Halaman

Kamis, 17 Februari 2011

EPISTEMOLOGI KEILMUAN

Epistimologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah: Kaitan dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Umum dan Pendidikan Keislaman 

 A. PENDAHULUAN

 Secara historis, warisan peradaban khususnya peradaban Islam mewarisi peradaban yang "kurang menarik". Ke-kurang menarikan ini terlihat dari adanya dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama, hal ini terjadi selama berabad-abad dalam peradaban Islam. Masing-masing berdiri sendiri tanpa adanya tegur sapa. Di Indonesia dikotomi ini lalu berdampak secara struktural-politis dengan berdirinya Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama di awal kemerdekaan Republik ini. Terpisahnya dua depertemen ini, khusus dalam hal pendidikan menambah sempurnanya dikotomi yang dimaksud. Dari waktu ke waktu, upaya untuk mendekatkan kembali jurang pemisah atau gap antara keduanya, khususnya dalam wilayah pendidikan semakin tampak nyata. Untuk mengurangi ketegangan yang seringkali sangat kontra-produktif ini, Amin Abdullah dalam hal ini, lalu menawarkan paradigma keilmuan "interkoneksitas" dalam studi keislaman. Paradigma interkoneksitas secara aksiologis, hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan berpandangan kedepan. Secara ontologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair. Meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks keagamaan (hadlarah al-nash), dan budaya yang mendukung keilmuan faktual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman (hadlarah al-'ilm) serta budaya pendukung keilmuan etis-filosofis (hadlarah al-falsafah) masih tetap ada. Hanya saja, cara berfikir dan sikap keilmuwan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini perlu berubah. Makalah ini akan membahas seputar, paradigma epistimologi M. Amin Abdullah tentang konsep Integratif-Interkonektif yang diusungnya, disamping itu dalam makalah ini akan disinggung juga tentang implikasi konsep ini terhadap keilmuan umum dan keilmuan agama (Islam), sejauh mana kontribusi yang dihasilkan oleh paradigma Integratif-Interkonektif untuk kemajuan kedua keilmuan tersebut, apakah mampu memberikan kontribusi positif atau sebaliknya.

