yang muhkam. Namun pada sisi lain, dalam surah ali-Imran/3:7 dijelaskan bahwa ayat-ayat muhkamat atau ayat-ayat yang menentukan itu, disebut umm al-Kitab atau induk kitab yang berfungsi sebagai landasan, dan sebagai sumber mata air atau induk referensi dari ayat-ayat lain yang mutasyabihat. Dalam kedudukannya itu, al-Fatihah berfungsi sebagai asas atau kaca pembesar untuk melihat batang tubuh al-Qur’an. Dengan perkataan lain bahwa al-Fatihah berfungsi sebagai paradigma untuk menyoroti ayat-ayat lain.[16]
Pengertian muhkam dan mutasyabih yang di sampaikan oleh Dawam Raharjo ini, sepertinya agak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh beberapa ulama. Seperti misalnya, Yusuf Qardhawi menurutnya, makna dari muhkam adalah yang jelas dengan sendirinya, dan menunjukkan maknanya dengan terang benderang, tanpa ada kesamaran dari segi lafal maupun makna. Sedangkan kata mutasyabih adalah memiliki pengertian yang samar atau sulit karena kemiripannya dengan yang lain baik dari segi makna maupun lafal.[17]
Lain halnya dengan Suhbi as-Salih, menurutnya kita bisa mengatakan bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkam, jika yang kita maksud dengan muhkam itu adalah kokoh, kuat, indah susunannya dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik dalam hal lafaz-lafaznya, rangkaian kalimatnya, maupun maknanya. (Surah Hud ayat 1). Dan begitu juga sebaliknya kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an adalah mutasyabih jika yang kita maksudkan dengan mutasyabih itu sebagai kesamaan ayat-ayatnya dalam hal balagah, dan i’jaz serta dalam hal kesukaran membbedakan mana bagian al-Qur’an yang lebih afdhal. Akan tetapi secara sederhana dapatlah kita simpulkan bahwa pengertian muhkam adalah bermakna jelas sedangkan mutasyabih adalah mermakna tidak jelas.[18] Dari beberapa pendapat ini jelas kiranya pemahaman Dawam tentang muhkam dan mutasyabih kelihatan agak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para ulama.
Terlepas dari perbedaan itu semua, sebenarnya inti yang ingin disampaikan Dawam adalah menegaskan bahwa, disamping ayat-ayat dan istilah-istilah dalam al-Fatihah dapat diuraikan lebih lanjut dengan ayat-ayat yang lain, ayat-ayat yang lain juga dapat dikembalikan kepada induk atau “ibu” dari al-Qur’an, yaitu al-Fatihah. Artinya bahwa disini tercipta hubungan timbal balik antara al-Fatihah dengan ayat-ayat lain yang ada dalam al-Qur’an atau batang tubuh al-Qur’an itu sendiri.
3. Contoh-contoh Tafsir
Dari paparan di atas mari sama-sama kita melihat penerapan dari metode yang dikemukakan Dawam tentang al-Fatihah ini. Misalnya kita lihat dalam surah yang turun setelah al-Fatihah yaitu surah al-Masad atau surah al-Lahab[19] (111): 1-5 yang berbunyi;
Dua tangan Abu lahab akan binasa
Dan dia sendiri juga akan binasa
Harta dan segala usahamya
Tidak akan berguna baginya
Ia akan terbakar dalam api yang menimbulkan nyala
Dan isrtinya, pembawa kayu bakar
Dan lehernya terjerat tali pintal
Menurut Dawam bahwa ayat di atas adalah merupakan ayat yang mutasyabiat. Menurutnya bahwa Abi Lahab bukanlah nama seseorang, tetapi ia merupakan julukan yang diberikan kepada paman nabi yaitu ‘Abd al-‘Uzza. Dari keterangan hadis rasul yang berkaitan dengan turunnya ayat ini menurut Dawam bahwa hadis yang diriwayatkan oleh imam bukhari menjelaskan bahwa turunya ayat ini sehubungan dengan tantangan dari paman nabi tersebut.[20]
Abu Lahab dikenal sbagai orang yang bertempramen panas karena itu ia dijuluki dengan bapak api yang menyala, kemudian dua tangan Abu Lahab akan binasa, menurut Dawam hal ini melukiskan akan sia-sianya segala usaha Abu Lahab. Sementara itu, harta yang membuat dia berwibawa dan yang dapat pula dia pergunakan untuk melakukan kekerasan tidak akan berguna. Malah justru itu semua akan menimbulkan kehidupan yang panas baginya serta penuh dengan permusuhan. Begitu pula dengan istrinya. Istri dari ‘Abd al-‘Uzza, juga termasuk orang yang suka menyampaikan berita bohong dan menyebarkan fitnah tentang rasulullah. Perbuatan seperti ini dilukiskan seperti membawa kayu bakar, yang membakar seluruh masyarakat dengan berita bohong dan fitnahnya itu. Tetapi akibat perbutannya itu, istri ‘Abd al-‘Uzza justru hidup dalam kesesakan yang menyebabkan ia susah bernafas. Bagaikan lehernya diikat dengan tali pintalan.[21]
Karena ayat di atas adalah ayat yang mutasyabihat, maka menurut Dawam surah ini tidak hanya berlaku untuk ‘Abd al-‘Uzza dan istrinya saja. Ayat di atas jelas menggambarkan tentang orang yang yang menentang kebenaran. Oleh karena itu, ayat ini dapat berlaku ditempat dan pada waktu yang lain. Sekarang, dan sepanjang zaman kita akan menjumpai orang seperti Abu Lahab dan istrinya, sebab pesan ayat di atas dilukiskan dalam bahasa ungkapan.
