Halaman

Rabu, 20 Mei 2009

living Qur'an

The Living Qur’an :
Fenomena al-Qur’an dalam kehidupan

Secara teologis Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia yang ingin berbahagia hidup di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, maka idealnya manusia harus mampu mentransformasikan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari. Namun dalam realitasnya, bahwa perwujudan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari sangat beraneka ragam. Hal ini sangat tergantung pada pemaknaan yang diberikan terhadap Al-Qur’an itu sendiri sebagai firman Allah atau kalam Tuhan. Ini adalah suatu hal yang sangat wajar, sebab pemaknaan terhadap al-Qur’an tidaklah bersifat mutlak atau pasti benar.
Terkait dengan hal ini, Abdullah Darraz, sebagaimana dilansir oleh Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, mengatakan: “apabila Anda membaca Al-Qur’an, maknanya akan jelas dihadapan Anda. Tetapi jika Anda membacanya sekali lagi maka Anda akan temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya sampai Anda temukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang beragam, semuanya benar atau mungkin benar. Al-Qur’an bagaikan intan yang di setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat”. Oleh karenanya, adalah hal yang sangat wajar apabila perwujudan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari menuai beragam makna.
Kata yang biasa terdengar atau bahkan sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam untuk menyimbolkan hal ini adalah Al-Qur’an yang hidup (the living qur’an). Di kalangan umat Islam, kata-kata ini dimaknai dengan berbagai macam, di antaranya dimaknai sebagai “Nabi Muhammad”, karena sebagaimana diketahui bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an itu sendiri. Atau, kata tersebut juga mengacu pada masyarakat yang kehidupan sehari-harinya mengikuti apa yang gariskan Al-Qur’an dan mereka yang berpegang teguh pada ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu, dalam pengaplikasian ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, perlu ada pandangan-pandangan yang lebih mendalam. Selain itu juga diperlukan pembacaan ulang (reinterpretasi) atas teks Al-Qur’an yang memiliki ribuan atau bahkan jutaan makna, yang semunya benar atau mungkin benar.

Perempuan Perspektif al-Qur'an

Al-Qur’an Bertutur Tentang Perempuan
(Melacak Kedudukan Perempuan Menurut al-Qur’an)

Key Word : Perempuan, Tradisi, dan al-Qur’an.