B. BIOGRAFI DAN KARYA M. AMIN ABDULLAH 

Masa Kecil dan Pendidikan 
Sebelum masuk kepada pemikiran Amin Abdullah di sini akan dibahas terlebih dahulu tentang biografi Amin Abdullah. Namun di sini penulis tidak mencatumkan biografi M. Amin Abdullah secara menyeluruh, agar makalah ini lebih singkat. Nama aslinya adalah Muhammad Amin Abdullah, lahir di desa Margomulyo, Tayu, kabupaten Pati, Jawa Tengah pada tanggal 28 Juli 1953, atau 55 tahun yang lalu. Terlahir dari keluarga yang sederhana tapi bersahaja, Amin kecil telah memperlihatkan kecerdasannya, oleh orang tuanya kemudian beliau dikrim ke Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa timur. Di sana beliau menimba ilmu dengan tekun hingga kemudian sampai menamatkan Kulliyat Al-Mua'allimin Al-Islamiayah (KMI), Pesantren Gontor pada tahun 1972 dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) pada 1977 di Pesantren yang sama, kemudian beliau melanjutkan kuliahnya pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama pada tahun 1982. Keinginanya untuk kuliah atau sekolah ke luar negeri sedari kecil akhirnya tercapai, sebab pada tahun 1985 atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, Amin Abdullah mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Turki dengan mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Departement of Philosophy, Faculty of Art And Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Beliau kemudian menulis disertasi dengan judul The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, Disertasi ini kemudian diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Selain itu juga beliau juga pernah mengikuti program Post-Doctoral di McGill University Kanada pada tahun 1997-1998. Selama masih menjadi mahasiswa, Amin Abdullah sangat aktif diberbagai organisasi, diantaranya beliau pernah menjabat ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987, sambil memanfaatkan masa libur musim panas, pernah bekerja part-time, pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia, kemudian pernah juga menjabat sebagai Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah (1988), dan Madinah (1989) Arab Saudi. Sekarang masih menjabat sebagai dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin dan juga pengajar pada Program Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, beliau juga menjabat sebagai tenaga pengajar di berbagai Universitas di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Pada tahun 1998-2001 menjabat sebagai Purek I (bidang Akademik) pada IAIN Sunan Kalijaga. Pada januari 1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam ilmu Filsafat, selanjutnya dari tahun 2002-sekarang (dua periode) menjabat sebagai Rektor IAIN/ UIN Sunan Kalijaga. Dalam organisasi kemasyarakatan, dia pernah menjabat Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1991-1995. setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah yakni wakil ketua (2000-2005). 2. Karya-Karya Ilmiah Sebagai seorang akademisi, disamping kesibukannya mengajar di berbagai Universitas, Amin Abdullah juga aktif menulis, hal ini dapat dilihat dari beberapa buku yang pernah dia tulis, antara lain: Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 1995). Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), selain itu karya terjemahan nyang juga diterbitkan antara lain Agama dan Akal Fikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985), Pengantar Filsafat lslam Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989). Dalam berbagai kesempatan dia juga menulis pada berbagai Jurnal seperti; Jurnal Ulumul Qur'an (Jakarta), Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa Jurnal keilmuan Islam yang lain. Disamping itu, dia juga aktif mengikuti seminar baik yang di dalam negeri maupun yang di luar negeri. Seminar internasional yang pernah diikutinya antara lain; "Kependudukan dalam Islam", Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992, "Lokarya Program Majelis Agama ASEAN" (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; "Islam and Civil Soceity: Messages from Southeast Asia", di Tokyo, Jepang; "al-Tarikh al-Islamy wa Azamah al-Huwiyyah", Tripoli, Libiya, 2000, "Gender Issues in Islam'' Kuala Lumpur, Malaysia 2003. Selanjutnya; "From Terrorism to Global Ethic: Religion and Peace"' Moscow, 5-10 Juni2005, serta berbagai seminar yang lainnya. Demikianlah sekilas tentang biografi M. Amin Abdullah yang dapat dijelaskan dalam makalah ini, walaupun tidak secara gamlang namun menurut penulis hal ini sudah dapat mewakili perkenalan kita dengan bapak Amin Abdullah yang saat ini masih menjabat sebagai rektor di UIN Sunan Kalijaga yang tercinta ini.

