Halaman

Jumat, 13 Maret 2009

ISRA' MI'RAJ

ISRA’ MI’RAJ
(PERSPEKTIF EMPIRIS-RASIONAL)

Tantangan yang terbesar, setelah al-Qur’an yang disodorkan oleh Allah swt. kepada manusia adalah peristiwa perjalanan Rasul dari Mekah ke bayt al-Maqdis kemudian naik ke sidrat al-Muntaha bahkan melampauinya, atau dalam persepktif agama disebut sebagai Isra’ dan Mi’rajnya Rasul saw. Perjalanan yang terjadi pada malam hari ini, diyakini oleh umat Islam sebagai sebuah mukjizat yang diberikan kepada Rasul saw., dalam hitungan waktu bahwa peristiwa ini terjadi ketika Beliau berumur lima puluh tiga tahun atau sekitar satu tahun lima bulan sebelum berhijrah ke Madinah.
Tulisan singkat ini tidak ingin membahas peristiwa atau memperlihatkan gambaran bagaimana peristiawa itu terjadi, namun dalam tulisan ini akan mencoba menyorot bagaimana pemahaman tentang peristiwa ini dalam perspektif rasio. Mampukah kekuatan nalar manusia untuk menjangkau dan menangkap kejadian ini sebagai sesuatu yang rasional. Sebelum jauh melangkah untuk menjelaskan hal ini dalam perespektif empiris dan rasionalis, sebenarnya sebagai orang yang beriman maka pendekatan yang paling baik adalah pendekatan “imani” (Lihat Q.S. 16 : 40), artinya, kita memandangnya sebagai sebuah keyakinan yang nyata bahwa memang peristirwa ini “disutradarai” oleh Allah swt. seperti yang dipahami dalam bingkai pemahaman fikih klasik (ancient school of law) Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki. Hal serupa juga telah dicontohkan oleh Abu Bakar jauh sebelum para tokoh fikih klasik ini, hal ini tergambar dari ucapanya ketika mendengar peristiwa ini: “jika Muhamamad yang menceritakannya pasti benar adanya”.
Dalam pemahaman kaum empiris dan rasionalis yang nota bene melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dengan tegas peristiwa Isra’ Mi’raj ini tidaklah dapat diterima, atau dia merupakan suatu hal yang mustahil bahkan dapat saja mereka menggugat, bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, sementara cahaya merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini dapat terjadi? Atau bagaimana mungkin lingkunagan material yang dilalui oleh Muhamamad tidak lalu membuat rusak kulitnya akaibat gesekan-gesekan material itu?
Menurut Quraish Shihab, ada dua hal yang perlu digaris bawahi dalam hal ini pertama, dalam kenyataan ilmiah bahwa setiap sistem gerak memiliki perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak lainnya. Benda padat akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuan dibandingkan suara, begitu juga suara, akan membutuhkan waktu lebih banyak dibandingkan cahaya. Ini semua akan mengantarkan kita pada sebuah keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apapun yang dikehendakinya, sesuatu itulah yang kita namakan Allah swt.
Kedua, segala sesuatu menurut ilmuan juga menurut al-Qur’an memiliki sebab-sebab. Tetapi tidaklah selalu bahwa sebab itu mewujudkan sesuatu. Apa yang diketahui oleh para ilmuan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Artinya, bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan itu tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. Cahaya yang terlihat sebelum dentuman meriam bukanlah penyebab suara dentuman itu” kata David Hume”. Ayam yang selalu berkokok sebelum waktu fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar, kata al-Ghazali jauh sebelum David Hume.
Sehingga sangatlah menarik apa yang disimpulkan oleh Einstein, menurutnya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah disebabkan oleh superior reasoning power (kekuatan nalar yang superior), dalam bahasa al-Qur’an inilah yang dinamakan al-Aziz al-‘Alim (Allah yang maha perkasa lagi maha mengetahui). Semua ini akan mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman bahwa memang terkadang kita harus percaya bukan karena kita mengetahui namun justru kita tidak mengetahui seperti yang pernah diungkapkan oleh Kierkegaard seorang tokoh eksistensialisme. dan itupulalah sebabnya mengapa Immanuel Kant mengatakan” saya harus menghentikan penyelidikan ilmiah guna memberikan waktu pada hatiku untuk percaya. Inilah yang harus kita pahami, bahwa memang peristiwa Isra’ dan Mi’rajnya Rasul saw. haruslah kita pahami dalam bingkai keimanan kita kepada Allah yang telah menyeting semua peristiwa ini dengan rapi dan sempurna. Walaupun sebenarnya al-Qur’an telah memprediksi dan menggambarkan sikap orang-oarang yang tidak mempercayainya (Q.S. 16: 127-128).
Agaknya sebagai ungkapan yang terakhir untuk memberikan kesimpulan pada tulisan singkat ini adalah, sesuatu yang lebih wajar kita pertanyakan bukan bagaimana Isra’ Mi’raj terjadi tetapi mengapa Isra Mi’raj? Wallahu a’lam.