A. Sekilas Sejarah Perempuan

Kajian tentang perempuan menurut saya, tidak hanya sekedar menarik untuk didiskusikan, lebih dari sekedar itu, masalah perempuan (gender) adalah menjadi isu yang selalu aktual. Zaman sekarang banyak orang dengan alasan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan lalu meninggalkan bahkan melupakan rambu-rambu yang telah didesain oleh agama. Alhasil sepertinya persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dijadikan justifikasi untuk melanggar dogmatisasi agama yang memang sudah mapan.
Perempuan dalam perjalanan waktu selalu “menjadi” bahan yang menarik untuk diperdebatkan. Betapa tidak, dari mulai asal penciptaannya sampai dengan kepada perlakuan, serta pengakuan terhadap eksistensi keberadaan perempuan dalam konstruk budaya dan peradaban manusia menjadi pemicu dari permasalahan ini. Barangkali banyak yang tidak sepakat dengan pandangan ini, namun hal ini adalah menjadi suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.
Dari segi penciptaan perempuan misalkan, kita sering mendengar sebagian orang menjustifikasi hadis yang mengatakan bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. untuk melakukan eksploitasi terhadap perempuan karena menganggap bahwa permpuan itu lebih rendah dari laki-laki. (Menurut Quraish Shihab Bahwa hadis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok merupakan hadis yang sahih atau dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya). Namun hadis ini jangan difahami secara tekstual, sehingga kemudian hal ini akan meninggalkan kesan bahwa perempuan itu adalah makhluk yang rendah derajat kemanusiaannya dibanding laki-laki. Tulang rusuk yang bengkok menurut Quraish, harus difahami dalam pengertian majazi (kiasan), artinya, bahwa hadis tersebut mengingatkan kepada kaum Adam agar menghadapi kaum Hawa dengan sikap yang bijaksana. Sebab ada sifat, karakter, dan kecendrungan yang dimilikinya berbeda dengan laki-laki. Hal ini haruslah difahami secara baik, dan para lelaki tentu tidak akan bisa mengubah sifat itu, kalaupun dipaksakan maka akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Dalam lembar sejarah manusia tercatat, bahwa perlakuan terhadap perempuan terasa sangat tidak proporsional terutama terjadi pada masyarakat yang notabene memiliki sistem patriarki. Walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwa ada juga peradaban yang mengakui eksistensi perempuan sebagai mitra yang mapan dengan laki-laki. Bisa kita lihat misalkan pada masyarakat Mesir Kuno (Peradaban Mesir Kuno telah berusia lima ribu tahun dan sekaligus mendahului lahirnya agama Yahudi, agama pertama dari tiga agama monoteistik), bahwa banyak Dewa-dewa kuno yang berwujud perempuan dan mereka menguasai banyak bidang yang bekerja sama dengan Dewa laki-laki. Sebut saja misalnya; Maiit sebagai Dewi Kebenaran, Nazed Dewi perang dan dan banjir, Dewi Isis, Sihmet dan lain-lain. Bukti ini juga menunjukkan bahwa ada sebagian dari pradaban yang juga mengadakan hubungan yang positif anatara laki-laki dan perempuan
Namun demikian, pada prinsipnya secara umum bisa kita katakan bahwa dalam peradaban manusia, perlakuan terhadap perempuan cenderung menomor-duakan keberadaan perempuan. Dalam kasus bangsa Romawi misalkan, atau bahkan bangsa Arab sebelum masuknya Islam. Ibnu Habib menjelaskan sebagaimana yang dilansir oleh Moh. Shofan dalam bukunya, bahwa diantara adat istiadat masyarakat Jahiliyah adalah para lelaki mengambil keuntungan dari kedua belah paha budak perempuan. Selain itu mereka juga bisa seenaknya memaksa para budak wanita mereka untuk berzina, lalu mereka mengantongi uang yang telah mereka sepakati dengan orang yang berzina dengan budak perempuan itu.
Salain itu juga, pada masyarakat jahiliyah dikenal adanya poliandri atau zawaj al-musyarakah atau “perkawinan bersama” jadi, perkawinan model ini memungkinkan seorang perempuan digauli oleh sepuluh orang laki-laki atau lebih, mereka secara bergatian dapat menyetubuhi perempuan itu. Jika dia hamil maka salah seorang yang ditujuk oleh perempuan itu harus mau mengakui anak yang dikandung oleh perempuan itu.
Keadaan di atas hanya sebagian dari eksploitasi seks yang terjadi terhadap perempuan. Dibidang yang lain juga hampir sama keadaannya, dalam bidang politik misalkan kita dapat mlihat bahwa wanita tidak memiliki hak bahkan juga tidak memiliki eksistensi dalam sejarah politik. Hal ini berlangsung sampai awal mula datangnya Islam. Bahkan menurut Muhammad ‘Arafah sebagaimana yang dikutip oleh Fatima Mernisi, bahwa ketika para sahabat Rasul rapat untuk menentukan seorang khalifah pengganti Rasul di sebuah tempat yang disebut Tsaqifah Bani Sa’idah, tidak seorang pun wanita yang dilaporkan ikut serta dalam rapat untuk memutuskan khalifah pengganti Rasul.
Namun demikian bagaimanapun tidak dapat kita pungkiri bahwa agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. telah membongkar budaya-budaya jahiliyah dan mengembalikan citra perempuan dalam kehidupan masyarakat dunia, hal ini dapat kita rasakan hingga sampai saat ini.