C. PENDEKATAN INTEGRATIF-INTERKONEKTIF

 1. Dikotomi Keilmuan Umum dan Agama
Hingga kini, masih kuat anggapan pada masyarakat luas bahwa antara "agama" dan "ilmu" adalah dua kekuatan yang tidak dapat disatukan. Kedua entitas ini bagi mereka memiliki wilayah sendiri yang terpisah satu dengan yang lainnya, hal ini juga terlihat dari berbagai aspek, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing, bahkan pada institusi penyelenggaranya. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa, ilmu tidak mempedulikan agama, begitu juga sebaliknya bahwa agama tidak mempedulikan ilmu. Jika kita kembali pada sejarah masa lalu, dalam sejarah kependidikan Islam disatu sisi, telah berkembang pola keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik yang dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun. Namun pada sisi lain, hal ini lalu berhadapan dengan pola keilmuan agama yang spesifik-parsialistik yang dikembangkan oleh para ahli hadis dan ahli fikih. Keterpisahan secara diametral antara keduanya inilah yang berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya. Jika kita perhatikan saat ini, kemajuan dan perkembangan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi Umum, secara tidak langsung telah terlepas dari ikatan nilai-nilai moral dan etika kehidupan manusia pada satu pihak, sementara pada pihak lain, penekanan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan terjadi pada Perguruan Tinggi Agama (baca; Islam). Imbasnya kemudian adalah keduanya lalu mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-keagamaan. Tercermin di sini bahwa ilmu-ilmu sekular yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang nota bene dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, tidak mampu memecahkan banyak persoalan, serta mengalami kemandekan dan kebuntuan, tidak mampu memberikan alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan masyarakat, selain itu bias-bias kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban), sangat jelas terlihat. Dari latar belakang inilah maka diperlukan sebuah gerakan rapprochement (yakni kesedian untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan menjadi sebuah keniscayaan. Gerakan rapprochement secara sederhana dapat disebut sebuah gerakan penyatuan atau reintegrasi epistimologi keilmuan, adalah sebuah keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga pada milenium ketiga, serta tanggungjawab kemanusian bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagai khalifah Allah fi al-ardh. Jaring Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik Untuk menjembatani dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, Amin Abdullah membuat sebuah ilustrasi yang biasa dikatakan dengan jaring laba-laba keilmuan. Baginya, agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik sosial maupun budaya secara global. Melalui al-Qur'an, agama memberikan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan serta dapat dijadikan sebagai teologi ilmu serta grand theory ilmu. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan, namun agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, sumber pengetahuan itu ada dua macam, yakni pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia, sehingga penggabungan antara keduanya disebut teoantroposentris. Bagi Amin Abdullah, modernisme dan sekularisme sebagai hasil dari turunanannya, yang meniscayakan difernsiasi yang ketat diberbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, artinya bahwa dengan spesialisasi dan penjurusan yang sangat sempit dan dangkalakan memeprsempit jarak pandang atau horizon berfikir. Dalam konteks ini pada peradaban pasca modern perlu adanya perubahan, perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan puncaknya adalah dediferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali). Jika defirinsiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor diluar agama, termasuk di dalamnya adalah antara agama dan ilmu. Dalam pemahaman jaring laba-laba keilmuan yang ditawarkan oleh Amin Abdullah, akan dihasilkan paradigma keilmuan baru yang menyatukan dan menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan fikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik). Hal ini tidak lalu mengakibatkan pengecilan peran Tuhan atau mengucilkan manusia sehingga teralieniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar atau lingkungan hidup sekitarnya. Namun konsep ini akan dapat menyelesaikan konflik antara sekularisme-ekstrim dan fundamentalisme-negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal. Kita akan melihat satu contoh ilmu yang bercorak integralistik dalam ilmu ekonomi syariah misalnya, yang sudah nyata adanya praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan fikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha agrobisinis dan lain-lain. Agama dalam hal ini menyediakan etika dalam perilaku ekonomi diantaranya ada bagi hasil (al-Mudharabah), dan kerja sama (al-musyarakah). Di sini terlihat adanya proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi semua orang, bahkan yang non agama dan anti agama sekalipun. Dari orang yang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan li al-'amin). Jadi, menurut Amin Abdullah bahwa jaring laba-laba keilmuan teoantroposentris-integralistik, akan memperlihatkan bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisionalmaupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Disamping itu, akan terlihat sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dan cekatan dalam menangani dan menganalisa isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam(natural science), ilmu-ilmu sosial (social science), dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segala-galanya, bahwa dalam setiap langkah yang akan ditempuh, selalu dibarengi landasan etika moral keagamaan objektif dan kokoh, sebab keberadaan al-Qur'an dan as-Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschaung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraaan manusia secara bersama-sama tanpa memandang latar belakang entitas, agama, ras maupun golongan. Harapan kedepan bahwa pola kerja keilmuan yang integralistik akan memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti sosiologi, psikologi, antropologi, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum, dan peradilan serta lainnya.