Jadi menurut Dawam, bahwa dalam perspektif al-Fatihah, surah ini merupakan keterangan lebih lanjut dari bagian ayat 7, yang mengilustrasikan golongan magdub atau golongan yang terkena murka Allah karena sikap dan perbuatannya yang menentang kebenaran. Selain dalam surah al-Lahab, pencerminan tentang golongan magdub atau perbuatan yang akan mendapatkan murka Allah, banyak terdapat dalam al-Qur’an, seperti dalam surah al-Ma’un/107, dilukiskan juga tentang perbuatan golongan yang magdub yaitu; berlaku kasar pada anak yatim, yang tidak menganjurkan memberi makan pada orang miskin, alpa dari tujuan shalat mereka, dan memamerkan perbuatan yang dianggap baik, tetapi tidak melakukan perbuatan cinta dan kasih. Selain itu menurut Dawam surah al-‘ashr/103, melukiskan golongan yang mendapat nikmat, yaitu; orang yang beriman, beramal saleh, dan berwasiat tentang kebenaran dan ketakwaan.
Ayat lain yang dapat menggambarkan golongan yang beroleh nikmat atau dalam bahasa al-Fatihah disebut allazina an ‘amta ‘alaihim dapat kita lihat dalam surah al-Bayyinah/95:5. Di sana terlihat bahwa orang-orang yang mengabdi kepada Allah, dengan ikhlas dan patuh kepada-Nya, dengan lurus, serta menegakkan shalat dan membayar zakat, yakni mereka yang menjalankan agama yang benar. Kemudian dalam al-Infithar/82:13, juga dijelaskan tentang gologan yang memperoleh kenikmatan yaitu; sesungguhnya orang-orang yang tulus (abrar) ada dalam kenikmatan. Dari keterangan-keterangan di atas menurut Dawam dapatlah kita katakan bahwa keterangan dalam surah al-Fatihah diulang-ulang dalam batang tubuh al-Qur’an.
Selain contoh di atas, dalam surah-surah pendek periode Makiyah, terdapat keterangan langsung sebagai penjabaran dari ayat-ayat al-Fatihah. Misalnya dalam surah al-Ikhlas/112 dapat kita simpulkan bahwa surah ini adalah penjelasan lebih lanjut dari ayat 1 dan 2 surah al-Fatihah. Begitu juga halnya dengan surah al-Kafirun. Surah ini secara ekslusif merupakan penjelasan dari ayat 5 surah al-Fatihah. Begitu juga dengan surah al-Rahman/55, merupakan implikasi dari sifat Allah yang maha pengasih (Rahman) yakni pada ayat 1 dan 2.
Namun demikian menurut Dawam, jika dalam surah-surah pendek mungkin kita bisa dengan mudah mendeteksi keterangan-keterangan lebih lanjut tentang surah al-Fatihah. Sebab secara umum dalam surah-surah pendek tersebut hanya membahas satu atau dua pokok bahasan. Akan tetapi, yang menjadi pemasalahannya adalah ketika kita berhadapan dengan surah-surah yang panjang, sebab surah-surah panjang tersebut notabene memiliki banyak pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya, oleh karena itu, kita akan kesulitan untuk menafsirkannya dalam perspektif al-Fatihah.
Disini perlu kita ingat, bahwa surah-surah panjang seperti; al-Baqarah, ali-Imran, al-Nisa’, atau al-Maidah, dan lain semacamnya, berisikan pokok permasalahan yang beragam, yang meloncat dari satu pembahsan kepada pembahsan yang lain. Oleh karena itu menurut Dawam, cara melihatnya adalah dengan menilai surah demi surah, atau kelompok surah, atau kelompok kalimat dan bagian keterangannya. Misalkan pada surah al-Baqarah/2. kita mengambil ayat 1-5;
Alif laam miin.