B. Rekonstruksi Tradisi

Pada satu sisi, Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, sebab manusia sendirilah yang telah menciptakan budaya. Namun pada sisi lain bahwa budaya juga merupakan salah satu unsur pembentuk karakter dan sifat manusia. Jadi, adanya hubungan timbal balik antara manusia sebagai pencipta budaya dengan budaya itu sendiri pada dasarnya sangat mempengaruhi sikap dan sifat hidup manusia dalam kehidupannya di dunia ini.
Budaya sebagai pembentuk karakter dan sikap hidup manusia akan berimbas pada pada tabiat dan perlakuan serta hubungan antar manusia, baik secara personal maupun dalam kondisi komunal. Oleh karena itu, dapat kita lihat bahwa peran budaya sangatlah besar dalam membentuk perlakuan terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini akan tercermin dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan keadaan perempuan. Misalkan saja tentang masalah menstruasi. Masalah menstruasi menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasiruddin Umar ternyata sarat dengan makna mitos. Sehingga, hampir setiap suku, agama, dan kepercayaan memiliki konsep perlakuan husus terhadap perempuan yang sedang menstruasi.
Diantara mitos tersebut adalah bahwa darah menstruasi merupakan dosa asal atau origin sin yang dilakukan Hawa, hal ini menyebabkan Adam dan Hawa di jatuhkan oleh Tuhan ke bumi. Celakanya lagi, bahwa mitos-mitos tentang menstruasi yang dialami kaum Hawa ini diyakini benar adanya, sehingga adanya perlakuan-perlakuan khusus terhadap perempuan yang sedang menstruasi. Seperti wanita yang sedang menstruasi harus dijauhkan dari keluarga dan masyarakat serta juga ada larangan untuk melakukan kegiatan dengan orang yang sedang haid, bahkan sampai makan dan minumpun harus dijauhkan dari orang di sekitarnya. Alhasil, perlakuan ini akhirnya menjadi salah satu penyebab langgengnya sistem patriarki yang sarat dengan bias gender.
Contoh di atas merupakan salah satu tradisi yang juga perlu kita luruskan, sehingga tidak terjadi lagi penyimpangan dan perlakuan yang mendiskreditkan eksistensi perempuan. Oleh karena itu, tradisi-tradisi yang notabene banyak merenggangkan hubungan laki-laki dan perempuan perlu kiranya kita konstruk ulang dengan lebih mementingkan kehidupan yang harmonis antar makhluk Tuhan di muka bumi ini. Selain itu perlu juga kiranya kita kembali membaca ulang teks-teks keagamaan dengan benar serta kontekstual. Pembacaan yang tekstual terhadap teks-teks keagamaan khususnya tentang teks-teks yang berhubungan dengan perempuan, juga merupakan salah satu penyebab terjadinya ketimpangan dalam hubungan laki-laki dan perempuan.
Menurut Amin Abdullah, pemahaman terhadap al-Qur’an yang bersifat lexiografis kata perkata, kalimat perkalimat, ayat dengan ayat, tanpa mempedulikan konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya ketika sebuah ayat turun dan bagaimana konteks sosisal, ekonomi, politik, budaya pada era sekarang sebagaimana yang terjadi selama ini, adalah pola dan metode penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang dianggap sebagai korpus “tertutup”, ahistoris. Untuk itu, perlu adanya penafsiran yang lebih bersifat “produktif” yang lebih menonjolkan perlunya menggali atau menemukan makna-makna baru yang sesuai dengan tingkat tantangan perubahan dan perkembangan konteks sosial-ekonomi, politik dan budaya yang melingkupi kehidupan umat Islam kontemporer tanpa meninggalkan misi utama makna moral dan pandangan hidup al-Qur’an.

C. Al-Qur’an Tentang Perempuan

Al-Qur’an secara normatif adalah merupakan kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang sangat representatif untuk diserap kandungan isinya untuk dijadikan sebagai panduan sekaligus untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia, disamping juga sunnah rasul sebagai “mitra” al-Qur’an dalam menjelaskan dan memberi solusi bagi masalah-masalah umat di dunia ini.
Dalam kaitannya dengan masalah-masalah perempuan, al-Qur’an juga telah memberikan penjelasan-penjelasan yang dapat kita jadikan acuan dalam menjembatani hubungan perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan ini. Secara umum ajaran al-Qur’an tidak secara skematis membedakan faktor-faktor perbedaan laki-laki dan perempuan, akan tetapi lebih memandang kedua insan tersebut secara utuh. Namun demikian, al-Qur’an dan ajaran Islam telah berperan sangat besar dalam mengangkat martabat dan harkat perempuan. Dalam ajaran al-Qur’an, perempuan diberikan hak-hak tertentu seperti juga terhadap laki-laki.
Banyak ayat al-Qur’an yang menegaskan keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, antara lain;
Q.s. an-Nisa’/4;32 :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang telah dikaruniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.

Q.s. al- Hujurat/ 49: 13
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang-orang yang paling bertakwa diantara kamu.

Demikan pula semua ayat-ayat yang menyatakan tingginya derajat manusia selalu tidak membedakan antara kedua jenis kelamin tersebut. Seperti apa yang telah dituturkan al-Qur’an dalam surah al-Isra’/17:70
Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak adam, kami angkat mereka di daratan dan di lautan, kami berikan mereka rezeki yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.

Dari keterangan-keterangan ayat-ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam ajaran al-Qur’an dan Islam secara umum bahwa tidak terdapat pembedaan antara laki-laki yang dapat menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam melangsungkan kehidupannya. Malah justru sebaliknya Islam melalui al-Qur’an memberikan penjelasan-penjelasan yang rasional serta mengangkat derajat perempuan sama dengan laki-laki.
Al-Qur’an mengatur dan menjelaskan hak-hak perempuan dalam sekian banyak ayat-ayatnya. Disini akan coba kita lacak apa saja yang dituturkan al-Qur’an tentang hak-hak perempuan.

 Hak Perempuan dalam Bidang Politik
Tidak kita temukan baik ayat al-Qur’an ataupun redaksi hadis yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Sebaliknya, al-Qur’an dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan untuk aktif dalam dunia polotik. Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitannya dengan hak-hak politik perempuan adalah Surah al Taubah/ 9; 71
Dan orang-orang yang beriman laki-lakidan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunuaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.

Menurut Quraish Shihab, kata auliya’ dalam ayat di atas, dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan pengertian yang dikandung dari kalimat menyuruh dari mengerjakan yang makruf mencakup segala kebaikan atau perbaikan kehidupan, temasuk memberi nasihat (kritik) tehahap penguasa. Dari penjelasan ini, jelas sekali bahwa peran politik perempuan tidaklah menjadi suatu yang tabu. Selain itu surah al-Mumtahanah/60; 12 juga memberikan legalisasi terhadap kegiatan politik perempuan. Kemudian al-Qur’an juga menceritakan tentang permintaan perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay’at (janji setia kepada Nabi dan juga ajarannya), sebagaimana yang disebutkan dalam Surah al-mumtahanah ayat 12. Semua ini jelas mencerminkan suatu kelonggaran bagi perempuan untuk dapat mengekspresikan hak-hak politiknya.
Sejarah juga menceritakan betapa Siti Aisah telah menjalankan peran politik yang sangat penting. Selain Aisah juga banyak wanita yang terlibat dalam urusan politik. Seperti misalkan Ummu Salamah, Shafiyyah, Lailah al-Gaffariyah dan lain-lain. Ini semua menambah kejelasan kepada kita bahwa ajaran Islam tidak mengesampingkan peran perempuan dalam dunia politik.

 Hak dalam Memilih Pekerjaan
Tidak ditemukan satu teks keagamaan yang jelas dan pasti, baik dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, yang mengarah pada larangan bagi perempuan untuk bekerja di luar rumahnya. Oleh karena itu, pada prinsipnya tidak ada larangan bagi permpuan untuk bekerja di luar rumah. Sebab, Pada dasarnya agama menetapkan kaidah yang berbunyi; “dalam hal kemasyarakatan, semuanya boleh selama tidak ada larangan, dan dalam hal ibadah murni, semuanya tidak boleh selama tidak ada tuntunan.
Namun demikian jika kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa-masa awal Islam. Maka tidak berlebihan kiranya jika kita katakan bahwa Islam memberikan ruang yang luas dan membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktifitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya. Hal ini tentunya selama pekerjaan itu dilakukannya dalam keadaan terhormat, sopan, dan selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Sebagai contoh konkrit misalkan pada masa khalifah Umar, beliau menugaskan seorang perempuan untuk mengurusi bidang administrasi pasar. Hal ini menunjukkan bahwa peran wanita dengan laki-laki adalah sama selama tidak melanggar rambu-rambu yang telah di tentukan oleh agama.

Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban itu ditujukan pada laki-laki maupaun perempuan. Bahkan wahyu pertama yang diterima oleh rasul adalah perintah membaca atau belajar. Ayat ini bukan saja ditujukan pada beliau namun juga kepada seluruh umatnya baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu banyak pula ayat dan hadis Nabi yang memuji orang yang memiliki pengetahuan. Begitu juga sebaliknya kecaman dan ancaman bagi orang yang tidak berpengetahuan juga banyak disinggung oleh al-Qur’an dan hadis. Pada masa rasul, pernah terjadi suatu peristiwa tentang sekelompok perempuan memohon kepada rasul agar diberi waktu tertentu untuk belajar langsung kepada nabi, dan nabi pun mengabulkannya.
Kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu agama saja, namun, seiring dengan kemajuan zaman cakupan dalam menuntut ilmu bagi perempuan juga menjadi beragam sehingga perempuan tidak hanya harus mengerti tentang permasalahan agama saja, namun juga bagaimana mereka juga bisa mengeti tentang ilmu ekonomi, kedokteran dan lain semacamnya.
Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi perempuan untuk pergi melakukan studi walaupun tanpa didampingi oleh mahramnya, selama terjamin kehormatan, keselamatan, serta tidak mengundang kemaksiatan. Memang ada hadis rasul yang melarang perempuan untuk bepergian tanpa adanya mahram yang mendampinginya. Namun larangan ini harus dipahami berdasarkan ‘illat (motifnya), bukan sekadar bunyi teksnya. Larangan itu disebabkan oleh kekhawatiran akan terjadinya ganguan terhadap mereka diperjalanan, atau mungkin adanyanya isu negatif terhadap dirinya jika dia pergi tanpa ditemani oleh mahramnya. Jika semua itu bisa dihindari, maka kata yang paling bijaksana adalah memperbolehkan perempuan bepergian keluar rumah untuk menuntut ilmu tanpa didampingi oleh mahramnya.