2. Dari Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkonektif
 Perubahan IAIN menjadi UIN disatu sisi masih banyak menyisakan kekhawatiran sementara orang. Mulai dari kecemasan akan nasib fakultas keagaman seperti Adab, Dakwah, Syari'ah, Tarbiah, dan Ushuluddin sampai kepada kehawatiran tentang kurikulum, akankah struktur keilmuan, kurikulum dan silabi sama dan sebangun dengan sebelum dan sesuadah menjadi UIN? Namun pada sisi lain, yang paling penting (menurut penulis) adalah bahwa dengan berubah menjadi UIN maka problem dikotomi keilmuan yang selama ini terjadi pada IAIN akan dapat teratasi secara maksimal. Pernyataan terakhir ini akan penulis respon dalam tulisan berikut ini, seperti juga yang menjadi bahasan dalam pemikiran Amin Abdullah. Menurut Amin, pada dasarnya keilmuan manusia secara umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok yakni; natural sciences, social, dan humanities. Oleh karena itu syarat yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk mendirikan sebuah universitas, setidaknya harus terpenuhinya 6 program studi umum dan 4 program studi sosial, akan tetapi para ilmuwan sekarang mengeluh tentang output yang dihasilkan universitas yang berpola demikian. Hal ini sama dengan keluhan terhadap alumni perguruan tinggi agama yang hanya mengetahui soal-soal "normativitas" agama, tetapi kesulitan memahami historisitas agama, belum lagi masuk pada persoalan pokok yakni tentang perpaduan antara "ilmu" dan "agama". Dalam pengertian lain apakah keilmuan agama akan berdiri sendiri (single entity) tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum yang lain dan begitu pula sebaliknya ataukah mengikuti model isolated intities dalam arti masing-masing ilmu berdiri sendiri, tahu keberadaan rumpun ilmu yang lain tapi tidak melakukan persentuhan dan tegur sapa secara metodologis, atau model interconnected entties, dalam arti masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalau menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuhpersoalan pendekatan (approach) dan metode berfikir dan penelitian (process and procedure). Pada tataran praksis, keluhan bukan keluhan bukan pada pembagian ilmu yang sudah mapan, tetapi lebih pada mengapa masiswa dan dosen pada bidang natural science tidak mengenal isu-isu social-science, dan humanites dan lebih-lebi religious studies dan begitu sebaliknya. Keterpisahan dan keterfregmentasian ini berakibat luar bisasa pada dunia birokrasi, dunia pemerintahan, dunia BUMN, dunia bisnis, dunia usaha, lingkungan hidup dan duna pekerjaan pada umumnya. Keterpisahan ini hanya akan mencetak dan menelurkan ilmuan dan praktisi yang tidak memiliki karakter. Indonesia dan dunia ketiga pada umumnya yang mengikuti begitu saja pola keilmuan tersebut tanpa memodifikasi dan penyesuaian disana-sini menggiring ke arah krisis multi dimensional sejak dari lingkungan hidup, ekonomi, politik sosial, agama, moral yang berkepanjangan. Memang semua kerusakan ini tidak dapat dibebankan atau dikembalikan pada dunia pendidikan. Namun, upaya-upaya dan ijtihad-ijtihad baru untuk mengurangi anomaly-anomali yang dialami oleh masyarakat perlu dilakukan karena jangan-jangan sistem pendidikan yang berjalan selama ini memang punya andil secara tidak langsung terbentuknya split of personality. Menurut Amin dalam tradisi keilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN, besar kemungkinan juga pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum baik negeri maupun swasta, dan lebih-lebih dipesantren-pesantren, corak pemikiran keislaman bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistimologi 'irfani dan burhani. Oleh karenanya di sini akan terjadi model pemikiran yang dikotomis-atomistik, sebab corak pemikiran 'ifani (tasawuf/intuitif) adalah kurang disukai oleh tradisi pemikiran keilmuan bayani (fikih dan kalam) yang murni, begitu pula halnya dengan epistimologi burhani yang notabene sangat mengedepankan logika-kognitif. Pada prinsipnya ketiga kluser sistem epistimologi ulumuddin (bayani, 'irfani dan burhani) ini masih berada dalam satu rumpun. Namun dalam prakteknya hampir-hampir tidak mau akur. Bahkan tidak jarang saling mendiskreditkan satu dengan yang lainya, sekuler-mensekulerkan, bahkan saling mengkafirkan antar masing-masing penganut tradisi epistimologi ini. Namun, pola fikir bayani lebih dominan secara politis dan membentuk main-stream pemikiran keislaman secara hegemonik. Akibatnya, otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fikih klasik lebih diunggulkan dari pada sumber otoritas keilmuan yang lain, seperti alam (kauniyah), akal (aqliyah), dan intuisi (wijdaniyah). Selanjutnya menurut Amin, pengembangan pola fikir bayani hanya dapat diterapkan jika ia mampu memahami, berdialog, dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola fikir 'irfani maupun pola fikir burhani dan begitu pula sebaliknya. Jika saja masing-masing sistem kefilsafatan ilmu keagamaan dalam Islamic Studies ini berdiri sendiri, tidak bersentuhan satu dengan yang lainnya, maka agak sulit membayangkan ilmu-ilmu keislaman dapat mengatasi problem-problem kontemporer saat ini. Jika sumber pokok dalam tradisi bayani adalah teks (wahyu), maka sumber terpokok dari ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir 'irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sungguh merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya. Disamping itu hal yang juga sangat signifikan dalam nalar epistimologi 'irfani adalah mengetepikan sekat-sekat formalitas lahiriah yang diciptakan oleh epistimologi bayani dan burhani. Dari sini nantinya akan tercipta hubungan "subjek" dan "objek" yang bersifat itersubjektif. Bukannya bersifat subjektif (seperti yang terjadi dalam tradisi bayani) dan bukan pula bersifat objektif (seperti yang biasa ditanamkan dalam tradisi burhani), sebab kebenaran apapun, khususnya dalam kehidupan sosial-keagamaan adalah bersifat intersubjektif. Belum terasa lengkap jika epistimologi pemikiran keislaman tidak dilengkapi dengan epistimologi burhani. Jika sumber origin dari corak epistimologi bayani adalah teks, sedang 'irfani adalah direct experience (pengalaman langsung), maka epistimologi burhani bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Sementara itu ilmu-ilmu yang dilahirkan oleh tradis burhani disebut sebagai al-'ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, bukan melalui otoritas teks dan bukan pula lewan otoritas intuisi. Oleh karenanya, tolok ukur validitas keilmuannya pun ditekankan pada korespondensi yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum alam. Selain itu juga ditekankan pada aspek korehensi yakni keruntutan dan keteraturan berfikir logis. Pada intinya, menurut Amin jika saja tiga pendekatan keilmuan Islam ini terkait dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh maka corak dan model keberagamaan Islam akan lebih komprehensif, dan bukannya bercorak dikotomis-atomistik seperti yang dijumpai sekarang ini. Selanjutnya pertanyaan yang muncul dari penyataan-pernyataan di atas adalah bagaimana dengan pendekatan integrativ-interkonektif yang di usung oleh M. Amin Abdullah me-reintegrasikan epistimologi ilmu umum dan ilmu agama?. Dalam pemahamannya, beliau membagi tiga prinsip dasar yang perlu dilakukan khususnya dalam menyusun kurikulum sebagai ruh dari re-integrasi epistimologi keilmua era UIN. Pertama, hadarah al-nash (penyangga budaya teks bayani) , memang tidak bisa terlepas dari hadarah al-'ilm (tehnik komunikasi) dan juga hadarah al-falsafah (etik) dan begitu juga sebaliknya. Hadarah al-'ilm (budaya ilmu), yakni ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi akan tidak punya "karakter" yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh hadarah al-falsafah (budaya etik emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu hadarah al-nash (budaya agama yang semata-mata hanya mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadarah al-'ilm (sains dan teknologi), tampa mengenal humanities-kontemporer sedikit pun, juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah terbawa arus kearah gerakan radikalisme-fundamentalis. Untuk itu maka diperlukan hadarah al-falsafah (etik yang bersifat transformatif-liberatif ). Begitu juga sebaliknya hadarah al-falsafah akan terasa kering, jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-promlem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-'ilm (budaya ilmu-ilmu empiris-teknis). Yang perlu dipertimbangkan kedepan untuk mendesain mata kuliah, kurikulum dan silabi UIN adalah dengan cara menghindari jebakan-jebakan "keangkuhan" disiplin ilmu yang enggan menerima masukan dari disiplin ilmu di luar dirinya. Secara sederhana dapat kita lihat gambar berikut; Dalam gambar di atas terlihat jelas bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya, bersedia untuk berdialog, bekerja sama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu yang lain, untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat, jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri atau terpisah antara satu dengan yang lainnya. Selain itu hal ini juga meniscayakan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dengan bersedia mengorbankan kepentingan egoisme-sektoral keilmuan yang dimiliki.

D. IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN

 Pada hakikatnya, implikasi epistimologi keilmuan integratif-interkonektif bagi ilmu pendidikan baik umum maupun keilmuan agama, secara umum telah dapat kita lihat pada penjelasan di atas. Akan tetapi di sini penulis akan sedikit mengulang agar penjelasannya terlihat lebih jelas dan gamlang. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa epistimologi keilmuan integratif-interkonektif ini akan "menyatukan" ilmu agama (Islam) dengan ilmu umum (seperti ilmu-ilmu sasial, humaniora dan kelaman). Sebab paradigma ini meniscayakan perlunya dialog dan kerjasama antara ilmu umum dan agama yang dilkukan secara terus-menerus. Semua ini mengidikasikan bahwa pendekatan interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu mendapatkan prioritas, artinya, bahwa bukan eranya sekarang disiplin ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervesi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ilmu kealaman. Begitu juga sebaliknya bukan saatnya lagi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ilmu kealaman menyendiri, perlu adanya integrasi keilmuan. Dari sini dapat kita katakan bahwa, sejak dahulu telah terjadi dis-integrasi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, khususnya antar ilmu umum dan ilmu agama. Melalui paradigma epistimologi keilmuan integratif-interkonektif Amin Abdullah ingin menghapus dis-integrasi itu, seperti yang dapat kita lihat pada penjelasan tentang jaring laba-laba keilmuan di atas. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa paradigma integratif-interkonektif ini sangat bermanfaat dan sangat baik untuk diterapkan pada dunia pendidikan, khususnya di Indonesia pada saat ini. Disamping itu, proyek besar reintegrasi epistimologi keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerjasama antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat di masa yang akan datang. Pendekatan interdisiplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan secara terus-menerus. 

 E. PENUTUP 
Demikianlah sekilas tentang penjelasan konsep integratif-interkonektif yang diusung oleh Amin Abdullah serta implikasi dan dampaknya bagi keilmuan umum dan keilmuan agama. Dari pemahaman di atas dapat kita ambil kesimpulan, diantaranya pertama bahwa apa yang diusung oleh Amin Abdullah dengan konsep integratif-interkonektif keilmuan merupakan sebuah keniscayaan yang patut kiranya didukung, walaupun sebenarnya masih kelihatan sangat "ideal" untuk diterapkan. Kedua, dalam wilayah pendidikan, reintegrasi epistimologi keilmuan agama dan keilmuan umum yang selama ini kelihatan kontra-produktif hanya akan dapat dilakukan dengan membuka ruang bagi dialog antara berbagai disiplin keilmuan yang terus dilakukan secara kontinyu. Wallahu a'lam bissawab.

 DAFTAR PUSTAKA

 Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. 
Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995. Abdullah, M. Amin. (dkk). Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman. Yogyakarta: SUKA-Press. 2003. ,Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan Epistimologi Islam dan Umum. Yogyakarta: SUKA-Press. 2003. ,Islamic Studies: Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi).Yogyakarta: SUKA-Press. 2007. ,Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural. Yogyakarta: Panitia DIES IAIN Su-Ka dan Kalam Semesta. 2002. M. Amin Abdullah, dkk. Re-strukturisasi Metodologi Islamik Studies Mazhab Yogyakarta. SUKA-Press. 2007. al-Jabiri, Mohammed 'Abed. Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam. alih bahasa. Moch. Nur Ichwan.Yogyakarta: Islamika. 2003. .