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Menurut Dawam bahwa ayat ini adalah penjelasan lenih lanjut tentang apa itu sirat al-mustaqim yang disebutkan dalam al-Fatihah ayat 6. seperti tampak pada bunyi al-Baqarah/2:5: mereka itulah yang berda pada jalan yang benar(mendapat petunjuk) dari tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Ayat ini juga sekaligus menerangkan golongan yang beroleh nikmat dari Allah (al-Fatiahah/1:7). Mereka itu golongan orang-orang bertakwa, yang kualifikasinya dijelaskan pada ayat 3-4 surah al-Baqarah.
Begitulah seterusnya, sehingga kita mendapatkan dapatkan bahwa isi dari al-fatihah keterangannya selalu diulang-ulang dalam batang tubuh al-Qur’an. Dari sini jugalah kita akan dapat temukan bahwa al-fatihah adalah kunci untuk membuka keterangan yang termuat dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, dalam menafsirkan suatu ayat, kita selalu berusaha mencari dan menemukan pokok gagasan, dengan al-Fatihah sebagai kriteria atau mikroskopnya.[22]

4. Kesimpulan
Al-Qur’an dalam kapasitasnya sebagai kalam tuhan tidak dapat diganggu-gugat keabsoutannya, namun sebagai teks al-Qur’an merupakan sebuah korpus terbuka yang sangat potensial untuk meneria segala macam bentuk eksploitasi, baik berupa bacaan, penerjemahan, penafsiran, hingga mengambilnya sebagai sebuah sumber rujukan. Kehadiran teks al-Qur’an telah melahirkan pusat wacana keislaman yang tak akan pernah berhenti menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dalam menggali makna-makna yang terkandung di dalamnya.[23]
Berkait dengan hal ini sebenarnya Dawam Rahardjo melalui pemikirannya, ingin memosisikan al-Qur’an sebagai sebuah korpus yang selalu terbuka untuk ditafsirkan, hal ini tercermin dari apa yang telah dipaparkan di atas. Dalam kapasitasnya sebagai sarjana sosial ia ingin menyampaikan sebuah metode tafsir yang dia anggap mudah untuk diserap bagi semua kalangan. Tulisan ini sebenarnya hanya merupakan sebuah eksplorasi dari apa yang ingin dipaparkan oleh Dawam, semoga tulisan singkat ini dapat menambah wacana dan dapat dijadikan sebgai bahan diskusi lebih dalam.


[1]Kata nutshell adalah berasal dari bahasa Inggris, terdiri dari dua suku kata yaitu kata nut yang artinya; kacang-kacangan atau biji-bijian, sementara kata shell memiliki arti; kulit, kerang, rumah, selongsong, atau granat yang belum diledakkan. Lihat, Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, An Englis-Indonesia Dictionary (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 399 dan 521. Namun dalam pengertiannya, Dawam menjelaskan bahwa arti dari kata nutshell adalah esensi atau induk. Jadi maksud kata itu adalah bahwa al-Fatihah merupakan esensi atau induk dari al-Qur’an. Artinya, bahwa kulit kacang dimaknai sebagai pembungkus atau pembalut dari isi kacang. Jadi jika al-Fatihah dimisalkan seperti kulit kacang maka maksudnya adalah bahwa; isi kandungan al-Fatihah mencakup/membungkus dari seluruh ini al-Qur’an (pen). Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Abdel Haleem, beliau menyatakan bahwa surah al-Fatihah merupakan pembuka al-Qur’an sekaligus menjadi esensinya, sehingga Rasul menyebut surat ini sebagai Ummul Qur’an (induk/esensi al-Qur’an). Oleh karenanya, al-Fatihah merangkum keseluruhan pesan al-Qur’an, tentang Allah beserta sifat-sifatNya, hubungan antara Dia dengan alam, pesan Allah melalui para Nabi untuk dijadikan petunjuk, dan berbagai tanggapan maupun nasib berbagai umat. Lihat Muhammad Abdel Haleem, Memahami al-Qur’an: Pendekatan Gaya dan Tema, terj. Rofik Suhud (Bandung: Marja’, 2002), hlm. 38.
[2]Bey Arifin menyebutkan ada beberapa surah lain yang memiliki keistimewaan serta kelebihan bila dibanding dengan surah yang lain dalam al-Qur’an. Lebih jauh dia juga mengutip pendapat para ulama tentang penyebab diistimewakannya surah-surah tertentu dalam al-Qur’an. Salah satunya misalkan bahwa adanya amalan-amalan tertentu terhadap satu surat atau ayat yang dianggap lebih baik dari ayat atau surat lainnya. Lihat, Bey Arifin Samudera al-Fatihah (Surabaya: PT. Bina Ilmu,2002), hlm. 2.
[3]Ibid, hlm.13.
[4]Salah satu ulama yang menyatakan bahwa al-Fatihah merupakan wahyu yang pertama diturunkan adalah Muhammad Abduh (1849-1905). Untuk lebih jauh lihat Quraish Shihab Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdsarkan Urutan Turunya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 3-4.