D. Sebuah Renungan
Pada akhirnya, adalah suatu keniscayaan yang dapat kita pertanggungjawabkan baik secara normatif maupun secara kognitif, bahwa kerjasama dan hubungan yang positif antara perempuan dan laki-laki merupakan suatu hal yang perlu kita kembangkan bersama. Namun demikian jangan sampai semua ini menjadikan wanita lalu melupakkan kodratnya sebagai seorang wanita yang memiliki fungsi yang berbeda dengan laki-laki.
Selain itu, eksistensi perempuan sebagai mitra laki-laki dalam membangun masyarakat dunia juga perlu kita tata bersama secara proposional, sehingga hal-hal yang selama ini terlihat mendiskreditkan kaum perempuan dapat kita kikis sebersih-bersihnya. Sebab, ini semua adalah anjuran bahkan perintah dari ajaran agama Islam. Hal ini mencerminkan bahwa memang ajaran agama Islam melalui al-Qur’an telah mengatur hubungan yang sangat baik antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya, diskriminasi baik secara sosial maupun transendental.
Terakhir semoga tulisan singkat yang sangat jauh dari kesempurnaan ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi bahan renungan untuk kita diskusikan bersama. Amien.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 2002.
Shofan, Moh. Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Jogjakarta: IRCiSoD. 2006.
Mernisi, Fatima. Wanita di Dalam Islam. terj. Yaziar Radianti. Jakarta: Pustaka. 1994.
Umar, Nasaruddin. “Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci” dalam Ulumul Qur’an, N0. 2, Vol. VI. 1995.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina. 2002.
Umar, Nasaruddin. Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender. 1999.
Shihab, Quraish. Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama Sampai Bias Baru Jakarta: Lentera Hati. 2006

Resensi Buku

“Tenaga Dalam” Itu Bernama Pancasila

Semua orang akan sepakat jika dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan budaya. Dalam kekayaan itu, persatuan dan kesatuan merupakan syarat yang mutlak untuk dipenuhi dalam sebuah negara yang multikultur seperti Indonesia ini. Artinya bahwa sangat diperlukan adanya suatu perekat untuk menyatukan watak bangsa yang sangat bhineka ini. Betapa tidak, sebagai bangsa besar yang mutietnik, multi agama, ribuan pulau, dan kaya akan sumberdaya alam akan sangat mudah terdisintegrasi jika tidak memiliki semangat kesatuan yang muncul dari internal bangsa Indonesia sendiri.
Berkaitan dengan hal ini, para pendiri negara ini dengan sangat cemerlang mampu menciptakan suatu “formula” yang sangat pas sebagai dasar negara sesuai dengan karakter bangsa, sangat orisinal, menjadi negara modern yang berkarakter religius, tidak sebagai negara sekuler tidak pula sebagai negara agama. Rumusan konsepsinya benar-benar diorientasikan pada dan sesui dengan karakter bangsa yang multi budaya dan agama. Formula yang sangat pas itu adalah PANCASILA, Pancasila merupakan racikan sempurna dan solutif, ramuan pancasila sangat kreatif yang mampu mengambil sebuah jalan tengah antara dua pilihan ekstrem, negara sekuler dan negara agama, yakni negara yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa. Bandingkan dengan Turki. Untuk mencari jalan keluar dari kemerosotan Dinasti Usmani yang berkuasa selama hampir delapan abad, Turki akhirnya memilih negara sekuler yang ditandai dengan jatuhnya kekhalifahan pada maret 1924. Oleh karena itu, Turki menjadi negara sekuler pertama di tengah masyarakat Muslim. Lain lagi di Pakistan, setelah gagal mensenyawakan format untuk sebuah dasar negara modern, akhirnya memilih jalan sebagai negara Islam.
Para pendiri pendiri negara Indonesia mampu menyepakati Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara, ditengah diskursus yang berlangsung dalam pemikiran politik Islam pada saat itu (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) yang masih berkutat seputar upaya untuk mensenyawakan pemikiran Barat ke dalam ide negara Islam modern. Namun demikian para pendiri negara kita ini, dari kalangan Islam termasuk dari kalangan pesantren yang nota bene banyak terpengaruh pada pemikiran tokoh-tokoh yang mengusung ide negara Islam, mampu meramu sebuah konsep yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Hasilnya adalah sebuah rumusan dasar negara yang sangat menakjubkan untuk sebuah negara yang religius, multi etnik, dan juga multi agama seperti Indonesia, terutama hubungan negara dan agama, serta sejumlah isu besar lainnya. Jadi, tidaklah mengherankan jika banyak intetektual ataupun negarawan yang memuji prestasi monumental pendiri republik ini. Mencari rumusan dan konsensus dasar memang tidak mudah, namun pancasila menjadi sebuah solusi kebangsaaan yang mampu menyatukan keberagaman bangsa ini. Bahkan tidak hanya sampai di situ, pancasila dan UUD 1945 agaknya juga memberi inspirasi bangsa-bangsa lain untuk memecahkan masalah dasar konstitusi yang mereka hadapi.
Namun demikian, di era reformasi, Pancasila yang sangat monumental itu dipersoalkan oleh sejumlah anak bangsa. Saat terjadi krisis yang mengakibatkan keterpurukan hampir pada semua bidang kehidupan, Pancasila dijadikan sebagai kambing hitam. Menurut mereka, hanya liberalisme dan kapitalisme yang terbukti mampu memenangkan perang ideologi dunia dan mampu menyelamatkan bangsa Indonesia ini. Padahal mereka tidak memahami bahwa pada periode pasca-reformasi, secara tidak disadari bahwa energi Pancasila berproses secara otomatis dalam menyelamatkan bangsa ini. Coba kita renungkan, berbagai macam konflik dan musibah yang terjadi sangat luar biasa besar mampu kita atasi, hal ini tidak lepas dari energi yang disemburkan oleh Pancasila yang memang tidak disasadari oleh banyak kalangan di Indonesia ini. Energi ini jugalah yang sebenarnya muncul dan mendorong terciptanya perdamaian di berbagai daerah konflik. Perdamaian konflik di Ambon dan Poso menjadi bukti nyata dari energi Pancasila yang muncul dengan sendirinya disaat kritis. Energi Pancasila juga menggerakkan perdamaian dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua. Bahkan lebih jauh dari itu, dewasa ini solusi konflik di Aceh dan Papua dijadikan model oleh dunia internasional untuk menangani konflikserupa.
Ini artinya bahwa Pancasila harus didiskusikan atau didialogkan oleh segenap elemen agar mampu menjadi energi seluruh bangsa. Semakin besar pihak atau komponen yang memahami Pancasila, maka semakin besar pula energi yang terbentuk untuk membangun bangsa ini. Buku ini akan membahas dan mengembangkan pengertian Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan Dasar Negara, namun juga akan membahas hubungan Pancasila dengan Agama, tidak sekedar berusaha mengembalikan “citra Pancasila” tapi juga membuktikan bahwa Pancasila memang mampu menjadi tonggak kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun masa akan datang.
Sederhananya, bahwa buku ini ingin mendorong segenap elemen bangsa khususnya generasi muda untuk selalu memahami Pancasila sesuai konteks zaman, dengan demikian Pancasila akan menjadi “tenaga dalam” yang mampu memancarkan energi yang sangat luar biasa dalam membangun bangsa ini dari krisis multi dimensi yang imbasnya sangat dirasakan oleh masyarakat. Disamping itu, jika “tenaga dalam” itu dapat dikelola dengan benar, Indonesia tak pelak akan menjadi negara besar yang disegani.

JUDUL BUKU: NEGARA PANCASILA: JALAN KEMASLAHATAN BERBANGSA
PENULIS : AS’AD SAID ALI
PENGANTAR : KH. MUSTOFA BISRI
PENERBIT : LP3ES
CETEKAN : PERTAMA, 20009
TEBAL : xxxii + 340