[5]Untuk lebih jauh masalah asbab al-Nuzul surah al-Fatihah lihat Hamka Tafsir al-Azhar juz I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), hlm. 80-81.
[6]Dalam penjelasan al-Qur’an dan terjemahan milik Departemen Agama menjelaskan bahwa tujuh ayat yang diulang-ulang iu adalah al-Fatihah. Namun sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa tujuh yang diulang-ulang itu adalah tujuh surah yang panjang, yaitu al-Baqarah, ali-Imran, al-Maidah, an-Nisa, al-A’raf, al-An’am, dan al-Anfal atau at-Taubah. Tim Depatemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya: Seuntai Mutiara yang Luhur (Bandung: J-ART, 2004), hlm. 268.
[7]lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. VII (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 162.
[8]lebih jauh Syamsu Rizal Panggabean menjelaskan bahwa kisah-kisah yang dimaksudkan Allah yaitu terdapat dalam surah XXVI ayat 10-191. adapun kisah-kisah yang dimaksud adalah; Kisah Nabi Musa danpengikutnya (ayat 10-68), kisah Ibrahim dan kaumnya (ayat 69-104), kisah Nuh dan kaumnya (ayat 105-122), kisah Hud dan kaumnya (ayat 123-140), kisah shalih dan kaumnya (ayat 141-159), kisah Luth dan kaumnya (ayat 160-175), dan yang terakhir kisah Syu’aib dan kaumnya (ayat 176-191). Syamsu Rizal Panggabean,”Makna Muhkam Mutasyabih dalam al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an No 7, Vol. II tahun 1990, hlm. 46-50.
[9]Muhammad Abdel Halem, Memahami al-Qur’an: Pendekatan Gaya dan Tema, terj. Rofiq Suhud (Bandung: Marja’, 2002), hlm. 39.
[10]M. Dawam Rahardjo, Paradigma al-Qur’an……, hlm. 61.
[11]Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-Thabari Jami’ al-Bayan juz. I (Beirut: Dar al-Fiqr, 1995), hlm. 73.
[12]Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa perawi diantaranya, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibnu Mugirah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari Juz V (Beirut: Dar al-Fiqr, 1981), hlm. 146. lihat juga Jalaluddin al-Suyuti, Sunan al-Nasa’i Juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, t.th), hlm. 139. dalam Sunan Abi Dawud juga diberitakan tentang hal ini, meskipun redaksi hadisnya agak berbeda. Untuk lebih jauh lihat al-Imam Abi Daud al-Sajastani, Sunan Abi Dawud Juz II (Beirut: Dar al-Fiqr, t.th), hlm. 71.
[13]M. Dawam Rahardjo, Paradigma al-Qur’an……, hlm. 64.
[14]Ibid, hlm. 62.
[15]Dalam surah ali-Imran dijelaskan; Dialah (Allah) yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kalian. Diantaranya terdapat ayat-ayat muhkamat. Itulah ummul kitab(pokok-pokok isi al-Qur’an), dan yang lain adalah mutasyabihat.
[16]Ibid, hlm. 63.
[17]Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an terj. Abdul Hayyei al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 386.
[18]Suhbi as-Salih, Membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm.372.
[19]Pandangan Quraish shihab berbeda dengan apa yang disampaikan Dawam tentang turunya surah ini. Menurut Quraish surah ini turun setelah surah al-Muddasir bukan sesudah surah al-Fatihah sebagaimana yang dimaksudkan oleh Dawam. Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir……,hlm. 365.
[20]Dari keterangan Quraish shihab dijelaskan ada dua pendapat yang berhubungan dengan tururnnya (asbab al-nuzul) ayat ini pertama, ketika rasul naik kebukit Shaffa untuk berdakwah mengajak keluarga beliau masuk Islam. Kemudian hal ini didengar oleh Abu Lahab kemudian ia berkata: tabban laka, apakah untuk ini kamu memanggil kami. Setelah itu maka turunlah surah ini. Kemudian yang kedua, pada suatu saat kaum Quraish berkumpul memenuhi ajakan nabi, kemudian nabi berkata; apakah kalian percaya kepada ku? Mereka menjab kami percaya, kemudian nabi berkata kepada mereka”aku membawa peringatan (dari Allah), dihadapan kalian ada siksa yang pedih (jika kalian tidak percaya pada ku). Mendengar ini Abu Lahab berkata: tabban laka. Lihat, Ibid, hlm. 366.
[21]M. Dawam Rahardjo, Paradigma al-Qur’an……, hlm. 65.
[22]ibid. hlm. 68
[23]Muhammad Shahrur, Prisip dan Dasar Hermeneutika Kontemporer, Sahiron Syamsuddin. Ed, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm. Xvi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar